Category: Pemilihan Presiden

Pemilihan Presiden 2019: Peluang Hilang Dukungan di ‘Menit’ Akhir

DAMPAK publikasi survei Harian Kompas 20-22 Maret ternyata menggelinding jauh dan jadi bahan diskursus tajam hingga kini. Seorang pembicara di forum ILC tvOne Selasa malam (26/3), sampai mengira-ngira bahwa pidato bernada marah Joko Widodo di Yogyakarta Sabtu 23 Maret, sedikit banyak terpicu publikasi survei Kompas –meski nama media nasional itu tak disebut di situ. “Empat setengah tahun saya difitnah-fitnah, saya diam. Dijelek-jelekin saya juga diam. Dihujat, dihujat-hujat, dihina-hina saya juga diam. Tetapi hari ini di Yogya, saya sampaikan saya akan lawan!” kata Joko Widodo dengan nada luar biasa tinggi di akhir.

Dua peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) seakan menyambung hasil survei Kompas tentang penurunan elektabilitas Calon Presiden petahana di bawah 50 persen, menyebutkan penurunan yang telah berlangsung selama 6 bulan itu disebabkan terjadinya migrasi pemilih. Menurut Kepala Pusat Penelitian LIPI Firman Noor, migrasi pemilih itu terjadi karena pendukung Jokowi yang mengubah dukungan mereka, dan pada saat yang sama para pemilih yang belum menentukan pilihan (undecided voters) dan swing voters telah memantapkan pilihan kepada pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Peneliti LIPI lainnya, Aisyah Putri Budiatri (26/3) juga mengingatkan adanya potensi migrasi suara menjelang Pemilihan Presiden 17 April 2019. Continue reading “Pemilihan Presiden 2019: Peluang Hilang Dukungan di ‘Menit’ Akhir”

Joko Widodo Dalam Tanda Tanya: Menang atau Kalah 17 April 2019?

HEADLINE Harian Kompas selama tiga hari berturut-turut –Rabu 20 Maret hingga Jumat 22 Maret 2019– telah memberikan hentakan di kancah politik praktis, kurang dari sebulan menuju 17 April 2019. Secara khusus, headline tentang survei elektabilitas para kontestan Pilpres 2019 itu seakan menimbulkan ‘topan dalam gelas’ di kubu pendukung pasangan 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Terkesan terjadi semacam kepanikan. Pada sisi lain, survei Kompas itu sangat mengangkat optimisme kubu 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menghadapi Pemilihan Presiden  yang berlangsung tak sampai sebulan lagi.

Harian Kompas (20/3) melaporkan hasil surveinya yang menampilkan angka minor pertama –yang dipercaya publik– tentang elektabilitas petahana Joko Widodo dalam trend penurunan. Sudah berada di bawah angka 50 persen, tepatnya 49,2 persen. Dan pada waktu yang sama elektabilitas Prabowo Subianto dalam trend menaik, sehingga selisih angka elektabilitas keduanya menyempit menjadi 11,8 persen saja. Lalu pada hari Jumat (22/3) Kompas menunjukkan pula bahwa pada survei tersebut, Cawapres 02 Sandiaga Uno lebih mampu mengkontribusi elektabilitas daripada Cawapres 02 Ma’ruf Amin. Menurut survei itu, kepartaian juga bisa menjadi lebih sederhana melalui Pemilu Legsilatif 17 April (Kamis 21/3). Continue reading “Joko Widodo Dalam Tanda Tanya: Menang atau Kalah 17 April 2019?”

Pemilihan Presiden 2019, The Devil is In The Details

TATKALA dua calon Presiden RI tampil dalam kampanye-kampanye mereka menjelang D-Day 17 April 2019, jeratan frase the devil is in the details bekerja. Kerapkali mereka terpeleset saat berbicara terlalu detail tentang suatu masalah, padahal kurang memiliki amunisi data akurat. Pada sisi lain, terdapat kekurangsempurnaan konseptual dalam konstruksi grand design pengelolaan negara yang mereka lontarkan ke publik. Padahal kemampuan konsepsional terkait grand design inilah yang justru lebih dibutuhkan dari seorang Presiden.

Bila mencari frase the devil is in the details melalui google search akan muncul ratusan hasil tentang pengertian frase tersebut. Satu sama lain bisa berbeda formulasi kalimat, namun akan ditemukan simpul-simpul makna serupa. Bahwa dalam suatu masalah besar seringkali terkandung potensi kegagalan karena kesalahan kecil dalam detail sebagai batu sandung.  Persoalan pada sesuatu yang besar seringkali terkait dengan kesalahan kecil yang diabaikan. Breslow menyebut butir-butir kecil mengganggu itu sebagai devil in details yang terselip dalam kumpulan data besar. Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf dan penyair Jerman (1844-1900), dalam kaitan pemecahan masalah dikutip mengucapkan “der teufel stecktim detail” sebagai kendala –yang bisa diterjemahkan “setan ada pada detailnya.” Continue reading “Pemilihan Presiden 2019, The Devil is In The Details”

Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019

SEBELUM terjadi aksi massa Islam massive 411 dan 212 di bagian akhir 2016, tak terbayangkan bahwa Joko Widodo akan tiba-tiba tampil dengan manuver politik yang sarat retorika ke-Islam-an. Soalnya, sebelum itu beberapa tokoh partai pendukung utamanya, PDI-P, kerap melontarkan narasi-narasi yang dimaknai sebagai anti Islam.

Secara historis, mengacu kepada pembagian masyarakat (Jawa) menurut Clifford Geerzt, cikal bakal utama PDI-P yakni PNI pada hakekatnya memang berakar pada kaum abangan selain kaum priyayi. Di seberangnya, adalah kaum santri. Secara historis pula, PNI sebagai unsur Nas pada masa Nasakom Soekarno tercatat memiliki kedekatan yang kental dengan unsur Kom. Banyak berkonfrontasi mendampingi unsur Kom terhadap unsur A yang terjepit di tengah.

Namun, dalam realita saat ini, bandul politik Joko Widodo yang tampil memperjuangkan masa kepresidenan kedua, telah mengayun keras dari kiri hingga jauh ke kanan. Dari citra anti Islam ke citra mitra. Puncaknya, menempatkan tokoh ulama Kyai Ma’ruf Amin sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 17 April 2019. Meski, secara tragis harus ‘mencampakkan’ tokoh berintegritas, Mahfud MD. Continue reading “Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019”

Faktor X dalam Pemilihan Presiden 2019

EMPAT puluh delapan hari sebelum debat pertama Calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 17 Januari 2019, Ed Ratcliffe menulis dalam The Diplomat (1/12/2018) bahwa garis pertempuran telah direntang. Dan ia menyebutkan adanya sejumlah Faktor X dalam pertarungan tersebut. Dua faktor teratas adalah masalah ekonomi dan agama. Berikut ini, beberapa bagian tulisan Kepala Riset dan Penasihat di Asia House itu yang cukup objektif.

Dalam beberapa jajak pendapat terbaru, Jokowi dianggap tetap unggul dan masih mempertahankan citranya sebagai tokoh bersahaja. Namun, meskipun ada beberapa keberhasilan dicapainya, ia belum menunaikan semua janjinya pada kampanye 2014. Dalam upaya meningkatkan kepercayaan kelompok Islam dan meraih unsur-unsur yang lebih konservatif, Jokowi telah memilih Ma’ruf Amin –Ketua Majelis Ulama Indonesia dan ‘pemimpin tertinggi’ Nahdlatul Ulama– sebagai mitra dalam pertarungan di 2019 ini. Continue reading “Faktor X dalam Pemilihan Presiden 2019”

Tanda Tanya Survei Opini Publik Menuju Pemilihan Presiden 2019

SEMPAT jeda usai pemilihan kepala daerah serentak, kini menjelang Pemilihan Presiden 17 April 2019, survei opini publik untuk mengukur elektabilitas calon presiden dan wakil presiden, satu persatu bermunculan. Di sana sini terselip pula survei elektabilitas partai peserta pemilihan umum legislatif yang akan berlangsung pada tanggal yang sama.

Survei opini publik atau opinion polls –yang juga populer sebagai jajak pendapat– adalah kegiatan menyimpulkan opini publik melalui ‘penghitungan’ langsung setelah menemui responden untuk mengajukan kuesioner. Tidak bergantung pada sumber sekunder seperti content analysis atas dokumen tertulis atau dengar pendapat tokoh publik yang berpengaruh dan dianggap opinion leader.

Menurut John Goyder dari University of Waterloo, Kanada, sebenarnya polling secara tradisional dikaitkan dengan institusi komersial, bukan dengan penelitian akademik. Interest penyelenggara jajak pendapat komersial sebagian besar terletak pada makna nilai nominal dari penggalian opini. Misalnya seberapa banyak  persentase dari publik yang ‘menyukai’ seorang politisi terkemuka dan gagasannya. Sementara itu peneliti akademik lebih cenderung menjadikan item-item jajak pendapat sebagai indikator, dan berusaha mengidentifikasi faktor-faktor akuntabilitas dalam penilaian publik terhadap sesuatu. Continue reading “Tanda Tanya Survei Opini Publik Menuju Pemilihan Presiden 2019”

Pemilihan Presiden 2019 Dalam Fenomena Distrust

AKUMULASI serentetan kejadian yang secara umum terasa ganjil dan tak biasa yang berlangsung berkepanjangan, ternyata telah mempertebal distrust publik dalam perjalanan menuju 17 April 2019. Secara khusus, mengemuka pertanyaan yang bersumber pada kesangsian apakah Pemilihan Presiden mendatang akan berlangsung adil dan jujur? Dan letupan itu per saat ini memilih muara perdebatan sengit terkait rencana penggunaan kotak suara kardus dalam pemilihan umum presiden dan legislatif yang akan datang.

Dalam logika awam yang sederhana, penggunaan kotak suara kardus akan lebih rawan segi keamanannya daripada kotak aluminium. Kesimpulan ini tentu lahir dari semacam pengalaman empiris yang sedikit banyak terkonfirmasi dari pemilu ke pemilu. Kita kutip ucapan men on the street dalam rangkaian perbincangan belakangan ini: Jangankan kotak kardus, kotak suara aluminium yang digembok pun bisa dijebol. Tahun 2014 diberitakan bahwa tak kurang dari Megawati Soekarnoputeri, menyatakan ketaksetujuan terhadap penggunaan kotak suara kardus. Gampang disuwek-suwek, ujar Mega kala itu. Artinya ada kekuatiran kecurangan secara fisik terhadap surat suara. Padahal, kecurangan suatu pemilihan umum pun sebenarnya lebih berpotensi dilakukan dalam proses penghitungan suara yang harus menjalani perjalanan panjang beberapa tingkat. Continue reading “Pemilihan Presiden 2019 Dalam Fenomena Distrust”

Mengejar ‘Mandat (Langit) Baru’, Kisah Joko Widodo

BERBEDA dengan 2014 lalu, tatkala secara historis tampil sebagai sosok nyaris bagaikan kertas putih, menyongsong Pemilihan Presiden 2019 Joko Widodo kini pun sudah terbebani catatan 4 tahun dalam kekuasaan. Sementara itu, pesaing ‘abadi’nya Prabowo Subianto bisa dipastikan tetap jadi sasaran bidik dengan amunisi beban sejarah masa lampaunya, seperti di tahun 2014.

Pada masa-masa awal kemunculannya di tingkat yang lebih tinggi dari posisi Walikota Solo, ketimbang menjadi tokoh dengan catatan historis Joko Widodo lebih menyerupai tokoh dongeng 1001 malam versi Jawa.

Saat memenangkan kursi Gubernur DKI, socio-politica.com 20 September 2012 menulis keberhasilan Joko Widodo sebenarnya adalah karena ia tampil lebih sederhana, tidak muluk-muluk dan tidak complicated. Dengan itu ia bisa lebih dekat rakyat dan karenanya lebih berpeluang mendapat rasa percaya. Seakan “memenuhi rasa hampa yang selama ini dirasakan kalangan akar rumput di Jakarta.” Kurang disapa, kurang diperhatikan dan tak punya jalan mengadu kepada pemimpin. Continue reading “Mengejar ‘Mandat (Langit) Baru’, Kisah Joko Widodo”

Permainan Poker Menuju ‘Pemilihan Presiden 2019’

TIBA-TIBA peristiwa demokrasi Pemilihan Presiden Indonesia 2019, menjadi semacam permainan poker. Di situ, pertama-tama tentu ada adu poker face. Dan poker face itu adalah produk kemampuan bersandiwara yang masuk rumpun perilaku hipokrit. Dilengkapi adu siasat intip mengintip dan gertak mengertak satu sama lain. Adu tagar #JokowiDuaPeriode versus #2019GantiPresiden. Berakhir dengan gertakan siap berantem, kalau diganggu.

Sejauh ini hingga hari ketiga masa pendaftaran peserta Pemilihan Presiden 4-10 Agustus 2018 baru ada satu kepastian. Bahwa yang akan tampil menjadi calon presiden adalah dua orang, Ir Joko Widodo dan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto. Itu pun sekedar berkategori kepastian dalam ketidakpastian, karena yang tersaji ke publik adalah masih berlangsungnya proses konsolidasi koalisi pendukung yang serba zig-zag. Continue reading “Permainan Poker Menuju ‘Pemilihan Presiden 2019’”

Pemilihan Presiden 2019 dalam Bayang-bayang Involusi Politik

SAMA sekali bukan keledai, tapi menuju ajang Pemilihan Presiden 2019, kembali bangsa ini bisa terantuk pada batu sandungan yang sama seperti di tahun 2014. Kecuali ada kejadian politik luar biasa –semisal korslet karena kekecewaan di antara partai pengusung calon presiden, sehingga terjadi calon tunggal atau malah 3 pasang calon– maka kembali hanya akan tampil dua pasang calon seperti di tahun 2014. Lengkap dengan pembelahan dua di masyarakat yang akan langsung berhadap-hadapan secara hitam putih di ajang Pemilihan Presiden April 2019, yang pada akhirnya menggelincir ke arah involusi kehidupan politik Indonesia.

Selama 4 tahun terakhir, pembelahan terpelihara. Dan, bersamaan dengan itu makin terbentuk pula banyak die hard yang begitu memuja ketokohan, semacam pengkultusan dalam suatu iklim feodalisme baru. Menakjubkan bahwa mereka yang dianggap seharusnya telah tercerahkan oleh pendidikan tinggi pun tak sedikit yang menjadi die hard. Para die hard memenuhi apa yang disebut Leon Festinger –professor psikologi Universitas Minnesota dan Stanford University– “a man with conviction is a hard man to change”. Tipe ini tak mungkin mengubah pendapatnya, sekeliru apapun, dalam diskursus dan dalam menghadapi kontradiksi. Tak mempan oleh bukti dan argumen rasional. “Katakan padanya anda tidak setuju dan dia akan berpaling. Tunjukkan padanya fakta atau angka-angka dan dia mempertanyakan sumber-sumber datamu.” Jika padanya diajukan jalan logika, dia akan gagal paham. Continue reading “Pemilihan Presiden 2019 dalam Bayang-bayang Involusi Politik”