LAPORAN Tim Pencari Fakta PBB untuk Myanmar, setebal 444 halaman yang disampaikan di Jenewa 18 September 2018 lalu, mengungkap telah terjadi genosida sistematis terhadap etnis Rohingya dan pemerkosaan terhadap kaum perempuan oleh Tatmadaw –sebutan bagi militer Myanmar. “Kaum pria secara sistematis dibunuh. Anak-anak ditembak dan dilempar ke sungai atau dibakar”, ujar Marzuki Darusman, Ketua TPF PBB. Sementara itu, kaum perempuan dan anak perempuan secara rutin diperkosa beramai-ramai, banyak dari mereka “disiksa secara mental dan fisik ketika diperkosa.”
Marzuki seperti dikutip CNN Indonesia merinci pembantaian di desa-desa Rohingya dan menggambarkan bagaimana warga yang tidak bisa melarikan diri “dikumpulkan dan dipisahkan berdasarkan jenis kelamin.”
Perempuan dan gadis Rohingya diperkosa
BBC News Indonesia (19/10)sementara itu lebih jauh mengutip bahwa laporan lengkap PBB mencantumkan kesaksian perempuan-perempuan yang diikat ke pohon dan kemudian diperkosa anggota militer Myanmar. Para penyelidik PBB mengatakan kasus-kasus perkosaan oleh militer Myanmar, yang dikenal dengan sebutan Tatmadaw, terjadi sejak 2011 dan meningkat sejak 2016 dan 2017 ketika militer menggelar operasi besar-besaran untuk membalas serangan oleh milisi Rohingya di negara bagian Rakhine pada Agustus 2017.
“Perkosaan dan bentuk-bentuk lain kekerasan seksual dilakukan dalam skala yang masif. Ratusan perempuan dan remaja diperkosa, kadang secara beramai-ramai. Pekosaan beramai-ramai, melibatkan pelaku dan korban dalam jumlah banyak dalam satu insiden, jelas menjadi pola”. Sekitar 80 persen insiden perkosaan yang ditemukan oleh tim penyelidik adalah perkosaan beramai-ramai. Delapan puluh dua persen dari kasus-kasus perkosaan beramai-ramai tersebut, pelakunya adalah tentara Myanmar. “Ini terjadi setidaknya di 10 desa antara 25 Agustus hingga pertengahan September 2017.” Perempuan dan gadis Rohingya diperkosa, kadang dengan pelaku hingga 10 tentara.

Tim penyelidik PBB mengatakan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan Rohingya dilakukan secara brutal, sering diikuti dengan penyiksaan, baik fisik dan mental. “Sungguh tak bisa dipahami tingkat kebrutalan operasi yang dilakukan Tatmadaw, mereka tak menghormati sama sekali nyawa warga sipil,” kata Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung Indonesia yang ditunjuk menjadi ketua tim penyelidik PBB.
Marzuki mengatakan skala kekejaman dan kekerasan seksual sistematis tidak diragukan lagi sengaja dilakukan sebagai taktik perang. Tim yang ia pimpin menyimpulkan tindakan militer Myanmar sudah bisa digolongkan sebagai genosida.
Selain perkosaan atau perkosaan beramai-ramai tim PBB juga menemukan bentuk-bentuk kekejaman lain yang dilakukan tentara Myanmar, antara lain memaksa anak-anak Rohingya masuk kembali ke rumah yang dibakar.
Militer Myanmar juga dikatakan sengaja menanam ranjau darat ke jalur-jalur yang dipakai orang-orang Rohingya untuk menyelamatkan diri ketika tentara melakukan operasi.
Pada pihak lain, laporan PBB tersebut digambarkan wakil Myanmar di PBB, Kyaw Moe Tun, sebagai tidak imbang dan tidak adil karena terlalu banyak menggantungkan pada kesaksian pengungsi dan laporan LSM. “Laporan ini melemahkan upaya kami dalam mendorong kohesi sosial di negara bagian Rakhine, juga melemahkan upaya pemerintah dalam mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi nasional,” katanya. Pemerintah Myanmar, yang dipimpin peraih hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, sangat disayangkan, tidak pernah mengizinkan tim PBB untuk masuk ke Myanmar.
Tim PBB mewawancarai setidaknya 875 orang yang menyelamatkan diri dari negara tersebut. Tim menyelidiki tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia oleh militer dan kelompok-kelompok lain di Rakhine dan di beberapa negara lain di Myanmar.
Tak kurang dari 700.000 warga minoritas Muslim Rohingya menyelamatkan diri ke negara tetangga Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi besar-besaran. Laporan ini mengatakan sekitar 10 ribu orang tewas dalam operasi itu dan ini disebut sebagai angka yang konservatif.
Militer Myanmar membantah semua tuduhan dan menyatakan operasi ini dilakukan untuk menumpas kelompok Rohingya militan. Tetapi TPF PBB mengatakan taktik militer “konsisten dan sangat tidak seimbang dengan ancaman keamanan yang sebenarnya ada”.
Suara Suu Kyi yang sayup-sayup
Pada beberapa kesempatan sebelumnya, Ketua TPF PBB untuk Myanmar berulangkali menyatakan bahwa sebenarnya satu-satunya solusi bagi krisis negeri itu terletak pada sikap Myanmar sendiri. Meskipun belum benar-benar jelas, sebenarnya Ang San Suu Kyi dalam satu pidatonya pernah menyatakan akan menerima kembali pengungsi dengan verifikasi. Tetapi menurut Marzuki, sayup-sayupnya suara Suu Kyi dalam krisis Rohingya, tak terlepas dari keadaan politik dalam negeri Myanmar. Kewenangan pemerintah sipil di sana masih didominasi militer, walau telah berlangsung reformasi sejak 2011 ketika militer bersedia mengalihkan sebagian kekuasaannya dan membentuk pemerintah sipil.
Meski pemilu November 2015 lalu dimenangkan oleh Suu Kyi dan partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), nyatanya militer saat ini masih menguasai 25 persen kursi parlemen. “Pemerintahan Myamar masih didominasi oleh militer. Karena itu Suu Kyi sebenarnya masih terbatas kewenangannya. Walaupun Suu Kyi sudah memenangkan pemilu dan menjadi partai yang berkuasa, kekuasaan efektif tidak demikan adanya.” Namun, “Bagaimanapun cerminan demokrasi Myanmar itu masih tetap ada pada Suu Kyi. Saya hanya bisa bayangkan pergolakan dalam diri Suu Kyi untuk bisa mempertemukan kontradiksi ini,” ujar Marzuki Darusman kepada CNN. Tapi, ini ucapan tahun lalu, September 2017. (Diolah dari CNN dan BBC Indonesia/socio-politica.com) #mediakaryaanalisa