Dalam Bayangan Sang Pahlawan

Oleh Sanento Juliman*

PAHLAWAN adalah tokoh teatral. Untuk jadi pahlawan, seseorang harus memenuhi syarat-syarat seni teater. Ia mesti cukup agung, cukup dramatis, cukup fiktif, namun cukup meyakinkan. Tentu saja hanya orang mati dapat memenuhi syarat-syarat demikian, karena orang mati hidupnya telah selesai, ia telah menjadi masa silam. Dengan demikian dapat disimpulkan, disaring dan dibuat ikhtisarnya, bahkan dapat direvisi. Pahlawan adalah orang mati yang telah direvisi dan di-edit. Pahlawan kuno telah mengalami proses revisi dan editing yang sangat lama: Itu sebabnya menjadi sangat agung, dramatis, fiktif, namun mempesona.

KEPAHLAWANAN adalah konsep teatral. Menganjur-anjurkan, menghidup-hidupkan dan membesar-besarkan kepahlawanan di Indonesia, berarti harus menyiapkan Indonesia menjadi suatu teater. Kesukaan kita kepada pakaian-pakaian seragam, yaitu kepada kostum-kostum, membuktikan suasana teatral. Panji-panji, lambang-lambang dan lain-lain merupakan perlengkapan yang penting.

Upacara-upacara dan ikrar-ikrar, bagian penting dalam teater kita. Dalam upacara mesti menunjukkan sikap yang formal, atau dalam kamus estetika, sikap yang di-stilasi (di-stilir): Tiap orang mesti berakting penuh kesungguhan. Ini penting untuk menciptakan make believe. Teater adalah suatu make believe. Bahasa pun mesti di-stilasi –kita memerlukan gaya megah (grand style). Slogan-slogan memenuhi kebutuhan ini, sehingga perlu dibuat sebanyak-banyaknya, digunakan seluas-luasnya. Bahasa sehari-hari, gaya biasa, logika biasa, sungguh tidak teatral.

Selanjutnya teater memerlukan konflik-konflik. Bukan yang tak punya hubungan satu sama lain, melainkan konflik-konflik dalam rangka satu konflik, atau bisa dikembalikan kepada satu konflik: Konflik antara protagonis dan antagonis. Kitalah protagonis. Semua kegagalan kita, semua rintangan, semua bencana, semua kericuhan, adalah permainan si Antagonis. Si Antagonis itu agaknya Setan satu-satunya, maha-ada (menyusup dan memprovokasi di mana-mana) dan maha kuasa (menggerakkan semua kericuhan, memasang semua rintangan, membuat kesulitan yang mana saja, di mana saja dan kapan saja). Hal ini jelas meningkatkan kewaspadaan –kita mencium bau si Setan di mana-mana, kita selalu siap menunjuk dan meneriakkan namanya, siap berkelahi, siap membuat konflik– bahkan dengan kawan sendiri, karena siapa tahu ia berkomplot dengan si Setan.

MASSA RAKYAT. Maka jelaslah, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bukan saja tahu bagaimana memulai gerakan massa dan bagaimana memimpinnya, tapi juga tahu bagaimana mengakhirinya. (Foto dokumentasi Media Karya) #MediaKarya

Selanjutnya, teater memerlukan penonton-penonton. Tanpa penonton tidak ada teater. Aktor-aktor di atas panggung perlu merasa bahwa mereka sedang diperhatikan secara serius oleh hadirin dalam jumlah besar.

Siapakah penonton-penonton lakon kepahlawanan kita? ‘Penonton’ yang mendapat prioritas pertama, dengan sendirinya pahlawan-pahlawan –yaitu orang-orang mati. Kita berpartisipasi dengan sejarah, jadi juga dengan masa lampau, dengan perjuangan kepahlawanan yang abadi. Arwah para pahlawan  harus selalu dibangkitkan, ditampilkan ke dalam kesadaran kita.  ‘Penonton’ lain ialah generasi-generasi yang akan datang. Sekalipun mereka belum lahir, namun setiap pidato kita, setiap diskusi kita dan sepak-terjang kita, menunjukkan kesadaran bahwa mereka hadir dan menyaksikan. Kita berkorban diri untuk mereka. Merekalah saksi kita.

Demikianlah heroisme kita terwujud di dalam gerakan-gerakan massa yang masing-masing merasa memerankan lakon kepahlawanan yang suci dan agung, lengkap dengan kostum-kostum, kata-kata megah, plot-plot yang mendebarkan jantung, panji-panji dan iringan musik –disaksikan oleh keabadian:  generasi-generasi di masa lampau dan generasi-generasi di masa depan.

SEORANG aktor bergerak dan berkata-kata di atas panggung tidak sebagai dirinya sendiri. Ia sedang berperan, acting, bergerak dan berkata-kata di atas panggung itu adalah perannya.

Di dalam gerakan massa tiap individu pun bukan dirinya sendiri. Ia adalah seperti disebutkan dalam pidato-pidato: Mengenyampingkan diri sendiri, membuang interest pribadi dan perasaan pribadi, tidak berfikir sendiri (demi unity of command) –pendeknya mengorbankan diri untuk nusa dan bangsa. Dibebaskan dari diri sendiri yang kerdil, tanpa makna dan tujuan individu, memperoleh diri sendiri yang lebih besar, yaitu gerakan massa yang perkasa, bertujuan, agung dan kekal –gerakan massa yang berpartisipasi dengan sejarah. Dibebaskan dari dirinya sendiri, individu lenyaplah dan menjelma dalam tubuh besar itu dan dengan demikian ia memperoleh peran yang penuh arti dan kemuliaan.

Dalam gerakan massa, tak ada persoalan kebebasan individu, karena kebebasan ini tidak ada artinya. Seorang pengikut fanatik suatu gerakan massa yang tiba-tiba ‘dibuang’ dari gerakan massanya akan segera melihat hidupnya sebagai yang tanpa kebanggaan dan makna, hampa dan tanpa arah –rangkaian kekosongan, kecemasan dan ketidakpastian– beban yang harus dipikulnya seorang diri. Ia memperoleh kebebasannya sebagai individu, tetapi ini adalah the freedom of his own impotence. Itu sebabnya ia selalu siap untuk masuk dan berjuang dalam gerakan massa lainnya –dengan fanatisme yang sama. Ia siap mengorbankan (yaitu membuang) diri sendiri, dan bersama ini mengorbankan segala sesuatu yang bersangkutan dengan ‘diri sendiri’: pekerjaan, sekolah, keluarga, teman-teman (semua ini tidak bisa memberi arti dan harga kepada hidupnya) –asal ia memperoleh apa yang dikehendaki di dasar jiwanya, to be free from freedom.

DIBEBASKAN dari kehendak pribadi, fikiran pribadi, perasaan pribadi dan tanggungjawab pribadi, individu-individu bersatu dan memperoleh kebebasan baru –untuk mencaci, memaki, mendakwa, menghancurkan, menyiksa tanpa rasa malu, sesal ataupun kasihan. Suatu gerakan massa boleh jadi suatu political force, tapi yang jelas ia suatu physical force. Dapat dipastikan bahwa ia bukan suatu moral force.

MAKA jelaslah, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang bukan saja tahu bagaimana memulai gerakan massa dan bagaimana memimpinnya, tapi juga tahu bagaimana mengakhirinya.

SEMAKIN banyak keganasan dilakukan oleh suatu gerakan massa, semakin besar kebutuhan para pengikutnya untuk percaya bahwa ajaran gerakannya adalah satu-satunya ajaran yang benar. Gerakan massa yang penuh heroisme adalah gerakan massa yang penuh fanatisme. ‘Fanatisme agama’ yang diributkan di negara kita bukanlah satu-satunya macam fanatisme. Fanatisme ideologi, fanatisme politik, lebih hebat dan lebih luas terdapat di negara kita. Fanatisme agama justru timbul, jika kehidupan agama yang hakekatnya spiritual itu berubah menjadi gerakan massa. Di sini kita menjumpai politisasi religi. Dalam fanatisme politik kita menjumpai bagaimana ajaran-ajaran politik diangkat ke ketinggian religi, sehingga memiliki kekeramatan, kesucian. Di sini kita menjumpai religiofikasi politik.

SEJAK zaman perjuangan kemerdekaan hingga sekarang kita menyaksikan dikobar-kobarkannya heroisme, dihebat-hebatkannya gerakan massa, didengung-dengungkannya tujuan-tujuan suci yang hebat-hebat dan gempar-gempar. Tapi kita menyaksikan sering mlempemnya pembangunan dan menghebatnya penderitaan dan kemelut. Hal itu membuktikan sterilita gerakan-gerakan massa.

JELAS kita adalah bangsa yang besar, karena kita rajin memuji-muji pahlawan dan menganjur-anjurkan kepahlawanan di banyak waktu. Jangan-jangan kita hanya bangsa yang besar mulut.

KREATIVITA hanya ada pada individu-individu yang mempunyai fikiran dan inisiatif pribadi, bahkan interest pribadi. Bukan individu yang diasingkan dari diri pribadi. Kreativita bisa ada dalam suatu team, atau organisasi orang-orang bebas, tapi bukan gerakan massa. Team dan organisasi demikian tidak siap untuk mati. Sungguh di luar selera pahlawan-pahlawan.

APAKAH ini menganjurkan gerakan anti heroisme? Jelas tidak. Perlu cara pandang lebih sederhana, melihat orang-orang mengerjakan hal-hal yang nyata, terbatas dan barangkali sangat sederhana –mengusut korupsi, membuat bendungan atau menulis sajak– dengan tidak mengira yang bukan-bukan.

ADALAH bangsa yang besar, bangsa yang dapat menghargai orang-orang biasa dan pekerjaan-pekerjaan biasa.

-Disarikan dari tulisan Sanento Juliman, budayawan dan aktivis gerakan kritis 1966.Tulisan ini dibuat tahun 1968, lima puluh tahun silam, namun terasa masih relevan hingga kini. Antara lain karena pola pikir dan perilaku sosial-politik manusia Indonesia agaknya tidak terlalu banyak mengalami perubahan signifikan dalam 50 tahun ini. Pertama kali  dipublikasikan  Mingguan Mahasiswa Indonesia.

(media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s