Golongan Karya dan Partai Golongan Karya

SEBELUM tampil sebagai Partai Golongan Karya di tahun 1999, kekuatan politik ini dikenal sebagai Golongan Karya atau Golkar. Wujud sebagai suatu kekuatan sosial sekaligus kekuatan politik, yang telah mengikuti 6 Pemilihan Umum, yaitu di tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Deklarasi sebagai partai dilakukan Ketua Umum DPP saat itu, Akbar Tandjung –seorang insinyur yang berlatar belakang aktivis dan profesi politisi– pada 7 Maret 1999. Akbar adalah Ketua Umum produk Musyawarah Nasional Luar Biasa Golkar tahun 1998 yang diselenggarakan pada salah satu momen kritis yang pernah dihadapi Golkar.

Ketua DPP Golkar 1983-1988 Sudharmono SH, menyebutkan benih Golkar sejak semula telah ada dalam kandungan Undang Undang Dasar 1945 yang berdasarkan Pancasila. Dalam Pasal 2 Bab II UUD 1945, mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) memang disebutkan bahwa lembaga pelaksana kedaulatan rakyat itu selain terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, juga utusan daerah-daerah dan golongan-golongan. Menurut Penjelasan UUD adanya utusan-utusan itu, tak lain dimaksudkan agar MPR betul-betul dapat dianggap sebagai penjelmaan rakyat. Dan apa yang disebut golongan-golongan ialah badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja dan lain-lain badan kolektif.

Ada beberapa narasi lanjut mengenai kelompok kepentingan bernama golongan karya ini. Professor Mohammad Yamin memperinci 7 unsur golongan karya, yakni (1) buruh dan pegawai, (2) tani, (3) pengusaha nasional, (4) alim ulama, (5) jasa. Lalu,  memasukkan pula (6) angkatan 45 dan (7) angkatan bersenjata. Sementara itu Jenderal Nasution membagi atas golongan angkatan bersenjata, karya pembangunan spiritual, karya pembangunan materil dan karya kerohanian.

Sebenarnya, penampilan golongan-golongan yang merupakan kelompok kepentingan yang diberi nama golongan karya dalam badan-badan perwakilan dan atau pemerintahan untuk pertama kali diintrodusir Presiden Soekarno. Berkaitan gagasannya mengenai demokrasi terpimpin. Dari sudut tujuan, dikatakan kehadiran golongan karya itu untuk menyehatkan demokrasi. Tersirat dalam pemahaman Soekarno, ada ketidak-mampuan partai-partai politik pada waktu itu dalam membina demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Namun pada sisi lain, seperti ditulis seorang aktivis 1966 yang pernah bergabung dalam Golkar, harus diakui pula terdapatnya segi-segi negatif, akibat adanya perwakilan rangkap dalam praktek politik melalui organisasi-organisasi karya yang berafiliasi pada partai-partai politik. Dan ternyata PKI yang paling diuntungkan karena partai itulah yang memiliki paling banyak organisasi-organisasi onderbouw berselubung kekaryaan. Dan sementara itu, ada semacam ekses, organisasi-organisasi karya yang tidak berafiliasi telah menjadi sasaran partai-partai politik untuk dikuasai.

Di negara-negara Barat, khususnya di AS, kelompok-kelompok kepentingan tidak turut secara langsung dalam pemerintahan dengan turut mengambil bagian dalam pemilihan keanggotaan badan perwakilan, tetapi memperjuangkan kepentingan melalui partai-partai politik yang ada. Dengan demikian, hasrat partai-partai untuk menguasai kelompok kepentingan, menjadi sangat terbatas. Sebuah partai politik terutama berkepentingan memenangkan kontrol dan menjalankan pemerintahan. Sedangkan sebuah kelompok kepentingan lebih tertarik pada pembentukan public policy atau kebijakan umum.

Bagaimana dengan Golongan Karya yang semula sebuah kelompok kepentingan dan kini telah menjadi Partai Politik? Dalam posisi Golongan Karya yang lahir sebagai Sekber Golkar pada 1964 dan pertama kali ikut pemilihan umum di tahun 1971, kelompok ini tampil pertama-tama sebagai kekuatan sosial, yang menurut peneliti Perancis Francois Raillon adalah federasi kelompok-kelompok sosio-profesional. Namun, perjuangannya untuk turut serta secara langsung dalam pemerintahan selain mengambil bagian dalam pemilihan keanggotaan badan perwakilan, membuatnya sekaligus sebagai kekuatan politik. Dan ketika telah menjadi partai politik, sejak Maret 1999, Golkar tak serta merta bisa –dan sebaiknya memang tidak– meninggalkan atau terhenti dari posisi sebagai kekuatan sosial atau gerakan masyarakat. Ini semacam nilai plus, melebihi partai-partai lain.

Kenapa menjadi partai politik? Undang-undang No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum Pasal 39 hanya menyebutkan partai politik sebagai peserta pemilihan umum. Akbar Tandjung menarasikan perubahan ini sedikit lebih complicated saat mendeklarasikan Partai Golongan Karya 7 Maret 1999, maupun kemudian dalam bukunya The Golkar Way (Gramedia Pustaka Utama, 2007). “Perombakan struktur organisasi Golkar merupakan salah satu aspirasi yang mengemuka dalam ajang Munaslub 1998. Perombakan struktur organisasi Golkar diawali dengan penghapusan Dewan Pembina karena sejak Munas Golkar 1978 telah menjadi institusi internal yang sangat berkuasa,” tulis Akbar. Sedang dalam pidato 7 Maret 1999 di Stadion Utama Senayan, ia menyatakan “Munaslub 1998 adalah momentum penting dalam perjalanan Golkar. Golkar dengan sadar melakukan awal reformasi dirinya, untuk kembali ke jati diri, visi, dan misi perjuangannya seperti yang dipatrikan pada saat kelahirannya. Munaslub telah mengembalikan Golkar yang selama Orde baru telah terperosok hanya sekadar menjadi mesin politik penguasa, menjadi alat pengumpul suara dalam pemilu, dan sekadar alat legitimasi penguasa yang otoriter.” (media-karya)

One thought on “Golongan Karya dan Partai Golongan Karya”

  1. * dwi partai atau dwi grup?
    * dalam amandemen UUD 1945, apakah wakil golongan sdh ditiadakan? Hanya ada wakil daerah yg dipilih
    melalui pemilu?
    * sejak berubah menjadi partai, apakah golkar tdk lagi merepresentasikan lagi wakil2 golongan fungsional, profesional kekaryaan? Bgmn dg rekrutment keanggotaannya? Ada yg mengakuisisi anggota partai lain yg lompat pagar tanpa ide kekaryaan. Apakah sama saja dg rekrutmen keanggotaan pada partai lain, yg bisa pindah2 partai asal bawa bekal?

    Like

Leave a Reply