Lakon Kaum Opportunis Di Kancah Pemilihan Presiden 2019

SALAH satu ketidaknyamanan yang sangat terasa menjelang Pemilihan Umum Presiden 2019, adalah muncul dan berperannya sejumlah opportunis dengan lakon-lakon opportunisme politik. Dan cukup mencengangkan, kubu-kubu yang sedang menjalani kompetisi politik, seringkali dengan senang hati menerima tokoh-tokoh opportunis itu. Tak mengherankan, karena seorang opportunis itu ibarat bunglon atau chameleon, sangat pandai menyesuaikan warna dirinya dengan lingkungan sekitarnya, sehingga mempesona para penghuni lama dan tuan rumah.

Bahkan lebih dari itu, terkesan para pihak sangat senang menerima para penyeberang, teristimewa bila itu bisa ‘melukai’ emosi lawan politik. Ini terutama bila tuan rumah menerapkan ilmu Jenderal Sun Tzu (544 SM – 496 SM). Sang jenderal dalam strategi ke-3 dari 39 strategi, mengajarkan, bunuh lawan dengan pisau pinjaman. Cara lain, sogok pengikut musuh untuk menjadi pengkhianat –artinya, gunakan kekuatan musuh untuk melawan dirinya sendiri. Maka para penyeberang seringkali disambut –dengan pernyataan sukacita yang insinuatif atau seremoni kecil– bak mendapat pasokan persenjataan baru untuk perang.

Padahal semestinya ada juga rasa was-was bila menerima penyeberang baru. Para penyeberang –yang dalam tatanan sosial Indonesia masa lampau pasti dicap pengkhianat– bisa juga menjadi faktor pemicu pembusukan dari dalam. Mereka yang pernah satu kali berkhianat, tak mustahil berkhianat untuk kedua kali atau ketiga kali.

Opportunisme adalah sikap dan perilaku secara sadar mengambil keuntungan dari situasi, tanpa perlu terlalu memperhatikan prinsip, etika dan tak memperdulikan apa akibatnya bagi orang lain. Perilaku opportunis dipandu semata-mata oleh motif kepentingan diri sendiri atau kelompok. Maka, kata Allan Ulrich, seorang opportunis itu licin dan amoral.

OPPORTUNISME MENGALAHKAN ITIKAD BAIK. Opportunisme adalah sikap dan perilaku secara sadar mengambil keuntungan dari situasi, tanpa perlu terlalu memperhatikan prinsip, etika dan tak memperdulikan apa akibatnya bagi orang lain. Perilaku opportunis dipandu semata-mata oleh motif kepentingan diri sendiri atau kelompok. Mengenyampingkan itikad baik. Maka, kata Allan Ulrich, seorang opportunis itu licin dan amoral. (Karikatur T Sutanto 1967/Gambar head, Bunglon, original download) #MediaKarya

L’histoire se repete

Pada puncak kekuasaannya, 1960-1965, Presiden Soekarno sering menuduh mereka yang tak setia kepadanya sebagai kaum plintat plintut. Sedang yang tak setia kepada revolusi disebutnya kontra revolusioner. Frase plintat plintut  –yang diangkat dari bahasa Jawa– ditujukan kepada orang dengan sikap tidak tegas, mudah berubah pendirian. Sebentar ya, sebentar tidak. Dalam bahasa Indonesia, ada padanannya, yaitu ‘berlidah dua’ atau ‘lidah bercabang’ atau ‘ular berkepala dua’. Dalam frasa sederhana kalangan akar rumput, ‘pagi tahu, sore tempe’.

Pada masa perjuangan 1966, plintat plintut berubah menjadi plin plan. Ini bermula dari salah ketik seorang pengasuh Harian Api. Dalam sebuah tulisan di tahun 1965 –di saat getol-getolnya ‘pengganyangan’ PKI setelah Peristiwa 30 September 1965– kata plintat plintut terketik plin plan. Itu keterusan sampai naik cetak. Istilah plin plan malah menjadi populer karenanya, melebihi plintat plintut. Mendapat perluasan makna, dan menjadi istilah politik untuk menggambarkan “sikap menyelamatkan diri dalam kesempitan sambil mengambil kesempatan menguntungkan diri atau kelompoknya.” Menjelma pula sebagai istilah tentang tak satunya kata dengan perbuatan. Ironisnya, Soekarno sendiri akhirnya mendapat tudingan plin plan, ketika tak bisa bersikap tegas terhadap PKI yang nyata-nyata terlibat Peristiwa 30 September 1965.

L’histoire se repete, sejarah bisa berulang. Perilaku kelicikan pun selalu ikut berulang dalam sejarah. Opportunisme yang dipraktekkan di masa lampau, kembali dipraktekkan di masa kini. Bermunculan tokoh-tokoh opportunis pelintas batas perkubuan –antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Empat tahun lalu mencaci dari seberang, kini pindah kubu menjadi kaki tangan politik pihak yang dulu dimaki-makinya. Dan di kubu baru sang opportunis tampil tak kalah ganas, bahkan lebih ganas dari para jurubicara lama.

Sejumlah kepala daerah yang naik karena dukungan kubu tertentu, kini tak segan pindah mendukung pihak lain di seberang. Biasanya berkaitan dengan hitung-hitungan dalam konteks kekuasaan. Entah karena memang opportunis sejati, entah mencari aman untuk posisinya, entah karena ketakutan diungkit dosa koruptifnya sehingga perlu pindah kubu perlindungan. Tentu tak perlu menyebut nama atau contoh di sini, toh semua juga sudah tahu siapa saja para pelaku dalam lakon opportunis di kancah Pemilihan Presiden 2019 ini.

Berlalunya keutamaan politik

BAGAIMANA aspek penegakan moral dari fenomena lakon kaum opportunis ini di kancah Pemilihan presiden 2019? Tak terlalu mengherankan sesungguhnya, karena bukankah lekatan moral dan etika sudah lama terlepas dari praktek politik yang kini sangat pragmatis? The primacy of politics, saat politik di masa lampau menduduki tempat terhormat dalam masyarakat, sudah lama berlalu. Politik masa kini menjadi kotor karena penuh hipokrisi yang disertai kecenderungan korup. Memang mencemaskan, namun bukan luar biasa mencemaskan, sepanjang kaum intelektual masih sanggup menjaga jarak objektif dengan kepentingan kekuasaan dalam konteks kebenaran.

Seribu opportunis takkan menggoyahkan sendi-sendi bangsa dan negara. Namun bila satu persatu intelektual mulai menjadi bunglon lalu melacurkan diri kepada para politisi dan segelintir elite kekuasaan negara –yang justru harus diajarinya mengelola bangsa dan negara dengan baik dan benar– itu tanda-tanda kehancuran. Mari awasi tanda-tanda yang satu ini…. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

2 thoughts on “Lakon Kaum Opportunis Di Kancah Pemilihan Presiden 2019”

  1. Prabowo undang anak2 PKI – utk gabung ke Gerindra . Masih waras si Wowo ini ? Cawapresnye gagal di DKI
    koq mau di-sanding-ken ke posisi paling teratas …. tepok jidat niihh…

    Like

Leave a Reply