‘Follow The Triumphants’, Terdorong ke Politik Penghambaan?

DI ATAS kertas, menghadapi Pemilihan Presiden April 2019, Joko Widodo lebih gagah perkasa dibandingkan saat akan menghadapi event serupa di tahun 2014. Didukung koalisi 6 partai –PDIP, Partai Golkar, PKB, PPP, Nasdem dan Hanura– dengan akumulasi perolehan suara 62,16 prosen, Joko Widodo hanya menyisakan satu peluang calon pasangan presiden-wakil presiden lain terkait dengan ketentuan presidential threshold. Tahun 2014, koalisi partai pendukung Joko Widodo –Koalisi Indonesia Hebat– jauh lebih langsing, tanpa Partai Golkar dan PPP. Namun mungkin berkat ‘kerja-kerja-kerja’, melalui satu intervensi berbalut kain sutera, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ‘berhasil’ mengelola perselisihan internal di dua partai, Golkar dan PPP, untuk keuntungan penguasa. Hasil ‘rebus ulang’ dua partai itu kemudian menciptakan resultante akhir lepasnya dua partai itu dari Koalisi Merah Putih dan berpindah ke Koalisi Kerjasama Partai Pendukung Pemerintah. Follow the triumphant.

Partai-partai dan kelompok politik maupun perorangan yang pragmatis, lazimnya memang akan menempatkan sikap follow the triumphant –mengikuti yang unggul– sebagai pilihan teratas. Dalam urusan pencalonan presiden, karena begitu banyaknya yang memilih sikap follow the triumphant dan pada waktu yang sama ada presidential threshold berangka tinggi, maka kecenderungannya adalah penyempitan arena kontestasi. Bisa-bisa malah, bila hasrat mengekori sang unggul terlalu berlebihan, hanya akan ada satu pasangan pemain, yaitu Joko Widodo dan Wapres pilihannya, yang bisa maju ke gelanggang. Dalam rangkaian Pilkada yang baru lalu, beberapa pasangan calon terpaksa berhadapan dengan kotak kosong. Dan ada yang kalah menghadapi kotak kosong.

Pasal 229 UU Pemilu pada dasarnya mencegah munculnya calon tunggal dalam Pilpres, yaitu keharusan KPU menolak bila ada calon yang diajukan gabungan seluruh partai peserta pemilu. Tapi beberapa pasal berikutnya tetap membuka kemungkinan calon tunggal dalam keadaan tertentu, semisal hanya ada satu pasangan mendaftar, atau pasangan lain tak memenuhi syarat, atau berhalangan tetap dalam jangka 7 hari sebelum ditetapkan sebagai calon. Bila toh terjadi calon tunggal, maka Pilpres tetap dilangsungkan, dan calon tunggal berhadapan dengan kotak kosong. Untuk lolos, calon tunggal harus mencapai raihan suara 50 persen + 1, dan itu harus tersebar paling kurang pada 18 provinsi dengan perolehan minimal 20 persen suara di provinsi itu. Bila calon tunggal kalah, proses mesti diulang. Tak bisa tidak, bila terjadi Pilpres dengan calon tunggal, ini adalah suatu situasi buruk. Bila calon tunggal kalah, mencerminkan kegagalan partai-partai membaca aspirasi rakyat sehingga tak mampu menyajikan alternatif terbaik kepemimpinan negara. Sebaliknya, bila calon tunggal menang banyak, pintu peluang kepemimpinan otoriter membuka.

PERTEMUAN JOKOWI DENGAN 6 PIMPINAN PARPOL DALAM KOMIK KARIKATURAL POLIKLITIK.COM. Tahun 2014, koalisi partai pendukung Joko Widodo –Koalisi Indonesia Hebat– jauh lebih langsing, tanpa Partai Golkar dan PPP. Namun mungkin berkat ‘kerja-kerja-kerja’, melalui satu intervensi berbalut kain sutera, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly ‘berhasil’ mengelola perselisihan internal di dua partai, Golkar dan PPP, untuk keuntungan penguasa. Hasil ‘rebus ulang’ dua partai itu kemudian menciptakan resultante akhir lepasnya dua partai itu dari Koalisi Merah Putih dan berpindah ke Koalisi Kerjasama Partai Pendukung Pemerintah. (Gambar head, Joko Widodo dalam komik Gunawan ‘Tukang Mebel Jadi Presiden)

Pedang bermata dua. ‘Sikap mental’ follow the triumphant sesungguhnya hanyalah sifat manusiawi belaka yang ada di tengah masyarakat. Bisa terjadi karena kekaguman atau sebaliknya karena takut, pengkultusan atau pemitosan seperti yang terjadi dalam feodalisme, dan tak jarang karena kelatahan dan hipokrisi. Kini, ditambah faktor bujukan uang dan materi. Beberapa dari sikap ini masuk rumpun determinism, dalam wujud diapositif.

Dalam konteks percaturan politik, mental follow the triumphant adalah sikap yang terdorong pragmatisme, dan biasa digenggam sebagai senjata taktis belaka. Jika sang triumphant mendadak dalam posisi lemah, para pengikut taktis akan berlomba berloncatan menjauh, seperti yang pernah dialami Soekarno dan Soeharto. Namun jika sang pengunggul tetap kokoh dalam kekuasaan, para pendukung akan bertahan dalam model politik yang cenderung berlangsung dalam pola penghambaan. Formulanya, “tak apa menghamba, asal ikut berkuasa, syukur-syukur di lingkaran terdekat pusat kekuasaan.” Dan tak segan menyediakan diri –sebagai partai, kelompok politik maupun perorangan– menjadi barisan pemukul atau bahkan pemancung leher dari mereka yang ada di seberang pagar kekuasaan.

Menjadi menarik di sini, kenapa lebih banyak partai politik atau tokoh politik lebih berkecenderungan menawarkan diri menjadi Wakil Presiden bagi Joko Widodo sang pengunggul saat ini, daripada berusaha merintis jalan menyediakan alternatif harapan baru. Padahal tersedia waktu setidaknya empat tahun lamanya. Mungkin mereka realistis akan kemampuan diri masing-masing, termasuk keraguan mengelola upaya penyediaan dana. Atau, merasa lebih mudah bila menumpang pada sang petahana dalam posisi kedua. Ini bisa dimaklumi sepanjang untuk partai peraih suara di bawah 10 persen pada Pemilu 2009.

Partai Golongan Karya. Paling menakjubkan dalam fenomena ini adalah Partai Golongan Karya, yang secara historis adalah triumphant masa lampau sampai dua dekade lalu. Meski dalam Pemilu 1999 terdorong ke posisi kedua di bawah PDIP, angka raihan suaranya tak jelek-jelek amat. Bahkan dalam Pemilu 2004 kembali unggul berada di posisi pertama. Dalam Pemilihan Presiden secara langsung untuk pertama kali pada 2004 dan kemudian pada 2009 Golkar masih punya keberanian menampilkan calon presiden sendiri. Akan tetapi sejak Pemilihan Presiden 2014 Partai Golkar menjadi partai pengikut saja. Dan itu kemungkinan besar diulangi lagi kini dalam menghadapi Pemilihan Presiden 2019. Golkar telah kehilangan kendali inisiatif, dan mungkin juga kehilangan kepercayaan diri, yang satu dan lain sebab akibat kerapuhan internal yang membuka pintu kekuasaan mencampuri kedaulatannya sebagai partai mandiri. Follow the triumphant menjadi pilihan dalam konteks pilihan sikap pragmatis. Meski, dengan hasil raihan suara 2004 sebesar 14,75 persen, bukannya tak tersedia peluang kepeloporan dalam penciptaan jalur sendiri bersama satu-dua partai kecil lainnya.

Namun, sudah merupakan realita kini bahwa Partai Golkar berada di barisan petahana Joko Widodo, lengkap dengan program Go-Jo. Target maksimal yang diharapkan adalah Ketua Umum Airlangga Hartarto menjadi pendamping selaku Wakil Presiden, walau harus berbagi harapan dengan sejumlah pimpinan partai dan tokoh lainnya. Akan tetapi sebenarnya bagi Golkar, yang jauh lebih penting daripada posisi dalam pemerintahan mendatang, adalah konsolidasi untuk pencapaian dalam Pemilihan Umum legislatif April 2019. Posisi dan pencapaian dalam pemilihan umum itu akan menentukan masa depan Golkar sebagai partai. Semestinya ini yang menjadi concern utama Golkar, dan jika toh terbawa sebagai Wakil Presiden atau mendapat sejumlah kursi kabinet, anggaplah itu bonus. Kalau bonus itu tak diperoleh, barangkali tak perlu lah loncat-loncat seperti kutu dan menghabiskan energi seraya mempertontonkan perilaku dan kepribadian politik oportunis yang sangat lazim dilakukan partai-partai politik oligarki pada satu-dua dekade belakangan ini.

Anggap ini sugesti, agar Golkar kembali kepada posisi terhormat pada dua momen historisnya, yaitu awal kelahirannya sebagai kekuatan pembaharu yang mendobrak kebekuan politik masa Nasakom menjelang 1965 dan tekadnya menjadi Golkar Baru –yang artinya melepaskan diri dari beban sejarah Orde Baru– melalui perobahan menjadi Partai Golongan Karya di tahun 1999 yang konsepsional. Blessing in disguise, kini putera-puteri Soeharto telah mendirikan Partai Berkarya, sebagai partai mereka sendiri….. (media-karya.com)

One thought on “‘Follow The Triumphants’, Terdorong ke Politik Penghambaan?”

  1. *Suara Warga*

    *AKSI NASIONAL 18818*

    *Kpd Yth Presiden RI dan Rekan-rekan Anak Bangsa Indonesia*

    *MERDEKA !*

    *Pasca 5Jul18 Mari Kita Bersama Kukuhkan UUD 1945 [BRI Tahoen II No 7, 1946 jo LNRI No 75/1959] Selalu Jadi BENTENG PANCASILA Kokohkan Daulat NKRI*

    https://jakarta45.wordpress.com/2018/07/01/kenegarawanan-uud-1945-itu-benteng-pancasila/

    *Sukseskan Peringatan Hari Konstitusi Pro Pancasila Indonesia Kokohkan NKRI Demi Kebanggaan Anak Bangsa Indonesia Miliki UUD Negara Republik Indonesia Merdeka Sejak 18 Agustus 1945, Sambil Meriahkan Pembukaan Asian Games XVIII Bersama Rakyat 45 Negara*

    *Wonderful Indonesia by Constitution 18Aug1945 Pro Pancasila, the State Ideology of Indonesia*

    Jakarta, 22 Juli 2018

    *Salam45 & Tetap MERDEKA !*

    [ *MABINDO – Majelis Anak Bangsa Indonesia @Pandji R Hadinoto* ]

    *Mempertimbangkan juga hal-hal sebagai berikut :*

    *Bahwa Amien Rais Minta Maaf, Amandemen UUD 1945 Merusak Negara*
    https://amp.kaskus.co.id/thread/574e8ab5582b2eec048b456a/amien-rais-minta-maaf-soal-amandemen-uud-1945-yg-merusak-negara [ *@prh* ]

    *Gus Dur : Amien Rais Salah Telah Amandemen UUD 1945*
    https://m.detik.com/news/berita/629880/gus-dur-amien-rais-salah-telah-amandemen-uud-1945 [ *@prh* ]

    *Ada Campur Tangan Imperialis Dalam Amandemen UUD 1945*
    http://www.berdikarionline.com/campur-tangan-imperialis-dan-amandemen-uud-1945/ [ *@prh* ]

    *Bahwa UUD 2002 Amandemen Batal Demi Hukum akibat LNRI 11-14/2006 Abaikan Pembukaan UUD 1945 alias Non Sila2 Pancasila* [ *@prh* ]

    Like

Leave a Reply