TAK pernah sebelumnya, figur dan posisi Wakil Presiden Republik Indonesia seakan-akan sepenting sekarang ini. Saat figur dan posisi calon Presiden sudah lebih jelas –meski masih dibayangi serba kemungkinan– yaitu Joko Widodo dan Prabowo Subianto, justru siapa figur calon Wakil Presiden belum menentu. Padahal, batas waktu 10 Agustus pendaftaran tinggal 1 hari lagi.
Tak diketahui persis apa sebabnya. Entah karena kubu-kubu politik yang ada masih saling mengintip, entah karena konsolidasi politik belum rampung. Dan entah, siapa tahu, masih ada urusan deal dan ‘konsolidasi’ dana yang belum terpecahkan –suatu soal cenderung dibicarakan di belakang layar saja. Lalu dalam kaitan ini, Kamis 9 Agustus hari ini muncul berita sayup-sayup yang masih harus ditunggu kebenarannya, rumor atau bukan, tentang kemunculan nama konglomerat muda Sandiaga Uno sebagai calon Wakil Presiden bagi Prabowo Subianto. Sementara Sekjen Gerindra juga menyebut nama Agus Harimurti Yudhoyono. Tapi terlepas dari itu, kata orang, bila konsolidasi-konsolidasi ini, terutama konsolidasi dana, belum terselesaikan, opsi perpanjangan waktu pendaftaran 2 kali 7 hari terpaksa digunakan.
Di masa lampau di Amerika Serikat –yang agaknya masih berlaku– posisi Wakil Presiden ibarat ban serep. Tapi bila tiba saatnya Presiden berhalangan tetap –seperti pernah dialami John Fitzgerald Kennedy– mendadak sang Wakil Presiden menjadi tokoh nomor satu. Tewasnya Presiden Kennedy 22 November 1963 membawa Wakil Presiden Lyndon B. Johnson menjadi Presiden Amerika Serikat.
Wakil Presiden sekedar seorang ‘pengacara’?
Seorang kolumnis Indonesia yang pandai berhumor, pernah menulis Wakil Presiden itu sebenarnya adalah penganggur tingkat tinggi. Dalam guyonan masa kini, pengacara, pengangguran banyak acara. Tapi acaranya tak penting-penting amat. Tidak menjadi bagian penting pengambilan keputusan. Hanya duduk-duduk menanti sang Presiden berhalangan tetap –entah karena apa. Namun, dalam sejarah politik kontemporer Indonesia, tak kurang dari dua kali Wakil Presiden menjadi Presiden. Pertama, BJ Habibie yang tak ikut undur diri bersama Soeharto pada Mei 1998. Kedua, Megawati Soekarnoputeri, naik menggantikan Abdurrahman Wahid yang terkena impeachment MPR-RI 23 Juli 2001.

Juga pada tanggal 23 Juli, tapi tahun 1956, Ketua DPR Sartono menerima surat pengunduran diri bertanggal 20 Juli dari Wakil Presiden Mohammad Hatta. Namun pengunduran diri itu tak segera diproses, sehingga Hatta melayangkan surat kedua. Mohammad Hatta merasa sudah terlalu banyak berbeda pandangan dengan Soekarno yang mulai berkecenderungan otoriter. Dan memang 4 tahun kemudian Soekarno berkuasa penuh tahun 1960-1965 dalam sistem Demokrasi Terpimpin dengan iklim politik Nasakom.
Sampai akhir masa kekuasaannya, Soekarno tak pernah berpikir perlunya kehadiran seorang Wakil Presiden. Nanti pada masa Soeharto, kembali ada ‘tradisi’ Wakil Presiden. Meski, kehadiran Wakil Presiden lebih merupakan posisi ‘seremonial’ sekedar memenuhi amanat konstitusi. Wakil Presiden kerap ditempatkan sekedar ‘asesoris’. Hanya Wakil Presiden Sudharmono yang tercatat pernah memiliki peranan cukup berarti, khususnya di bidang pengawasan. Dan kini, mungkin juga Jusuf Kalla, karena banyak berinisiatif mengambil peran.
Sempat ada skenario estafet kepemimpinan menjelang Pemilihan Umum 1987. Bahwa Sudharmono menjadi Wakil Presiden selama 5 tahun ke depan. Itu terjadi. Kemudian, menjadi Presiden pada 1993 dengan Wakil Presiden Try Sutrisno. Setelah itu, 1998 giliran Try Sutrisno menjadi Presiden dengan Wakil Presiden yang menurut ‘rumor’ adalah Wismoyo Arismunandar. Dan seterusnya. Tapi skenario itu tidak terjadi. Ternyata 1993 Soeharto melanjut sekali lagi…..
Wakil Presiden berpeluang jadi Presiden 2024-2029
Menurut ‘keyakinan’ politik sementara per saat ini, siapa tokoh yang menjadi Wakil Presiden baik untuk Joko Widodo maupun bagi Prabowo Subianto –bila tak ada skenario lain yang mendadak– merupakan faktor penting. Orang berteori bahwa kemenangan banyak ditentukan faktor tokoh pendamping dalam konteks realitas struktur serta komposisi kelompok dan golongan di masyarakat. Artinya, tokoh Wapres penting terutama dalam posisi vote getter bagi sang calon Presiden. Aspek tampak luar pembungkus ketokohan seorang calon Wapres lebih menjadi faktor –popularitas, mewakili segmen apa di masyarakat dan sebagainya.
Namun ada hal lain yang dianggap penting, khususnya bagi para aplikan kandidat Wakil Presiden yang akan mendampingi Joko Widodo 2019-2024. Bahwa, dengan menjadi Wapres bagi Joko Widodo, ada peluang besar menjadi (kandidat) Presiden 2024-2029. Kecuali bagi tokoh seusia KH Ma’ruf Amin misalnya. Dan (juga) kecuali tiba-tiba kekuatan politik yang ada berhasil menghapus pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden yang dua kali.
Kelihatannya sejah ini belum terlalu dipentingkan aspek kecakapan seorang kandidat Wakil Presiden dalam pengelolaan pemerintahan. Seorang politisi partai besar malah mengatakan yang penting adalah siapa tokoh Presiden. Dalam menentukan pilihan dan negosiasi internal suatu koalisi, aspek kuantitatif masih lebih penting daripada aspek kualitatif.
Pada sisi lain memang juga ada palang pintu yang menghalangi masuknya tokoh-tokoh berkualitas –misalnya tokoh intelektual berlatarbelakang akademis dan atau ulama intelektual berintegritas– dalam barisan kandidat Wakil Presiden (dan Presiden). Palang pintu itu tak lain fakta kepemimpinan oligarkis di tubuh umumnya partai-partai pemegang presidential threshold. Dengan pola oligarkis, tokoh-tokoh berkepribadian suka atau tidak harus rela menjajakan diri. Padahal tokoh-tokoh intelektual berintegritas umumnya enggan menjajakan diri. Apalagi bila harus melakukan negosiasi tak masuk akal dan kadangkala bisa beraroma prostitusi intelektual. ‘Menjajakan’ diri lewat media bisa menjadi alternatif berkategori moderat. Tapi itu pun masih banyak yang enggan.
Selalu ada kemungkinan Presiden berhalangan tetap
Padahal, selalu saja ada kemungkinan Presiden mendadak berhalangan tetap, sehingga kualitas prima seorang Wakil Presiden sesungguhnya adalah keharusan. Semacam momen historical by accident bukan sesuatu yang tak mungkin terjadi. Baik itu terkait ‘takdir langit’ maupun by design melalui politik konspiratif.
Bagaimana pun kepentingan dan keselamatan negara dan rakyat harus dan pasti berada di atas segalanya dalam konteks altruisme. Harus melebihi sekedar kepentingan kekuasaan pragmatis seorang tokoh atau kelompok politik. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa