SEMPAT bersikap seakan meremehkan kepulangan Habib Rizieq Shihab ke tanah air, para petinggi rezim berkuasa saat ini terkesan bagai tersengat kejutan keluarbiasaan sambutan massa yang terjadi. Tiba di Jakarta bertepatan dengan Hari Pahlawan 10 November 2020, Habib Rizieq disambut dan dielu-elukan ratusan ribu massa –ada yang mengecilkan dengan skala ribuan saja, ada yang menyebut skala jutaan– sejak dari Bandara Soekarno-Hatta hingga Petamburan Jakarta Pusat.
Lalu, tiba-tiba saja pemimpin Front Pembela Islam ini, Habib Rizieq Shihab, menjadi satu faktor penting dalam kancah sosial politik. Penting sebagai teman bersinergi dalam pergerakan kritis maupun gerakan oposisi terhadap rezim kekuasaan. Atau, sebaliknya menjadi momen untuk menunjukkan jasa kepada rezim, tampil dengan gagah berani ke “garis depan” menghadapi Habib Rizieq dan barisan FPI-nya. Entah dengan kata-kata keras yang terkesan mengancam, operasi penurunan baliho Imam Besar FPI itu, sampai kepada show of force iring-iringan pasukan operasi khusus TNI di Petamburan.
Pada sisi anti klimaks, dua Kapolda dan dua Kapolres dilepas dari posisinya karena dianggap tak mampu mencegah terjadinya kerumunan massa berskala besar –yang dianggap pelanggaran protokol Covid-19 dalam kaitan pembatasan sosial berskala besar. Tak ketinggalan penindakan dan penahanan pradjurit dan bintara TNI yang ikut mengelu-elukan kedatangan Habib Rizieq. Sayangnya, mungkin berbeda dengan yang diharapkan, tindakan-tindakan pro-aktif kontra itu untuk sebagian besar justru lebih banyak memberi efek bumerang, meningkatkan “rating” Habib Rizieq dan FPI sebagai faktor.
Bersama Jenderal Wiranto
Sebelum tiba pada posisi terbarunya sebagai faktor, FPI bersama Habib Rizieq telah melalui satu sejarah cukup panjang. Sempat dianggap sebagai duri dalam daging kehidupan sosial dan politik Indonesia pada satu sisi, bahkan sempat dikategorikan sebagai public enemy oleh aktivis perempuan masa lampau, Ratna Sarumpaet. Akan tetapi pada sisi lain dipuja di kalangan akar rumput karena keberaniannya bertindak terhadap sejumlah penyakit sosial –kebiasaan bermabuk-mabukan karena minuman keras, pelacuran dan perjudian– yang seakan tak mampu ditangani dengan tegas oleh kepolisian dan penegak hukum lainnya.

Empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur, pada 17 Agustus 1998 di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat Jakarta Selatan, sejumlah habib, ulama, mubaligh dan aktivis Muslim disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek mendeklarasikan FPI. Tujuannya, untuk menegakkan hukum Islam di negara sekuler. Organisasi ini dibentuk dengan tujuan menjadi wadah kerja sama antara ulama dan umat dalam menegakkan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar di setiap aspek kehidupan. Demikian tulis Drs Syamsir Alam, aktivis mahasiswa 1966-1973, dalam socio-politica.com Januari 2012.
Di bawah pimpinan Habib Muhammad Rizieq Shihab sebagai Ketua Umum FPI, organisasi massa ini berkembang dengan subur di masa pemerintahan Presiden Habibie. FPI diasumsikan dekat dengan orang-orang di sekeliling Soeharto, karena ketika Letjen (Purn) Prabowo Subianto masih aktif, diduga FPI adalah salah satu binaan menantu Soeharto tersebut. Namun, setelah Prabowo “redup”, FPI kemudian cenderung mendekati kelompok Jenderal Wiranto yang tengah bermusuhan dengan kelompok Prabowo. Keterkaitan FPI dengan Wiranto barangkali dapat disimpulkan dari aksi ratusan milisi FPI –yang selalu berpakaian putih-putih– ketika mendatangi kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk memprotes pemeriksaan Jenderal Wiranto dan kawan-kawan oleh KPP HAM. Dengan membawa pedang dan golok, milisi FPI yang datang ke kantor Komnas HAM itu bahkan menuntut lembaga hak asasi manusia ini dibubarkan, karena dianggap lancang memeriksa para jenderal. Sementara kedekatan FPI dengan ABRI sebagai institusi, terlihat dalam aksi demonstrasi tandingan yang dilakukan melawan aksi mahasiswa yang menentang RUU Keadaan Darurat yang diajukan Mabes TNI kepada DPR pada 24 Oktober 1999.
Sebagaimana organisasi lain penegak syariat Islam pada umumnya, FPI adalah organisasi “tertutup” dan menebarkan sejumlah jaringannya di berbagai wilayah Indonesia. Selain itu, FPI memiliki sayap milisi yang dikenal sebagai Laskar Pembela Syariat Islam (LPI), suatu satgas yang digembleng dengan pendidikan semi militer dan militan. Anggota LPI ini rela meregang nyawa demi cita-cita FPI. Penjenjangan dalam satgas ini diatur mirip dengan penjenjangan dalam militer: Mulai dari Imam Besar dan Wakil (pemimpin laskar tertinggi), penjenjangannya kemudian menurun kepada Imam (panglima beberapa provinsi), Wali (panglima provinsi), Qoid (komandan laskar kabupaten), Amir (komandan laskar kecamatan), Rois (komandan regu), dan Jundi (anggota regu).
Belakangan, FPI makin dikenal luas karena aktivitasnya yang menonjol dalam kancah politik Indonesia. Kelompok ini pertama kali dikenal karena keterlibatannya sebagai “PAM swakarsa” yang –dengan bersenjatakan golok dan pedang– menyerang para mahasiswa yang menentang pencalonan kembali Habibie sebagai Presiden RI dalam sidang istimewa MPR pada November 1998. Pada bulan yang sama, FPI terlibat dalam aksi penyerangan satpam-satpam asal daerah tertentu, yang mengawal sebuah kompleks perjudian di Ketapang, Jakarta. Pada Desember 1999, ribuan anggota FPI menduduki Balai Kota Jakarta selama sepuluh jam, menuntut penutupan seluruh bar, diskotik, sauna dan night club selama bulan Ramadhan. Sepanjang tahun 2000, secara reguler kelompok militan ini menyerang bar, kafe, diskotik, sauna, rumah bilyard, tempat-tempat maksiat, dan tempat-tempat hiburan lainnya di Jakarta, Jawa Barat, dan bahkan di Lampung. Aksi-aksi militan FPI itu disebutkan untuk membasmi kemungkaran. Namun menurut tokoh Pemuda Ansor, Nusron Wahid, justru dilakukan dengan cara-cara yang juga mungkar.
Dalam serentetan aksi FPI di medan laga, polisi terlihat hanya datang menyaksikan aksi-aksi perusakan. Sekalipun polisi kemudian mengecam aksi-aksi itu, tetapi tak satu pun anggota FPI yang ditangkap. Sejumlah pengamat mengungkapkan –yang juga diyakini kebenarannya oleh sebagian masyarakat– bahwa polisi telah memanfaatkan FPI dan milisi LPI untuk memaksakan kondisi kegaduhan terkendali (protection rackets) dengan membiarkankan aksi tersebut terjadi, dan bahkan mengarahkan serangan tersebut ke sasaran tertentu.
Setelah “kemunduran” sementara Wiranto bersama surutnya BJ Habibie dari kekuasaan –sebelum akhirnya masuk kembali ke dalam kekuasaan di periode pertama Joko Widodo– kelompok militan ini kehilangan induknya, dan mulai lebih mengalihkan perhatiannya kepada upaya penegakan syariat Islam di Indonesia.
Mengapa FPI menjadi seakan begitu berkuasa?
Sebuah bocoran Wikileaks mengenai sejumlah dokumen rahasia Amerika Serikat yang terkait dengan Indonesia, memaparkan adanya hubungan antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI). Selain mengungkapkan FPI yang katanya dijadikan ‘attack dog’ Polri, bocoran Wikileaks juga menyebutkan mengenai mantan Kapolri yang waktu itu menjadi Kepala BIN, Jenderal (Purn) Sutanto, sebagai tokoh yang pernah mendanai FPI (http://id.berita.yahoo.com/bocoran-wikileaks-donatur-fpi-telah-menciptakan-monster-144638934.html). Dan pada telegram terbaru di akhir 2006 yang kemudian dibocorkan Wikileaks, disebutkan bahwa Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid, mengatakan para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, belakangan kehilangan kontrol atas kelompok tersebut.
Disebutkan bahwa para donatur FPI itu seakan telah “menciptakan monster” yang sekarang menjadi independen dan tidak merasa terikat kepada para donatur mereka sebelumnya. “Walaupun siapa saja yang memiliki uang dapat memakai jasa FPI untuk kepentingan politik, namun tidak ada seorang pun di luar FPI bisa mengontrol Habib Rizieq yang kini menjadi bos bagi dirinya sendiri,” ungkap bocoran telegram rahasia tersebut. Apapun yang dinarasikan, Habib Rizieq tambah diperhitungkan. Berlanjut ke Bagian 2 (media-karya.com/socio-politica.com) #mediakaryaanalisa