PETRUK sang punakawan adalah contoh ‘kasus’ bagaimana bius kekuasaan bekerja merubah nurani asasi dan tampilan kodrati (archetype) seseorang menjadi bentuk-bentuk yang tak bisa dikenali lagi. Petruk sepanjang hidupnya menjalani kehidupan sebagai abdi elite kekuasaan. Lalu tanpa sengaja terbawa ke dalam satu momen perebutan Jimat (Jamus) Kalimasodo –yang dalam narasi lakon Petruk Dadi Ratu berposisi sebagai sumber kekuatan metafisis terkait kekuasaan.
Lakon Petruk Dadi Ratu adalah kreasi Sultan Hamengku Buwono VII –penguasa Keraton Yogya 1877-1920– yang sarat makna tentang kekuasaan negara masa monarki, namun juga menampilkan pentingnya aspek kenegarawanan yang masih bisa berlaku melampaui batas zaman.
Menurut lakon itu, suatu ketika dengan menyamar sebagai Raden Gatotkaca, seorang puteri bernama Dewi Mustakaweni yang juga adalah panglima perang Kerajaan Manikmantaka, berhasil mencuri Jamus Kalimasodo pusaka Kerajaan Amarta. Puteri dari seorang raja raksasa itu –namun berwujud bagaikan manusia dan cantik– bisa mengelabui Dewi Drupadi. Meskipun ia terpergok oleh Dewi Srikandi, Mustakaweni tetap bisa menguasai pusaka curian itu dan melarikannya.
Petruk dalam momen historical by accident
Menurut salah satu versi, untuk memperoleh kembali pusaka itu, Batara Kresna menugaskan salah seorang putera Arjuna bernama Bambang Priyambodo dengan imbalan janji diakui keabsahannya sebagai anak penengah Pandawa itu. Menjelang ibukota Manikmantaka, Bambang Priyambodo yang didampingi Petruk bertemu Dewi Mustakaweni dan mengetahui bahwa puteri inilah pencuri Jamus Kalimasodo. Sempat saling memperdaya, sang puteri akhirnya kalah tanding dan pusaka itu bisa direbut kembali. Bambang Priyambodo dan Dewi Mustakaweni ternyata saling jatuh cinta. Karena akan melamar, Bambang Priyambodo menitipkan Jamus Kalimasodo kepada Petruk untuk dibawa kembali ke Amarta.

Namun malang, Petruk bertemu Adipati Karna di sebuah hutan. Karna menusuk tewas Petruk dengan keris pusakanya dan merampas Jamus Kalimasodo. Tapi ayah kandung Petruk, Prabu Suwala yang mengetahui peristiwa itu, berhasil mengelabui Karna dengan menyamar sebagai Duryudana –junjungannya di Kerajaan Hastina– dan memperoleh kembali pusaka Kalimasodo. Suwala kemudian menghidupkan kembali Petruk yang adalah anak asuh Semar di alam dunia. Ia menyuruh letakkan pusaka itu di kepala Petruk. Tetapi begitu pusaka diletakkan di kepala Petruk, ia berubah menjadi sakti dan tak mempan senjata apapun. Ketika kaum Kurawa dan Adipati Karna berusaha merebut Kalimasodo, semua berhasil dikalahkan Petruk. Memperoleh kesaktian berkat Kalimasodo, Petruk tergoda menciptakan kekuasaan dengan berbagai penaklukan wilayah, lalu menjadikan dirinya sebagai raja. Seorang raja dengan segala tingkah laku kekuasaan yang dianggap Batara Kresna sebagai perilaku onar dan bertentangan dengan akal sehat.
Berakhirnya keprabuan Petruk
Melalui rembugan Batara Kresna dan Semar, diputuskan mengakhiri keonaran kekuasaan yang dilakukan Petruk yang telah menjadi Prabu Helgeduelbek alias Prabu Kantong Bolong. Semar dan Gareng mendapat tugas untuk menundukkan Petruk. Ada beberapa versi. Salah satu versi menyebutkan bahwa Semar dan Gareng menyusup ke istana Prabu Kantong Bolong, saat sang prabu tidur dengan tetap mengenakan mahkotanya. Gareng memukul kepala Petruk sehingga mahkotanya terlempar. Jamus Kalimasodo yang disembunyikan dalam mahkota ikut terlempar, dan bersamaan dengan itu kesaktian Petruk pun terhapus dari dirinya. Lalu Petruk kembali menjadi seperti sediakala.
Di hadapan Batara Kresna ia menghiba mohon ampun. Dalam buku Petruk Dadi Ratu (Dr Suwardi Endraswasra, MH, 2014) digambarkan Petruk menyebutkan alasan perbuatannya. “Ampun sinuhun, hamba hanya ingin tahu bagaimana rasanya menjadi raja. Masa dari dulu hamba ini hanya menjadi wong cilik selalu…” Batara Kresna menjawab, “Petruk, engkau tak usah risau menjadi orang kecil. Dalam negara yang adil dan makmur siapa pun pasti dapat hidup layak.” Wong cilik tidak bisa menjadi raja? “Ketahuilah, menjadi raja adalah tugas negarawan.”
Pandangan Batara Kresna bisa dibandingkan uraian tentang syarat wahyu kepemimpinan yang disampaikan Kyai Ageng Butuh kepada Jaka Tingkir dalam Babad Tanah Jawa. “Kamu akan menjadi tiang utama pulau Jawa.. Akan menjadi orang besar. Walau begitu jangan tinggi hati, tetap bersikap ramah terhadap sesama. Lebih baik mengalah, daripada terjadi pertikaian. Janganlah berbuat jahat dengan sembunyi-sembunyi. Jalan menuju ke tangga derajat dan ilmu, hanyalah melalui sikap rendah hati. Bila kau berani mengalah, akhirnya kau akan menang.”
Kenegarawanan
DALAM konteks masa kini, semua orang bisa menempa diri jadi negarawan. Bila berhasil menempa diri sebagai negarawan, silahkan menjadi raja yang pada masa sekarang –termasuk di Indonesia tentunya– disebut Presiden. Bekal utama terbentuknya kenegarawanan seorang tokoh adalah integritas yang berkualitas prima dan tak mudah tergoyahkan bius kekuasaan.
Kenegarawanan adalah Jamus Kalimasodo masa modern. Tanpa itu, suatu kepresidenan layak untuk lepas, berdasar kehendak rakyat dengan bekal akal sehat saat mengayunkan gada demokrasi melalui pemilihan umum…… (media-karya.com)#mediakaryaanalisa