ADALAH menakjubkan bahwa saat ini ada seorang tokoh pemimpin negara yang di satu sisi begitu dipuja sebagian rakyat bagai tokoh setengah mitos, namun sekaligus tak diinginkan lagi oleh sebagian lainnya: Joko Widodo dari Indonesia. Suatu situasi pembelahan ekstrim, penuh permusuhan, agak mirip yang dialami Soekarno di sekitar tahun 1965. Berdasarkan angka-angka yang pernah ada, kurang lebih sepertiga memuja, sepertiga menolak dan sepertiga belum memikirkannya.
Sebenarnya, dalam realita sejarah tak ada gambaran yang muluk-muluk mengenai Indonesia, termasuk mengenai pemimpin dan sejarah kepemimpinan. Kepulauan Nusantara menurut Clifford Geertz merupakan salah satu wilayah yang secara kultural paling rumit di dunia. Kepulauan ini ada pada titik persilangan sosiologis dan kebudayaan yang malang, kerapkali hampir tak masuk akal. Berbagai bangsa dengan perilaku terburuk datang dengan hasrat penaklukan, dan bahkan tak sedikit kerajaan di Nusantara inipun memiliki hasrat penaklukan yang sama. Menjadi pula persilangan penyebaran berbagai agama yang tak selalu dilakukan secara damai, melainkan seringkali dengan penaklukan dan tipu-daya sampai pertumpahan darah. Kontras dengan kemuliaan ajaran-ajaran agama itu sendiri.
Pada dua abad terbaru, Nusantara menjadi pula tempat persilangan sistem imperialisme –yang memanfaatkan celah kebhinnekaan untuk divide et impera, yang hanya bisa diatasi dengan ketunggalikaan– serta kapitalisme liberalistik dan komunisme. Tak mengherankan bila rakyat di kepulauan ini, yang telah dirundung berbagai kemalangan persilangan itu menjadi ‘sakit’ secara rohani –meski mungkin berlangsung di alam bawah sadar– dan mengalami kegagalan sosiologis.

Kerisauan tentang kepemimpinan
Pertanyaan yang merisaukan, bisakah dari bangsa dengan situasi itu lahir pemimpin-pemimpin besar secara kualitatif? Kerap dikatakan, banyak pemimpin besar lahir di sini. Majapahit pernah punya panglima perang, Adityawarman, perkasa tapi sayangnya suka melakukan penaklukan dan penghukuman berdarah. Gemar melakukan ritual pengurbanan darah sebagai penganut sempalan sinkretisme Hindu-Budha yang dikenal sebagai aliran Tantri Bhirawa. Penaklukan tentu bersumber dari cita-cita Palapa Gajah Mada yang sebenarnya bertujuan ideal.
Tokoh besar abad modern adalah Soekarno dan Soeharto. Akan tetapi sungguh disayangkan, kedua-duanya kemudian tergelincir ke dalam otoriterisme karena pada suatu ketika mungkin tak mampu lagi menahan diri terhadap godaan kenikmatan kekuasaan. Pemimpin-pemimpin berikutnya sesudah mereka? Tak perlu menyebut nama, semuanya sempat tergelincir. Tak mungkin berkeluh kesah panjang-pendek bertahun-tahun hingga sekarang, kalau mereka telah berhasil sepenuhnya membangun bangsa secara kultural, sosiologis dan ekonomis. Apalagi pembangunan politik. Tak ada pemimpin, yang sejauh ini berhasil memimpin bangsa ini melakukan pembangunan dengan urut-urutan yang benar seperti itu.
Selama ini, dari perode ke periode, kita berbicara tentang pemimpin berikutnya, yang layak. Tetapi kita semua tak pernah bersungguh-sungguh membenahi lebih dulu penyakit-penyakit bangsa. Kita lalai dalam pembangunan kultural, sosiologis, sehingga dengan sendirinya gagal dan jatuh bangun dalam pembangunan politik maupun ekonomi. Korbannya abadi, kalangan akar rumput.
Kita pun tak pernah melakukan proses lanjut terhadap apa yang telah diletakkan para pendiri bangsa, yang menjelang kemerdekaan telah menyusun untuk kita satu filosofi dasar bangsa dan konstitusi yang telah terisi pokok-pokok esensial yang dibutuhkan bangsa ini. Sewaktu-waktu bila diperlukan menjawab tuntutan zaman, tentu bisa melakukan amandemen terhadap konstitusi, untuk membuatnya lebih berkualitas, tetapi harus dengan cara yang baik dan benar sesuai esensi demokrasi. Tidak acak-acakan seperti yang telah beberapa kali dilakukan.
Pertanyaan tentang sumber pemimpin
Jadi, pemimpin apa yang bisa kita harapkan sekarang. Sulit menemukan yang terbaik dalam pilihan yang senantiasa terfaitaccompli sebagai the bad among the worst. Kecuali, ada keajaiban. Historical by accident lagi? Kemungkinan besar, muncul pemimpin otoriter baru lagi, kalau itu yang terjadi. Dari sumber mana kita bisa memperoleh pemimpin baru. Apa dari mereka yang berlatar belakang militer seperti pada dekade-dekade lalu? Apakah dari kalangan partai ? Kalau ya, bisakah dunia kepartaian dengan sejarahnya yang penuh kegagalan selama ini melahirkan pemimpin ideal dengan kriteria social society yang kita idamkan. Apalagi, terbukti sejauh ini, kaum sipil dari kalangan kepartaian –dan mungkin juga kaum sipil pada umumnya– tak kalah haus akan kekuasaan dibanding militer masa Soeharto. Rasa haus itu tercermin dari perilaku politik begitu memperoleh kekuasaan satu periode, sudah lebih banyak berpikir tentang merebut periode kedua.
Apakah para pemimpin dari kalangan politik agama bisa diharapkan? Ternyata tak kurang banyaknya yang menunjukkan perilaku kurang terpuji dalam suasana batin cenderung memaksakan kebenaran diri. Lebih kuat hasrat duniawinya daripada semangat sebagai pembimbing dan pencerah spiritual bangsa.
Harapan yang tersisa mungkin dari kalangan kaum cendekiawan perguruan tinggi dan dari kalangan mahasiswa untuk masa depan? Tapi kaum intelektual kita sekarang juga dirundung penyakit: Tak berani menjalankan dasar utama etika kecendekiawanan, yakni sedekat-dekatnya kepada kebenaran dan keadilan. Tak sedikit bahkan menjadi apa yang bertahun-tahun lampau pernah dipolemikkan sebagai gejala pelacuran intelektual. Beberapa di antaranya tak segan memanipulasi karya dan disiplin akademis, semacam survei-survei politik artifisial. Atau corong pembenaran penyimpangan kekuasaan dengan argumentasi pseudo akademis.
Sementara itu, kelompok mahasiswa kini kerap membuat kita penuh kesangsian. Sebagian tak bisa konsisten dengan sikap kritisnya terhadap penyimpangan kekuasaan, terutama karena harus berhadapan dengan represi penguasa. Hanya sedikit yang mampu bertahan memelihara integritas dan altruisme sebagaimana layaknya kaum terdidik tercerahkan. Sebagian lainnya lagi dengan mudah memilih jalur follow the triumphant, demi masa depan karir pribadi.
KINI kita sedang berjalan menuju pemilihan presiden 17 April 2019. Karena menghadapi pilihan yang masih berkategori the bad among the worst –dalam kepengapan politik dan bayangan ketakberhasilan sosiologis– justru perlu cermat mengambil keputusan. Pilih yang lebih argumentatif daripada yang sekedar beretorika. Pilih yang lebih mungkin membangun kepemimpinan yang terbuka untuk peserta pengelolaan kekuasaan dengan pikiran-pikiran kualitatif terbaik. Tidak terpusat pada hasrat dan kebenaran diri sendiri dalam arus mitologisasi ketokohan dan feodalisme baru seraya membentuk lingkaran yang penuh manusia oportunistik dan hipokrit. (media-karya.com/Rum Aly) #mediakaryaanalisa