Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019

SEBELUM terjadi aksi massa Islam massive 411 dan 212 di bagian akhir 2016, tak terbayangkan bahwa Joko Widodo akan tiba-tiba tampil dengan manuver politik yang sarat retorika ke-Islam-an. Soalnya, sebelum itu beberapa tokoh partai pendukung utamanya, PDI-P, kerap melontarkan narasi-narasi yang dimaknai sebagai anti Islam.

Secara historis, mengacu kepada pembagian masyarakat (Jawa) menurut Clifford Geerzt, cikal bakal utama PDI-P yakni PNI pada hakekatnya memang berakar pada kaum abangan selain kaum priyayi. Di seberangnya, adalah kaum santri. Secara historis pula, PNI sebagai unsur Nas pada masa Nasakom Soekarno tercatat memiliki kedekatan yang kental dengan unsur Kom. Banyak berkonfrontasi mendampingi unsur Kom terhadap unsur A yang terjepit di tengah.

Namun, dalam realita saat ini, bandul politik Joko Widodo yang tampil memperjuangkan masa kepresidenan kedua, telah mengayun keras dari kiri hingga jauh ke kanan. Dari citra anti Islam ke citra mitra. Puncaknya, menempatkan tokoh ulama Kyai Ma’ruf Amin sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 17 April 2019. Meski, secara tragis harus ‘mencampakkan’ tokoh berintegritas, Mahfud MD.

Minim kontribusi, tapi melemahkan Islam konservatif

Dalam situasi dadakan itu, bukan sesuatu yang mengherankan, tulis John McBeth dalam Asia Times (12/1/ 2019), bila ulama konservatif Ma’ruf Amin 75 tahun –yang disodorkan di akhir tenggat waktu– dimaknai sekedar ‘penumpang’ dalam perjalanan menuju 17 April 2019. Tapi tentu saja Amin akan lebih bernilai, jika Widodo bisa terpilih kembali. Walau, pada saat yang sama kaum minoritas resah atas pengaruh apa yang akan diberikannya terkait isu-isu seperti RUU Halal yang dikuatirkan akan menimbulkan bencana. Atau, lebih buruk lagi, bagaimana jika terjadi sesuatu pada diri presiden, kendati sejauh ini ia tampak sehat-sehat saja.

TOKOH-TOKOH PEMIMPIN INDONESIA (PRABOWO, SBY, JOKOWI, HATTA RAJASA, BUDIONO DAN JUSUF KALLA) SEMUA BISA DAN BIASA SHALAT. Terpenting di sini, pertanyaan sejauh mana Joko Widodo akan berhasil dalam memainkan kartu ‘baru’ kemitraan politik dengan Islam. Padahal, kelompok pendukungnya, khususnya kelompok minoritas –yang perlu juga dijaga perasaannya oleh Joko Widodo– selama ini senantiasa mengecam keras politik identitas. Kenapa kini Joko Widodo seolah bermain di ladang politik identitas itu, semisal mempublikasikan kemampuan menjadi imam dalam shalat berjamaah? (Foto-foto original, download/Nurphoto-AFP) #MediaKarya

Tapi “pada akhirnya, para analis mungkin berpendapat bahwa meski Amin tak mungkin berperan memenangkan Widodo, namun setidaknya ia ikut melemahkan ‘ancaman’ kelompok Islam konservatif.” Bagi beberapa pihak, Amin berhasil menunaikan tugas ‘memecah’ apa yang disebut Gerakan 212. Gerakan ini adalah koalisi konservatif yang menjatuhkan Gubernur Jakarta Basuki ‘Ahok’ Purnama di awal 2017, seraya mengarahkan sorotan tajam kepada Joko Widodo.

Ma’ruf Amin berada di tengah pusaran Gerakan 212, sebelum akhirnya mengatakan tugasnya sudah selesai setelah Basuki Tjahaja Purnama dipenjara karena penistaan agama. Tapi mencengangkan, kini dia mengaku menyesal telah ‘mengirim’ sang gubernur yang sempat populer itu ke penjara.

Gerakan 212 seakan berkeping setelah kepergian pemimpin FPI Rizieq Shihab ke ‘pengasingan’ di Arab Saudi, menghindari kejaran tuduhan kriminal yang dianggapnya beraroma politik. Sementara itu mantan jurubicara 212 Kapitra Ampera –yang tadinya pengacara Shihab– pun memilih ‘hijrah’ menerima tawaran menjadi calon anggota parlemen PDI-P.

Sebagai mantan Ketua Nahdlatul Ulama dan Ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin mungkin memiliki keilmuan agama yang tak tertandingi. Namun, menurut Asia Times, seorang akademisi Islam menyebut Amin seorang oportunis. Sebagai penasihat Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono, Ma’ruf bertanggungjawab menyorongkan fatwa dan kebijakan yang mengarah ke penurunan reputasi Indonesia dalam toleransi beragama antara 2008 hingga 2014.

Meninggalkan Mahfud MD karena proyeksi 2024

Sebagian khalayak di Indonesia bertanya-tanya bagaimana tokoh yang sehari-hari selalu bersandal dan memakai sarung ini, akan menangani masalah ekonomi dan persoalan duniawi lainnya dalam debat-debat televisi dengan konglomerat milenial Sandiaga Uno yang menjadi pasangan Prabowo Subianto. Pada sisi lain, tentu saja, Amin akan menjadi faktor persuasi menghadapi kampanye yang menempatkan Joko Widodo sebagai seorang tokoh bercitra komunis dan tidak Islami. Namun sebagian besar survei menunjukkan bahwa Ma’ruf Amin hanya memberi sedikit sekali pengaruh dalam elektabilitas Joko Widodo.

Dan memang, “dalam satu survei belum lama berselang, Widodo benar-benar kehilangan 1,5 persen suara dalam kebersamaannya dengan Amin. Bahkan di kalangan pemilih yang lebih muda penurunan mencapai 8-10 persen. Itu memungkiri realitas politik, terutama di dua benteng Islam konservatif –Banten dan Jawa Barat yang adalah provinsi dengan penduduk terbanyak.”

Pada tahun 2014, Joko Widodo kehilangan banyak dukungan di Banten dan Jawa Barat –dua dari lima provinsi kemenangan Prabowo. Saat ini, di Banten, provinsi asal Amin, Widodo tertinggal. Keterpilihannya turun dari 58,7% menjadi 39% dan mungkin akan semakin merosot, tergantung pada tanggap-daruratnya  dalam menangani bencana Tsunami Anak Krakatau baru-baru ini.

Amin pun tak begitu dikenal di komunitas Islam Banten. Meninggalkan Banten bersama orang tua di usia dini, untuk belajar di Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur, yang didirikan pendiri NU Hasyim Asy’ari akhir 1890-an.

Joko Widodo mulai mendekati Amin segera setelah kasus Ahok berakhir, namun belum membayangkannya sebagai calon wakil presiden. Sampai para mitra dalam koalisi yang berkuasa menolak pilihannya atas mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mohammad Mahfud MD. Para mitra dalam koalisi khawatir bahwa Mahfud memiliki ambisi politik sendiri. Terdepan dalam penolakan itu adalah pemimpin PDI-P Megawati Sukarnoputri. Agaknya Mega telah memproyeksikan putrinya, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia, Puan Maharani, 45, sebagai kandidat pada tahun 2024. Penolakan lainnya datang dari Ketua PKB, Muhaimin Iskandar, 52, Wakil Ketua MPR yang memiliki ambisi serupa.

‘Keasjikan’ bermain dengan isu-isu agama

Selama pertemuan nasionalnya November tahun lalu, Dewan Masjid Indonesia –yang dipimpin Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk masa jabatan 5 tahun kedua– mengeluarkan arahan bahwa 800.000 masjid di negara ini tak boleh digunakan untuk kegiatan politik. Tapi Azyumardi Azra meragukan ‘kesungguhan’ Kalla menegakkan arahan itu. Jelas itu berarti menghentikan  penggunaan tempat-tempat ibadah sebagai titik mobilisasi oposisi. Padahal selama kampanye anti-Ahok secara ironis Kalla ikut mendukung Anies Baswedan yang diinginkan oposisi.

Bulan November 2018 BIN meluncurkan laporan bahwa 41 masjid di lingkungan lembaga-lembaga pemerintahan, telah terpapar paham radikal dan intoleransi agama. Dan baru-baru ini, PKB yang merupakan salah satu partai dalam koalisi pemerintah, mendukung usulan satu kelompok ulama Aceh, untuk dilakukannya uji membaca Al Qur’an kepada para calon presiden.

Para pengamat menjadi khawatir bahwa ‘keasyikan’ bermain dengan isu-isu agama seperti ini, membuat para politisi terlena dan lalai memperhatikan masalah keseharian yang dihadapi masyarakat, misalnya harus membeli beras dengan harga lebih mahal dibanding rakyat di negara Asia Tenggara lainnya. Atau kenyataan begitu banyaknya alat peringatan dini tsunami ada dalam keadaan rusak.

Tampaknya Ma’ruf Amin ada di tengah pusaran berbagai masalah aktual itu, namun hanya memiliki keterbatasan penguasaan persoalan di luar masalah perbankan Islam. Asia Times mengutip Azyumardi Azra mengatakan “Orang tak hanya kuatir mengenai masalah kesehatannya –ia memilik masalah jantung dan mudah lelah– tetapi juga kurangnya keahlian dalam apa pun di luar soal agama.”

TAPI terpenting di sini, pertanyaan sejauh mana Joko Widodo akan berhasil dalam memainkan kartu ‘baru’ kemitraan politik dengan Islam melalui Ma’ruf Amin atau Said Aqil Siroj. Padahal, kelompok pendukungnya, khususnya kelompok minoritas –yang perlu juga dijaga perasaannya oleh Joko Widodo– selama ini senantiasa mengecam keras politik identitas. Kenapa kini Joko Widodo seolah bermain di ladang politik identitas itu, semisal mempublikasikan kemampuan menjadi imam dalam shalat berjamaah? Gerakan 212 sebaliknya makin mampu menampilkan sikap damai dalam gerakannya. Seperti kata Azyumardi Azra, yang kini memimpin sekolah pasca sarjana UIN, Gerakan 212 hakekatnya lebih merupakan gerakan politik daripada gerakan agama. Dan kelihatannya pula, pada saat yang sama kubu pesaing justru makin meninggalkan politik identitas itu… (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

2 thoughts on “Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019”

  1. Tokoh2 pemimpin berkwalitas tinggi sulit utk naik dinegeri ini; contoh Habibi, Mahfud MD, krn akan dihadang oleh partai2 yg lebih ingin kader2 inti mereka sendiri yg naik, meskipun berkwalitas rendah, sedangkan tokoh2 berkwalitas tinggi cenderung agak independent meskipun berlatar belakang dr partai tertentu.
    Perlu pemikiran utk mendapatkan solusi atas kondisi cara berpikir partai2 yg egois spt itu.

    Like

Leave a Reply