Dilema Dukungan Golkar @ Joko Widodo-Ma’ruf Amin

SEAKAN mengonfirmasi ‘rumor’ yang telah beredar internal tentang keterbelahan sikap Partai Golkar, Fadel Muhammad –anggota Dewan Pembina– pekan ini menyebut partainya tak solid mendukung pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Partai Golkar kecewa karena bukan Ketua Umum Airlangga Hartarto yang dijadikan calon Wakil Presiden. “Saya sebagai Dewan Pembina sangat kecewa, kok bukan Golkar yang diambil,” ujar Fadel Selasa petang 21/8 seperti dikutip pers.

Padahal, menurut Fadel, selama ini di parlemen Golkar mati-matian membela Jokowi. Bahkan, lebih membela dibanding PDIP. “Saya bisa berani bantah-bantahan. Kita kecewa.” Besar kemungkinan, kata Fadel, beberapa kader Golkar akan mendukung pasangan lain, yakni Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Tapi, kata salah satu Ketua Golkar Indra Bambang Utoyo, Golkar tetap solid dalam koalisi pendukung Joko Widodo. Indra mengaku kepada pers banyak yang kecewa, termasuk dirinya yang sama kecewanya dengan Fadel, dalam soal kenapa kader Golkar tak dipilih sebagai calon Wakil Presiden. Namun, harus tetap taat pada garis partai yang mendukung Jokowi Ma’ruf. Dan kalaupun Golkar ingin merobah dukungan, harus diputuskan melalui Munaslub.

PERJUANGAN PEMBAHARUAN 1966. Berturut-turut dalam Pemilu 2009 dan 2014 Golkar meraih hanya 14,45% dan 14,75% suara. Turun dari Pemilu 2004 yang 21,58% dalam posisi pertama. Posisi rendah raihan suara ini, telah membuat Partai Golkar sekedar sebagai partai pengikut selama hampir sepuluh tahun ini. Bukan partai pengatur inisatif politik. Sebuah ironi terkait sejarah kelahirannya sebagai kekuatan pembaharuan politik, yang makin tertampilkan khususnya sejak tahun 1966. #MediaKarya

Menghitung dampak elektoral Joko Widodo bagi Golkar #dilemagolkar

Selain kaitan kekecewaan, ada argumen lain yang menarik dalam pernyataan Fadel. Dukungan terhadap Joko Widodo, dalam hitungan Fadel, tak akan memberikan dampak elektoral bagi Golkar dalam pemilihan umum legislatif 2019 nanti. Ini hampir sama dengan analisa sejumlah pengamat, bahwa dampak elektoral dukungan terhadap pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin, hanya akan lebih dinikmati PDIP daripada PPP dan PKB, apalagi Partai Golkar.

Faktor Ma’ruf Amin itu sendiri sebenarnya memang belum bisa dianggap serta merta menambah dukungan, khususnya dari kalangan umat Islam. Hal ini terutama disebabkan efek drama belakang layar tergesernya Mahfud MD. Ditambah lagi, isu Islam Nusantara yang juga sedang dihadapi Ma’ruf Amin. Tak kalah penting, pindah kutub yang dilakukan Ma’ruf Amin ke sisi rezim penguasa yang selama ini banyak dipersepsi  ‘anti Islam’ –seperti terlihat saat menghadapi gejolak 411 dan 212– adalah terlalu sulit dicerna. Dianggap, terdapat cita rasa oportunistik melekat pada diri para pelaku yang terlibat dalam drama itu, yang berpotensi distrust bagi sebagian ‘umat’.

Drama terkait Mahfud itu sendiri telah ditafsirkan dan dijelaskan secara berbeda-beda. Namun peristiwa itu tak terlalu jauh dari rumpun akar masalah yang pernah dituliskan ahli psikologi dari Universitas Padjadjaran, Hatta Albanik. Bahwa warganegara atau rakyat selama ini hanya merupakan objek untuk unjuk kuasa dari penguasa negara. Rakyat hampir tidak pernah berperan untuk menentukan segala sesuatu kepentingan bangsa dan negara. Rakyat hanya harus tunduk dan didisiplinkan oleh penguasa negara yang menganggap diri sebagai pemilik negara dan boleh berlaku sewenang-wenang.

Padahal sementara itu, sikap sewenang-wenang itu sendiri suatu sikap yang sebenarnya justru adalah bentuk ketidakdisiplinan tertinggi.

Hidup bernegara merdeka memerlukan kemampuan untuk menyelenggarakan kehidupan berbangsa dan bernegara. “Untuk memperoleh kemampuan itu, setiap warganegara termasuk pemimpin-pemimpin di dalam negara itu, harus mampu menyelenggarakan perilaku hidup bernegara yang sehat dan normal. Perilaku sehat dan normal itu tumbuh dari kepribadian yang sehat dan normal pula.” Padahal perilaku sehat dan kepribadian sehat yang disebut Hatta itu, justru kini langka dalam percaturan politik dan kekuasaan Indonesia saat ini.

Bagi Partai Golkar, terlepas dari apakah mencabut dukungan atau melanjutkan mendukung, yang terpenting saat ini, bagaimanapun adalah meraih angka signifikan dalam pemilihan legislatif 2019 mendatang. Angka-angka itulah yang akan menentukan eksistensi partai di masa depan. Joko Widodo boleh menang, tapi belum tentu itu menjadi berkah bagi Golkar. Selama Golkar sendiri memperoleh angka rendah dalam pemilihan umum legislatif, selama itu juga ia tak cukup berharga dalam koalisi. Politik Indonesia sekarang ini sama sekali bukan soal balas jasa masa lampau, melainkan sepenuhnya terkait angka keterpilihan oleh rakyat sebagai modal politik ke depan.

Berturut-turut dalam Pemilu 2009 dan 2014 Golkar meraih hanya 14,45% dan 14,75% suara. Turun dari Pemilu 2004 yang 21,58% dalam posisi pertama. Posisi rendah raihan suara ini, telah membuat Partai Golkar sekedar sebagai partai pengikut selama hampir sepuluh tahun ini. Bukan partai pengatur inisatif politik. Sebuah ironi terkait sejarah kelahirannya sebagai kekuatan pembaharuan politik, yang makin tertampilkan khususnya sejak tahun 1966.

Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Dilema Partai Golkar #dilemagolkar

Situasi Golkar sedikit dilematis. Bila begitu saja mencabut dukungan bagi Jokowi, ia akan dikategorikan hanya partai sakit hati, sekedar mengejar kekuasaan atau oportunistik. Bisa diserang dari sisi etika berpolitik, meskipun politik itu sendiri sedang dalam situasi nyaris tanpa etika lagi. Sebaliknya, jika hanya all out memenangkan Joko Widodo, apakah dengan kemampuannya yang pas-pasan per saat ini Golkar masih punya sisa stamina dan berprestasi menghadapi pemilu legislatif?

Tak kalah penting, di antara segalanya, bila tak bijak membaca dan memahami aspirasi internal –yang terabaikan selama ini, bahkan sebelum ikut mengusung Jokowi– akan muncul potensi kerapuhan internal. Baik dalam kepentingan jangka pendek menghadapi Pemilu 2019, maupun dalam mencegah terciptanya situasi kerapuhan akut yang berkepanjangan ke depan. Partai yang tak punya tujuan sendiri yang aspiratif, cepat atau lambat pada akhirnya hanya akan tertinggal sekedar sebagai catatan sejarah. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

2 thoughts on “Dilema Dukungan Golkar @ Joko Widodo-Ma’ruf Amin”

  1. Perilaku tidak konsisten para petinggi Golkar menggambarkan hasil kaderisasi tanpa ideologi yg menghasilkan kader opportunis tsk kenal demokrasi. Orientasi kekuasaan yg kuat dan elitis feodal menjadikan partai no 2 ini tidak memiliki integritas atau personality pejuang utk rakyat.

    Like

  2. (Partai) golkar sekarang diisi avonturir pemburu harta dgn menunggangi kekuasaan politik.
    Tdk ada yg memahami idealisme kekaryaan sebagaimana dimaksud dlm uud 1945 asli produk ppki 18 agustus 1945. Bahwa permusyawaratan/perwakilan dalam badan2 kenegaraan bukan hanya terdiri atas wakil2 partai politik, tetapi juga wakil2 golongan, daerah, dan aliran dalam masyarakat.
    Inilah yg menimbulkan idealisme golkar utk tdk menyatakan diri sebagai partai karena merepresentasikan diri sebagai golongan yg dijamin konstitusi sebagai wakil rakyat dalam badan2 permusyawaratan/perwakilan. Bukan hanya diwakili oleh golongan politik melalui partai politik, tetapi juga oleh golongan2 yg terhimpun dalam bentuk kekaryaan buruh, tani, nelayan, pengusaha, pemuda, wanita, profesi dan semacamnya yg tdk berbasis ideologi kepartaian primordial lagi; kecuali ideologi negara.

    Like

Leave a Reply