Tag: Joko Widodo

One Moment in Time Dalam Politik Indonesia: Habib Rizieq dan FPI (2)

TUDINGAN dalam dokumen yang dibocorkan dan diungkap Wikileaks, bahwa FPI telah tercipta sebagai monster bentukan kekuasaan, mungkin terlalu berlebihan. Tetapi setidaknya, ada juga sisi benarnya, bahwa penguasa terindikasi memang sempat mendesain FPI sebagai alat kekuasaan, namun tak terkendali lagi atau tak mau dikendali lagi. Karena, agaknya FPI punya rancangan strategis sendiri untuk masa depan perjuangannya. Ada beberapa momen kebajikan ditampilkan FPI, yaitu setiap kali ada bencana, barisan putih-putih ini selalu tampil membantu rakyat korban, seperti dalam bencana tsunami Aceh, gempa Palu Sulawesi Tengah dan gempa di Lombok NTB. Seringkali mereka terlihat bekerja lebih “bersih”, lebih gesit dan ikhlas dalam menyalurkan bantuan dibanding aparat pemerintah. Namun, semuanya seakan sengaja ditempatkan di luar fokus ekspose, nyaris oleh seluruh media mainstream. Kadangkala narasi tentang FPI di-framing terlalu tendensius.

Wajah FPI yang paling sering ditampilkan dalam media massa adalah konflik dengan organisasi berbasis agama lain. Walaupun, di samping aksi-aksi kontroversial tersebut sebenarnya FPI juga melibatkan diri dalam aksi-aksi kemanusiaan, antara lain pengiriman relawan ke daerah bencana membantu rakyat korban musibah.

FPI dalam stigma kekerasan

One moment in time, seperti dirilis TV Al Jazeera, sekitar Maret 2011 ada isu kudeta Dewan Revolusi Islam (DRI) yang dideklarasikan Forum Umat Islam (socio-politica.com, Januari 2012). Dalam susunan kabinet DRI tercantum nama Habib Rizieq dan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir –yang beberapa tahun terakhir ini dinarapidanakan penguasa, dan kini terbaring sakit di RSCM. Selain itu ada nama Abu Djibril dan mantan KSAD Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto. Continue reading “One Moment in Time Dalam Politik Indonesia: Habib Rizieq dan FPI (2)”

Awal Dari Sebuah Akhir Bagi Joko Widodo “Man of Contradictions”?

BERBAGAI berita mengenai pembusukan kekuasaan di masa Joko Widodo telah begitu  merasuk ke tengah publik. Bagaikan garam meresap di ikan asin. Seruan mundur dan gagasan pemakzulan pun sudah berulang-ulang disuarakan dari berbagai arah. Tetapi, tak ada tanda-tanda terdapatnya satu langkah awal menuju pemakzulan itu.

Keberanian para penentang masih maju mundur di depan pagar represif yang memagari kekuasaan sang presiden. Namun perlu juga dicatat bahwa bertahannya suatu kekuasaan terjadi tak selalu karena sang penguasa atau seorang presiden begitu kuatnya, melainkan karena adanya perimbangan kekuatan di sekitarnya yang saling menghitung satu sama lain.

Sedang dalam dunia mitos, ada faktor-faktor masa laku wahyu dan kesaktian. Tentu ini boleh saja sekedar diketahui, namun pasti tak perlu diperhitungkan, kecuali bila suatu mitos telah tertanam jauh di dalam kepala mayoritas rakyat.

Para pembisik dan intrik istana Babad Tanah Jawi

Dalam Babad Tanah Jawi –yang separuh sejarah dan separuh legenda– tak ada raja tanpa kesaktian. Raja Pajang, Sultan Adiwijaya misalnya, yang dikenal juga sebagai Joko Tingkir, adalah seorang sakti mandraguna. Mampu menaklukkan siluman buaya dengan tangan kosong. Pemilik keris Kyai Sengkelat dan punya kekuatan batin untuk menghalau seluruh ilmu sihir lawan. Adiwijaya memiliki anak angkat yang menjadi raja bawahan di Mataram, bernama Panembahan Senopati. Sang anak angkat juga sakti dan memiliki sejumlah benda pusaka. Punya tombak Kyai Plered, memiliki mestika wesi kuning yang selalu ada di sakunya dan sejumlah jimat penguat lain tersemat di baju yang menutupi sekujur tubuhnya. Ada pula pusaka Bende Mataram yang bila dibunyikan akan menaikkan moral pasukan dalam pertempuran dan meruntuhkan semangat lawan. Continue reading “Awal Dari Sebuah Akhir Bagi Joko Widodo “Man of Contradictions”?”

Akhir Kekuasaan Presiden Indonesia L’Histoire se Répète?

MEMASUKI 75 tahun Indonesia merdeka, rakyat Indonesia telah mengalami 7 masa kepresidenan. Berturut-turut 4 presiden mengakhiri kekuasaan dalam situasi tak nyaman, yaitu Soekarno, Soeharto, BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid. Lalu Presiden kelima, Megawati Soekarnoputeri yang hanya menjalani dua pertiga periode kepresidenan –melanjutkan sisa periode Abdurrahman Wahid yang dimakzulkan– tak berhasil melanjut memenangkan Pilpres 2004. Nyaris sama dengan BJ Habibie yang urung maju mencalonkan diri sebagai presiden karena pertanggung-jawabannya ditolak MPR-RI di tahun 1999. Hanya Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono yang bisa merampungkan dua periode kepresidenan, meski juga tak sepi dari isu pemakzulan.

Dan kini, ada Presiden ketujuh Joko Widodo. Berhasil memasuki periode kedua kepresidenannya, namun dalam bayangan pertanyaan apakah dia akan berhasil merampungkan periode kedua itu hingga 2024. Pengamat politik Rocky Gerung secara dini “meramalkan”, Joko Widodo takkan bertahan hingga 2024. Memang, memasuki masa kepresidenan yang kedua, kritik membanjir dan sudah mengarus sampai kepada kata “mundur” atau “dimundurkan”.

Soekarno dan Soeharto, sejarah berulang

L’Histoire se Répète –sejarah akan berulang? Apakah Joko Widodo akan dimakzulkan seperti dialami Soekarno dan Abdurrahman Wahid? Atau undur diri, seperti dilakukan Soeharto 21 Mei 1998, hanya 70 hari setelah terpilih kembali sebagai presiden melalui Sidang Umum MPR, 11 Maret 1998. Situasi negara yang dihadapi Joko Widodo per saat ini, di sana-sini memiliki kemiripan dengan tahun-tahun terakhir Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. Continue reading “Akhir Kekuasaan Presiden Indonesia L’Histoire se Répète?”

Kisah 6 Tahun “Mandat Langit” Presiden Joko Widodo

SESUAI adagium klasik yang kuat bergema di Eropa Abad 8, “Suara Rakyat adalah Suara Tuhan” –Vox Populi Vox Dei– maka mereka yang memangku amanat rakyat sebagai pemimpin negara seringkali dianggap sebagai pemegang “mandat langit” di dunia. Karena, diberikan oleh suara terbanyak rakyat. Dalam konteks adagium tersebut, untuk Indonesia saat ini, pemegang mandat langit adalah Presiden Joko Widodo. Dipilih oleh “suara rakyat yang adalah suara Tuhan.”

Adagium Vox Populi Vox Dei itu sendiri sempat dicemaskan oleh Alcuin of York (735-804) seorang akademisi dan budayawan di York, Inggeris, saat Eropa Barat berada di bawah pengaruh Charlemagne –Karel yang Agung, raja orang Frank. Tak lain karena adagium itu bertentangan dengan posisi mutlak raja dalam sebuah adagium lain, “Raja adalah Wakil Tuhan di Muka Bumi” ataupun konsep Dewa Raja. Menyebut 4 kitab suci agama, seorang staf ahli utama Kantor Staf Presiden, 24 Mei 2018, mengatakan “pemerintah itu representasi Tuhan di muka bumi.” Berbeda dengan adagium Vox Populi Vox Dei. Mungkin saja adagium itu agak berlebihan, tetapi tak ada retorika terbaik selain adagium tersebut untuk menggambarkan bahwa dalam demokrasi, kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Continue reading “Kisah 6 Tahun “Mandat Langit” Presiden Joko Widodo”

Presiden Joko Widodo Di Ambang Pintu Kegagalan

RAMALAN The Guardian yang dituliskan melalui editorialnya 8 bulan lalu, bahwa Joko Widodo dan Ma’ruf Amin akan membawa mundur Indonesia kini seakan siap untuk mewujud. Dalam kenyataan kini, hingga menjelang usia tiga perempat abad Indonesia merdeka, kekecewaan terhadap kepemimpinan dan pemerintahannya begitu meluas dan mengundang banyak kecaman. Dan sasarannya bukan lagi sebatas masalah lampau –yang telah banyak dikritik– melainkan juga terhadap berbagai ucapan, tindakan dan fakta-fakta buruk yang muncul dalam serentetan peristiwa baru.

Seiring menguatnya tanda-tanda kegagalan penanganan bencana COVID-19, bermunculan tak sedikit peristiwa baru yang serba tak nyaman. Ke hadapan publik tersaji proses penanganan hukum yang janggal atas kasus penyiraman air keras penyidik KPK Novel Baswedan. Lalu ada Keputusan Mahkamah Agung  No. 44/2019 yang mematahkan Pasal 3 Ayat 7 Peraturan KPU No. 5/2019 tentang Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih –namun tak berpengaruh lagi kepada posisi Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, karena tak bisa berlaku surut. Continue reading “Presiden Joko Widodo Di Ambang Pintu Kegagalan”

Palu Arit di Tengah Pandemi Corona

LAMBANG Palu Arit dan nama PKI kembali tampil mencuat dalam berbagai cara dan bentuk secara massive di tengah masih berkecamuknya pandemi virus Corona. Perupa kelahiran Tegal (1957) Dadang Christanto, menampilkan gambar dirinya berpose di  depan luster banner berwarna dasar merah bertuliskan PKI lengkap dengan lambang Palu Arit berwarna kuning, melalui akun twitter pribadinya seraya mengucapkan selamat Ulang Tahun ke-100 PKI 23 Mei 1920-2020. Merah dan kuning adalah khas paduan warna tradisional kaum komunis.

Apakah Dadang seorang anggota PKI? Usianya yang belum 9 tahun saat PKI dibubarkan 12 Maret 1966 tak memungkinkan ia menjadi anggota PKI. Tetapi sepanjang masa berkesenian selaku perupa ia senantiasa menampilkan karya-karya tribute untuk korban peristiwa kekerasan politik atas kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, korban kekerasan dalam malapetaka sosiologis sesudah Peristiwa 30 September 1965. Para korban dipersepsi sebatas kaum komunis pengikut PKI, padahal jatuh korban di semua sisi. Aksi Dadang disambut akademisi Ariel Heryanto dengan pernyataan perlunya pemerintah meminta maaf terhadap kekerasan yang terjadi 1965-1966 itu.

Terjadi pula peristiwa pengibaran bendera merah putih bergambar palu arit di kampus Universitas Hasanuddin yang masih dikejar siapa pelakunya oleh polisi.

Pada sekitar waktu yang hampir bersamaan terekspose rekam jejak digital Direktur Utama TVRI yang baru, Iman Brotoseno, berisi cuplikan narasi lama yang bernuansa memutihkan sepak terjang Gerwani dalam Peristiwa 30 September 1965 serta pendapat bahwa Hari Kesaktian Pancasila tak perlu lagi diperingati. Iman menjelaskan bahwa rekam jejak digitalnya yang diungkit ahli IT Roy Suryo adalah dari masa lampau dan sebenarnya hanya merupakan kumpulan pendapat beberapa sejarawan dan ahli lainnya. Karena tidak mencantumkan sejak mula siapa sumber kutipannya, maka tentu saja dianggap bahwa itu rekam pendapat pribadinya. Continue reading “Palu Arit di Tengah Pandemi Corona”

Joko Widodo dan Anies Baswedan ‘Bersatu’ Dalam Perbedaan Covid 19

SEPANJANG pekan kedua Mei 2020 ini Presiden Joko Widodo, berturut-turut memberikan deretan pernyataan yang serba mengagetkan dan di sana-sini bisa menakjubkan juga. Saat membuka rapat paripurna kabinet (6/5) Presiden memerintahkan kurva pandemi Corona harus turun. “Target kita di bulan Mei ini harus betul-betul tercapai sesuai dengan target yang kita berikan, yaitu kurvanya sudah harus turun. Dan masuk pada posisi sedang di Juni, di bulan Juli harus masuk posisi ringan. Dengan cara apa pun.” Ini sesuai dengan yang pernah diperintahkan Presiden kepada Kepala BNPB Jenderal Doni Monardo, 27 April, untuk bekerja lebih keras dan disiplin agar Covid 19 bisa diturunkan Juni, dan bulan Juli kita bisa memulai hidup normal kembali. Tetapi sedikit berbeda dengan prediksi Presiden sendiri tentang pandemi Corona, pada rapat terbatas melalui telekonferensi 16 April, “Saya meyakini, saya meyakini ini hanya sampai pada akhir tahun.”

Sehari setelah perintah kurva pandemi harus turun, Presiden seakan melunak kepada Corona. Ia menyerukan agar masyarakat belajar berdamai dengan Covid-19. “Sampai ditemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan.” Bagaimana bisa berdamai dengan virus dan penyakit? Agar publik tak terlalu lama bertanya-tanya pada Kamis (7/5) siang itu juga, Deputi Bidang Protokol, Pers, dan Media Sekretariat Presiden Bey Machmudin memerlukan memberi penjelasan. Bahwa, maksud berdamai dengan corona dalam pernyataan Presiden itu adalah menyesuaikan dengan kehidupan. “Artinya masyarakat harus tetap bisa produktif di tengah pandemi Covid-19.” Continue reading “Joko Widodo dan Anies Baswedan ‘Bersatu’ Dalam Perbedaan Covid 19”

Bernafas dalam Demokrasi Kriminal

BERKALI-KALI secara spesifik ekonom Rizal Ramli menyebut demokrasi Indonesia adalah criminal democracy –demokrasi kriminal atau demokrasi para penjahat. Terbaru penyebutan itu disampaikannya dalam talk show tvOne Selasa malam 11 Februari 2020, antara lain bersama Jusuf Kalla. Dan dikritik Mahfud MD selalu menyampaikan soal itu ke itu saja dari waktu ke waktu. Demokrasi kriminal dalam narasi Rizal Ramli –tokoh gerakan kritis mahasiswa 1978– terkait dengan praktek politik uang. Dalam kontestasi demokrasi mencari posisi kekuasaan –pemilihan bupati/walikota, gubernur, presiden-wakil presiden maupun pemilihan anggota legislatif– selalu ada aroma politik uang.

Untuk menjadi bupati, walikota, gubernur, anggota legislatif berbagai tingkat, menurut pengetahuan publik, seseorang harus menyiapkan uang setidaknya 10 miliar rupiah hingga skala puluhan atau ratusan miliar. Untuk jabatan tertinggi di republik, bahkan berskala triliunan. Dan bagaimana memperoleh uang sebanyak itu? Tak bisa tidak melalui jalan pintas persekongkolan dengan para konglomerat hitam dan kaum koruptor. Sejauh ini, sepertinya tak ada jalan lain. Terungkapnya kasus manipulasi belasan triliun rupiah di BUMN Jiwasraya yang disusul pengungkapan serupa di beberapa BUMN lain, segera dikaitkan banyak pihak di masyarakat dengan kampanye pemilihan presiden 2019. Maka muncul tuntutan dilakukannya penelusuran lanjut secara tuntas terhadap kasus Jiwasraya maupun terhadap kasus-kasus serupa yang secara beruntun terjadi sebelum dan sesudahnya. Continue reading “Bernafas dalam Demokrasi Kriminal”

Otoritarianisme dan Kudeta Demokrasi di Beranda Kita

PENGAMBILALIHAN kekuasaan melalui kudeta bekerja dengan senjata intimidasi dan paksaan. Tetapi sebenarnya ada jenis kudeta yang bekerja terselubung di balik cara kerja demokrasi, yang dapat berlangsung ‘senyap’ di atas sikap pasif dan apatis publik. Di sebagian besar negara dengan sistem demokrasi yang masih dianggap berfungsi, tulis David Runciman –professor ilmu politik Universitas Cambridge, UK– dalam buku How Democracy Ends (2018), rakyat lebih banyak memilih menjadi penonton proses politik. Mereka menonton saja ketika keputusan politik diambil atas nama mereka oleh segelintir orang yang disebut wakil rakyat. Runciman menyebutnya sebagai Zombie Democracy.

Peringatan lain tentang demokrasi disampaikan Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt –dua akademisi ilmu politik dan pemerintahan Universitas Harvard US– melalui buku mereka How Democracies Die (2018). “Demokrasi tidak digulingkan secara eksternal oleh kudeta militer yang kejam seperti di masa lampau, melainkan dari arah internal demokrasi sendiri melalui kotak suara pemilihan umum dan jeratan terhadap institusi politik oleh kaum otokrat.”

Dengan situasi demokrasi seperti itu, pada hakekatnya sebagaimana ditulis Bramantya Basuki (Sorge Magazine, 29 Januari 2020) otoritarianisme telah berada di beranda kita. Bahkan, menurut Sorge Magazine tokoh kritis dari masa ke masa Rahman Tolleng (almarhum sejak 29 Januari 2019) melalui Forum Diskusi Jakarta, pernah mengingatkan “Jangan sampai otoritarianisme mengetuk pintu rumah lebih dulu, baru paham.” Continue reading “Otoritarianisme dan Kudeta Demokrasi di Beranda Kita”

Sesak Nafas di Bawah Langit Republik Korupsi

SEDERETAN kasus beraroma korupsi yang aktual mencuat beberapa waktu terakhir ini menunjukkan betapa perilaku korupsi di Indonesia memang nyaris mustahil tersembuhkan. Apalagi bersamaan dengan itu makin kentara bahwa lembaga pemberantasan korupsi KPK memang berhasil dilemahkan dengan pengesahan revisi Undang-undang KPK di detik-detik akhir periode pertama masa kepresidenan Joko Widodo. Dan pada saat yang sama janji presiden kepada publik untuk mengeluarkan Perppu pasca revisi hingga kini tak kunjung wujud. Membuat publik sesak nafas dalam penantian.

Berturut-turut setelah itu terkuak kasus ‘korupsi’ dan penyalahgunaan wewenang direksi Garuda, skandal kerugian negara belasan triliun rupiah di Jiwasraya, disusul potensi skandal serupa di Asabri. Lalu, ada Operasi Tangkap Tangan KPK terhadap salah seorang komisioner KPU –Wahyu Setiawan– yang terlibat kasus suap terkait pemilu legislatif dari kader PDIP Harun Masiku. Namun tangan Harun Masiku sendiri belum ikut tertangkap karena sang pemilik tangan yang seakan well informed berhasil kabur duluan. Dan bagaikan kena batunya, KPK ternyata tak berdaya saat mengejar dan akan menangkap beberapa terduga yang sedang berada di kompleks PTIK. Malah para petugas KPK yang justru sempat jadi bulan-bulanan oleh sejumlah anggota Polri ‘disekap’ dan di tes urine segala di sana. Kemudian gagal pula menggeledah kantor partai pemenang pemilihan umum PDIP, karena dihalang-halangi satuan pengamanan di situ. Lengkap sudah tragi komedi KPK periode baru ini. Sementara itu kredibilitas KPU juga berada di ujung tanduk: Apakah cuma satu kasus curang yang telah terjadi di tangan lembaga itu? Continue reading “Sesak Nafas di Bawah Langit Republik Korupsi”