Kisah Kandas Tokoh Sipil dan Militer Dalam Pembaharuan Politik (4)

SEBELUMNYA, juga ada gagasan tiga partai yang dilontarkan oleh Sjafruddin Prawiranegara pada simposium di Bandung. Ada kemungkinan Soeharto kala itu sedikit terpengaruh oleh gagasan Sjafruddin, sehingga beberapa waktu kemudian memutuskan penyederhanaan partai setelah pemilihan umum 1971 dengan memilih bentuk tiga partai bukan dwi partai. Dari 9 partai dan 1 Golkar yang menjadi peserta pemilihan umum 1971, terjadi penyederhanaan menjadi dua partai –Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia– ditambah satu Golongan Karya. Sebenarnya, sebelumnya sekitar waktu itu pernah ada yang mengajukan gagasan 5 partai, yakni 2 partai Islam, 1 partai nasional, 1 partai Kristen-Katolik serta 1 Golongan Karya. Namun terhadap gagasan ini, Ali Moertopo bilang, “Sudahlah, pak Harto telah memutuskan 3 partai.”

Benang merah gerakan pembaharuan kala itu, dari Bandung khususnya, adalah perombakan struktur politik, melaksanakan dwi partai, dan tentara tidak lagi masuk dunia politik, barulah tercipta kehidupan politik baru dalam sistem politik dengan kelengkapan infrastruktur dan suprastruktur. Tapi itu semua  ternyata bukan sesuatu yang mudah dikerjakan.

JENDERAL BENNY MURDANI. Kalau Ali Moertopo baru kembali dari bertemu dengan Soeharto ia mengajak beberapa orang berkumpul dan menginformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi ‘raja’…… Ada koreksi, misalnya dari Jenderal Benny Murdani, tapi semuanya nyaris tak diindahkan.

Pengalaman terbenturnya gagasan dwi partai, antara lain menunjukkan banyaknya hambatan bahkan kemusykilan yang harus dihadapi. Tapi terlepas dari itu, kenyataan juga menunjukkan bahwa sedikit banyak Golkar dalam kadar tertentu sempat menjadi wahana bagi kaum pembaharu untuk memperjuangkan gagasannya. Berbeda banyak dengan Golkar masa belakangan yang lebih penuh pertikaian opportunistik antar tokoh-tokoh antagonis. Bagaimana pun, sejumlah gagasan pembaharuan berhasil diwujudkan, misalnya pembentukan ormas-ormas mandiri yang bukan onderbouw partai atau Golkar.

MESKI terdapat sejumlah perspektif keberhasilan, halangan bagi pembaharuan politik masih jauh lebih banyak lagi, yang terkait dengan hasrat kekuasaan. Hambatan bagi gagasan pembaharuan politik di Indonesia, sesungguhnya juga datang dari Soeharto sendiri dengan segala perkembangan dan perobahan yang terjadi pada dirinya dan di lingkungannya. Seiring dengan berjalannya waktu, Soeharto berobah. Dirobah oleh kekuasaan.

Soeharto sendiri memang berangsur berobah sikap. Pada awalnya ini bisa diketahui dari cerita-cerita Ali Moertopo kepada beberapa orang yang dipercayainya. Kalau Ali Moertopo baru kembali dari bertemu dengan Soeharto ia mengajak beberapa orang berkumpul dan menginformasikan apa yang saat itu misalnya membuat Soeharto marah dan sebagainya. Tidak boleh tidak, saat itu Soeharto tak terlepas dari tipikal Jawa yang sudah menjadi ‘raja’, takkan mau melepaskan tahta dan mahkota. Kehadiran keluarga di berbagai bidang kehidupan, mulai dikritisi banyak orang. Ada koreksi, misalnya dari Jenderal Benny Murdani, tapi semuanya nyaris tak diindahkan. Kejengkelan-kejengkelan makin terakumulasi dari hari ke hari. Tahun 1967-1969 bahkan hingga 1970, sebenarnya Soeharto masih mau demokratis. Mau datang ke parlemen dan sebagainya. Tetapi terutama setelah Peristiwa 15 Januari 1974 dengan kentara ia kembali menjadi sepenuhnya tentara. Berkali-kali ia melontarkan pidato keras dan emosional. Sikapnya terhadap Golkar dalam pada itu juga berobah, kini Golkar hanya dianggap tangan kekuasaan, mencapai dan mempertahankan tahta. Padahal pada mulanya Golkar dibangun sebagai kekuatan politik untuk merekrut orang-orang non ideologis dan berpegang pada Pancasila, dalam posisi mitra politik strategis.

Beberapa bulan sebelum Peristiwa 15 Januari 1974 (Malari), masih di tahun 1973, salah satu tanda awal perobahan perlakuan politik Soeharto terhadap Golkar, adalah dalam proses penyusunan dan pengesahan RUU Perkawinan di DPR-RI. Ratusan orang dari Tangerang datang ke DPR, membubarkan sidang pembahasan RUU tersebut di DPR, menginjak-injak meja pimpinan DPR. Setelah peristiwa itu, proses RUU diputar 180 derajat mengikuti usul PPP. Soeharto memerintahkan, benar atau tidak benar isinya, RUU itu harus disahkan segera menjadi UU. Panglima Kopkamtib Letnan Jenderal Soemitro datang ke DPR untuk melaksanakan perintah itu. Golkar ditinggalkan, FKP dipersalahkan dan diangap terlalu ngotot mempertahankan prinsip-prinsipnya, Soeharto merangkul PPP. Kenapa Soeharto melakukan itu? Menurut analisa intelijen, gejala keresahan yang kala itu meningkat di kalangan mahasiswa di berbagai kampus, pada akhirnya akan bermuara pada suatu letupan –yang ternyata kemudian terbukti dalam wujud Peristiwa 15 Januari 1974. Ditakutkan bahwa gerakan generasi muda Islam, terutama terkait dengan RUU Perkawinan, bila dibiarkan tak terselesaikan akan bertemu dan membesar bersamaan dengan keresahan generasi muda dari kampus yang menggejala dan akan membesar pula. Faktanya, yang terjadi hanyalah Peristiwa 15 Januari 1974, yang dengan mudah dipotong melalui suatu skenario terancang baik, dengan tuduhan didalangi PSI.(Berlanjut ke Bagian 5)

Leave a Reply