MEMASUKI periode kedua masa kepresidenan Joko Widodo, semangat anti radikalisme di kalangan kekuasaan meningkat, melebihi masa sebelumnya. Semangat anti radikalisme itu makin tersulut ketika pertengahan November terjadi teror bom bunuh diri di Markas Kepolisian Resor Kota Besar Medan. Tak lain karena radikalisme dianggap induk dari aksi-aksi terorisme. Dr Azyumardi Azra menulis di sebuah harian nasional terkemuka (21/11), “Semua pihak –pemerintah, aparat kepolisian, warga, dan kelompok masyarakat sipil, serta ormas– harus bahu-membahu menanggulangi ideologi dan praksis radikalisme-terorisme.” Justru di sini persoalannya. Jangankan bahu-membahu, hingga sejauh ini menyamakan bahasa dan pemahaman saja mengenai radikalisme belum berhasil dilakukan.
Dalam mendefinisikan apakah radikalisme dan terorisme itu, serta kaitan-kaitannya, semua pihak –khususnya dan terutama kalangan kekuasaan– entah mengapa cenderung terkungkung dalam solipsisme. Terlalu berpegang kepada kebenaran subjektif diri sendiri, tak membuka ruang dialog yang cukup. Dan secara umum, mereka yang mengatakan dan mengklaim diri terdepan dalam anti radikalisme dan terorisme, seringkali malahan terdorong untuk ekstrim subjektif.
Tendensius dan Snouck Hurgronje
Masih pada hari pertama usai pelantikan Kabinet Indonesia Maju, Presiden sudah mengeluarkan perintah menumpas radikalisme dan yang berkaitan dengan intoleransi. Menteri Agama Jenderal Purnawirawan Fachrul Razi mendapat arahan khusus untuk itu dari Presiden. Tapi menurut Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Professor Din Syamsuddin, “Arahan Presiden kepada Menteri Agama untuk mengatasi radikalisme adalah sangat tendensius.” Din (25/10) menganggap Presiden Joko Widodo dan pemerintah hanya mengarahkan tuduhan radikalisme dan penindakan anti radikalisme terhadap kalangan Islam.

Sebelumnya, Ketua Umum PP Muhammadiyah Dr Haedar Nashir menyampaikan harapan agar radikalisme tidak dilekatkan pada agama, apalagi tertuju pada agama tertentu. Sayangnya, memang ada sejumlah peselancar politik –yang merasa atau mengklaim diri dekat dengan kekuasaan– dibantu para buzzer secara berulang selalu melontarkan tuduhan-tuduhan yang menyudutkan kalangan agama mayoritas sebagai sumber radikalisme yang berbuah terorisme. Belum lagi terselipnya perilaku ala Snouck Hurgronje di antara para pelontar stigma itu.
Di tengah diskursus mengenai tepat tidak tepatnya istilah radikalisme, di bulan November ini diberitakan bahwa kalangan DPR mengusulkan penggantian istilah tersebut kepada BNPT. Tujuannya mungkin agar lebih tepat dan proporsional. Adapun Presiden Joko Widodo sendiri, mengusulkan penggunaan terminologi ‘manipulator agama’ untuk mengganti istilah radikalisme. Di satu sisi seakan mempersempit sasaran identifikasi pelaku dan jenis perbuatan, tapi pada sisi lain mempertegas bahwa sasaran penamaan radikalisme itu selama ini memang adalah kelompok-kelompok di kalangan beragama.
Terlihat bahwa selama ini kalangan penguasa banyak melontarkan tuduhan kelompok-kelompok yang terpapar radikalisme. Antara lain memang kepada kalangan beragama yang berbeda pendapat politik dengan penguasa, kepada sejumlah pengurus masjid dan tak ketinggalan terhadap kalangan perguruan tinggi. Dan cenderung selalu dikaitkan dengan kalangan Islam.
Mungkin sebatas demokrasi radikal
Akan tetapi, jangan-jangan yang dikenakan stigma terpapar radikalisme itu justru adalah yang disebut Jürgen Habermas sebagai kelompok demokrasi radikal belaka. Bagian dari pembangunan demokrasi itu sendiri agar lebih sempurna dan tak malah berobah menjadi sekedar retorika atau dogma. Atau, lebih jauh menjelma sebagai alat berkuasa atas nama kedaulatan rakyat.
Menurut Mark Bevir –profesor ilmu politik Universitas California Berkeley– terminologi radikal dalam demokrasi radikal mengacu pada keinginan untuk mengatasi dan mengubah dasar-dasar demokrasi. “Ini seharusnya tak mengejutkan, mengingat asal etimologis dari kata radikal adalah kata Latin radix yang berarti root atau akar.” Di antara kaum demokrasi radikal ada pandangan berbeda tentang apa yang harus menjadi dasar demokrasi. Penganut demokrasi radikal kontemporer menyatakan, tidak bisa menganggap demokrasi berakar pada bidang apa pun.
Dalam buku Right and Democracy, Habermas menjelaskan konsepsinya tentang demokrasi, dan lebih luas tentang politik. Ia meletakkan dasar-dasar teoritis dari apa yang ia sebut sebagai demokrasi radikal, sebuah pemahaman demokrasi yang tidak didasarkan pada hak-hak alami manusia lagi, tetapi melalui apa yang disebut the discussion of principle. Diskusi untuk melahirkan standar normatif moral politik. Bebas dari tekanan sosial dan ekonomi, saling menghormati dan bekerjasama mencapai pemahaman mengenai persoalan yang menjadi perhatian bersama. Demokrasi semacam itu perlu menurut Habermas untuk memadukan kebebasan individu dari tradisi liberal dengan fungsi-fungsi distributif negara kesejahteraan.
Diskursus demokratis semacam ini pada hakekatnya adalah kelaziman di kalangan akademisi perguruan tinggi. Berpikir radikal –yang sebenarnya adalah salah satu hal berharga dalam keilmuan untuk inovasi– semestinya bukan dosa yang harus dibasmi. Malah harus dibantu agar berkembang Kecuali pikiran itu ditransformasikan secara sempit dan salah menjadi radikalisme –tepatnya ekstrimisme– diikuti tindakan politik yang menghalalkan segala cara, termasuk kekerasan, untuk mencapai tujuan berkonteks perebutan kekuasaan.
Sikap ekstrim baru
Tapi terlepas dari itu, sepanjang mengenai radikalisme-terorisme tak salah apa yang dituliskan Azyumardi Azra, “Sikap defensif dan apologetik, bahwa tidak ada radikalisme-terorisme di negeri ini, jelas tidak menolong upaya penanggulangan.” Ekstrimisme dengan produk terorisme, memang nyata ada. Harus dilawan dan ditanggulangi bersama secara adil dan proporsional.
Namun sebaliknya, sikap berlebih-lebihan kalangan penguasa dalam melontarkan stigma radikalisme dan terorisme juga tak kalah keliru. Apalagi, bila tuduhan itu terlalu terarah dan bersifat menggeneralisir atau terkonotasi ke arah umat Islam. Sehingga, bisa terkesan sebagai sikap ekstrim baru, radikalisme anti radikalisme. Radikalisme versus radikalisme. Sadar atau tidak sadar, tudingan-tudingan ekstrim semacam itu sempat disampaikan begitu massive dan begitu terekspose ke tengah masyarakat sehingga seringkali mirip tindakan politik praktis.
Padahal, akan lebih tepat bila masalah terorisme diselesaikan melalui operasi intelijen terukur berdasarkan UU Anti Terorisme yang ada –yang lebih dari memadai karena begitu luasnya wewenang aparat. Senyap tidak gembar-gembor, efektif dan fokus tak menyayat secara psikologis kemana-mana. Dan, tidak menjadi alat politik, seperti yang terkesan terjadi pada masa-masa pra pemilihan umum dan pemilihan presiden yang baru lalu. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa.
Masih muda tapi bingung mau kerja apa? ingin punya penghasilan lebih seperti teman temannya? nah kunjungi link ini untuk menambah penghasilan kalian yaa…. bit.ly/31zEVSh
LikeLike