Kejenuhan Terhadap Kekuasaan yang Berkepanjangan

MASIH samar namun semakin jelas, kejenuhan terhadap masa kekuasaan berkepanjangan tambah mengemuka sebagai fenomena di beberapa negara. Khususnya pada bangsa-bangsa yang makin menapak menuju demokrasi yang lebih sesungguhnya. Belum kentara menonjol, tapi makin banyak petahana yang tak mampu bertahan untuk kali kesekian lanjut berkuasa. Terkecuali di negara-negara bercorak kekuasaan masih totaliter. Sebaliknya di beberapa negara di Eropa utara pengelolaan negara ditangani birokrasi yang makin profesional dan telah teruji keandalannya. Jabatan kepala pemerintahan digilir teratur dengan periode yang cenderung diringkas.

Di Asia Tenggara, setidaknya di dua negara serumpun Indonesia dan Malaysia, perlahan tapi pasti telah menggejala fenomena kejenuhan terhadap masa kekuasaan yang berkepanjangan. Meskipun tak dengan sendirinya, masa kekuasaan berkepanjangan yang sangat kuat didukung nilai-nilai feodalistik, mudah terhapuskan. Satu dan lain sebab, karena masih bekerjanya juga berbagai keyakinan asumtif dan sejumlah faktor situasional lainnya. Misalnya bahwa, 4-5 tahun bukan waktu yang cukup bagi satu rezim pemerintahan membangun negara dengan baik.

Selain aneka sebab lainnya, situasi kejenuhan terhadap kekuasaan yang berkepanjangan menjadi salah satu faktor terjadinya perubahan politik bersejarah Malaysia melalui pemilihan umum 9 Mei 2018. Bisa dibaca di berbagai media, bahwa pada tahun-tahun belakangan di tengah publik –termasuk di kalangan generasi baru pemilih pemula– meluas sikap apriori dan tak mudah percaya terhadap keterangan dan informasi pemerintah. Bila di Indonesia, kalangan pemerintah secara formal giat memerangi apa yang disebut hoax di masyarakat, di Malaysia justru keterangan pemerintah sudah jamak dikategorikan serba hoax. Para akademisi mengatakan bahwa justru pemerintah lah yang sesungguhnya lebih berpotensi sebagai produsen hoax. Dulukala, dan untuk sebagian masih terjadi hingga kini, setiap pemerintahan totaliter di berbagai belahan dunia memiliki lembaga agitprop –agitasi dan propaganda– yang lebih banyak menyiarkan kebohongan untuk pembenaran segala tindakan rezim, daripada menyiarkan informasi benar.

JOKO WIDODO DALAM GAMBAR MURAL DI CIPONDOH TANGERANG. Kalau neraca ketidakberhasilannya lebih besar, normatif, tentu ia tak bisa melanjut ke periode kedua. Begitu juga sebaliknya. Itu sisi objektifnya. Di luar itu tentu ada variable subjektivitas rakyat pemilih yang tak selalu terkait dengan prestasi. (Foto-foto, Harian Kompas/download Kompas.id)

FAKTOR kejenuhan terhadap kekuasaan yang berkepanjangan menjadi salah satu faktor yang mendorong berakhirnya kekuasaan Soekarno maupun Soeharto. Soekarno berkuasa 20 tahun, Soeharto berkuasa 32 tahun. Secara ‘kebetulan’, dalam situasi dan kecamuk perilaku politik serba galau, tiga presiden setelah Soeharto –BJ Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri– menjalani periode kekuasaan setengah waktu saja.

Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pertama hasil pemilihan umum langsung, berhasil menggenapkan masa kekuasaannya dua periode penuh. Namun pada periode kedua, tersirat bekerjanya kembali rasa jenuh yang ditandai dengan besarnya arus kritik. Antara lain bahwa berkepanjangannya satu masa kekuasaan memberi peluang waktu berkecamuknya korupsi di tubuh kekuasaan. Pada periode kedua penguasa lebih cenderung longgar dan kompromistis terhadap perilaku korupsi dan manipulasi keuangan. Ini bermula dari fakta bahwa dalam upaya berkuasa kedua kali, dibutuhkan biaya lebih besar selain waktu, konsentrasi dan effort lainnya. Maka ada kecenderungan untuk juga melakukan ‘koalisi’ pragmatis secara terselubung dengan para pemilik akumulasi dana besar. Siapa para pemilik akumulasi besar? Terbatas, yakni kalangan konglomerasi dengan segala karakter spesifiknya dan atau para pelaku korupsi yang ‘sukses’ belum tertangkap.

Tetapi di luar soal kebutuhan akumulasi dana besar, ada kecenderungan yang perlu dicermati. Bahwa, dalam masa jabatan pertama –baik itu di tingkat kepresidenan maupun kepala daerah– konsentrasi pemangku jabatan selalu terpecah antara tugas yang menjadi kewajiban jabatannya dan effort bagaimana memenangkan masa jabatan kedua. Semestinya, kerja-kerja-kerja saja secara optimal, tak usah memikirkan masa jabatan kedua, karena prestasi hari ini akan menentukan masa berikutnya. Idealnya begitu. Bila berhasil menciptakan suatu etos dan cara kerja produktivitas tinggi, dan menyerap orang-orang terbaik ke dalam pemerintahan, masa lima tahun lebih dari cukup. Keterpilihan untuk periode kedua, akan menjadi kesempatan lebih meningkatkan kemajuan bangsa dan negara.

SEJAUH ini Indonesia baru punya tiga contoh plus minus dari kekuasaan berkepanjangan. Dua di antaranya, Soekarno dan Soeharto, berakhir dengan ‘kejatuhan’. Satu lainnya, SBY. Di masa kedua kekuasaannya, perilaku korupsi cukup subur dan menuai sorotan. Tapi tentang ketiga tokoh, semua bisa dan bebas menilai sendiri, sambil menguji keseimbangan subjektivitas dan objektivitas diri.

Presiden Joko Widodo akan menjadi contoh keempat, bila berhasil memenangkan kembali kursi kepresidenan untuk kedua kali. Sejauh ini, untuk sementara ia hanya bisa disorot sepanjang keberhasilan dan indikasi ketidakberhasilannya pada periode kekuasaannya sekarang, yang baru dijalaninya selama tiga tahun lebih ini. Kalau neraca ketidakberhasilannya lebih besar, normatif, tentu ia tak bisa melanjut ke periode kedua. Begitu juga sebaliknya. Itu sisi objektifnya. Di luar itu tentu ada variable subjektivitas rakyat pemilih yang tak selalu terkait dengan prestasi. Maka, tak boleh dilupakan, bahwa di Indonesia menurut pengalaman empiris banyak hal yang bisa berjalan di luar yang normatif……. (media-karya.com)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s