POSTUR kepengurusan baru Partai Golongan Karya yang dipublikasikan pekan ketiga Januari 2020 ini sungguh ‘menakjubkan’. Luar biasa tambun, melebihi postur yang sebelumnya pernah ada dalam sejarah keorganisasian Golkar. Menurut Parkinson Law –yang diintrodusir Cyril Northcote Parkinson– sebuah organisasi atau birokrasi memang berkecenderungan memperbesar diri dan memaksimalkan kekuasaan. Dan terkait hasrat ini, kerapkali berkerja sebuah sindrom di kalangan pimpinan organisasi, memperbesar diri dan organisasi bukan secara kualitatif melainkan dengan mengkonsolidasi kesetiaan bawahan yang bila perlu memperbanyak jumlah bawahan. Dan peningkatan kuantitas tersebut takkan berbanding lurus dengan peningkatan produktivitas, untuk tidak mengatakannya justru berisiko mengalami susut efisiensi dan efektivitas. Partai Golkar sedang mengalaminya saat ini dan pembesaran kepengurusan itu –dengan mengakomodir sebanyak-banyaknya unsur– samasekali tak ada hubungannya dengan peluang memperbesar jumlah dukungan terhadap partai di tengah masyarakat. Tetapi, lebih tertuju pada kepentingan perawatan dan pengamanan kepemimpinan internal.
Pada waktu yang sama, Partai Golkar pun tampaknya sedang mengalami penurunan kadar kemandirian politik. Makin menyerupai sebuah partai yang lebih banyak berposisi sebagai subordinasi dari kekuasaan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Kecenderungan itu terbaca sejak menghadapi Pemilihan Presiden, saat distribusi kursi kabinet hingga proses penyelenggaraan Munas, dan penyusunan postur baru pasca Munas. Continue reading “Golkar: Partai Mandiri atau Subordinasi dari Rezim?”