Bayangan Iblis Dalam Dusta dan Kanibalisme Politik

PENULIS yang lahir dan mati di Florence Italia abad 19,  Carlo Lorenzini, melalui sebuah dongeng ‘menciptakan’ tokoh boneka kayu bernama Pinokio. Sang boneka, menurut dongeng itu, mendapat roh kehidupan berkat doa tukang kayu pembuatnya, Gepetto. Sepanjang hidupnya, pembuat mebel dan perabotan kayu lainnya ini mendambakan kehadiran seorang anak yang diharapkan bisa mencerahkan hidupnya yang sepi.

Pada awal kehidupannya, Pinokio menjadi seorang ‘anak’ yang agak nakal, suka bercanda dan bergurau dengan cara keterlaluan. Berbohong menjadi salah satu sifat buruknya yang utama. Tapi, tak sulit mengetahui kapan Pinokio melakukan kebohongan, karena setiap kali ia berbohong, hidungnya memanjang. Semakin banyak dusta terlontar dari mulutnya, semakin panjang hidungnya. Hanya dengan berbuat kebaikan, hidungnya bisa berangsur kembali memendek.

Boneka-boneka politik dan kekuasaan

Sistem dan kehidupan politik Indonesia dalam beberapa dekade terbaru, juga telah ‘menciptakan’ boneka-boneka politik dan kekuasaan. Boneka-boneka ini mendapatkan roh kehidupannya dengan bersandar pada pilihan rakyat dalam suatu proforma demokrasi lima tahunan. Akan tetapi seringkali, sebagian terbesar dari mereka melupakan sumber roh kehidupannya, yakni legitimasi rakyat, karena bius dan ekstasi kekuasaan.

SETIAP BERBOHONG HIDUNG BERTAMBAH PANJANG. Namun politisi dan para tokoh pemimpin Indonesia lebih beruntung daripada Pinokio. Kalau berbohong, baik di masa kampanye pemilihan umum maupun keterusan berdusta saat berada dalam kekuasaan atau lembaga-lembaga kenegaraan yang ada, hidung mereka tidak bertambah panjang. Jadi, tidak kasat mata terlihat. Beberapa dari mereka bisa saja terasakan oleh publik telah berbohong, tetapi tak bisa diapa-apakan, karena mekanisme defensif maupun mekanisme ‘perlindungan’ konspirasi mereka lebih kuat daripada mekanisme ‘kontrol’ publik. (Gambar-gambar download) #MediaKarya

Namun politisi dan para tokoh pemimpin Indonesia lebih beruntung daripada Pinokio. Kalau berbohong, baik di masa kampanye pemilihan umum maupun keterusan berdusta saat berada dalam kekuasaan atau lembaga-lembaga kenegaraan yang ada, hidung mereka tidak bertambah panjang. Jadi, tidak kasat mata terlihat. Beberapa dari mereka bisa saja terasakan oleh publik telah berbohong, tetapi tak bisa diapa-apakan, karena mekanisme defensif maupun mekanisme ‘perlindungan’ konspirasi mereka lebih kuat daripada mekanisme ‘kontrol’ publik.

Dalam perkembangan praktek politik terakhir, ada penggunaan terbalik kata kebohongan. Tudingan bohong atau hoax malah menjadi senjata serangan balik terhadap kritik, selain menyebut kritik sebagai sikap nyinyir. Pengungkapan suatu ketidakbenaran kerap dianggap membesar-besarkan masalah. Memang ada beberapa kritik juga dilancarkan dengan kualitas kandungan kebohongan yang sama, namun tak terhindarkan kritik yang jujur pun dilawan justru dengan tuduhan bohong. Sehingga kerap kali publik dibuat bingung membedakan mana yang sesungguhnya kebenaran dan mana yang merupakan kebohongan. Satu-satunya yang bisa menjadi jangkar untuk menilai kebohongan dan kebenaran hanyalah fakta empiris yang ditemukan sendiri sehari-hari.

Bersamaan dengan tebaran kata-kata bohong, menjadi lazim penggunaan kata-kata vulgar. Semisal kata atau terminologi yang disampaikan dalam nada yang kurang nilai keadabannya: politik gendruwo, budeg, buta, sontoloyo, tampang Boyolali, dan sebagainya. Entah disampaikan dalam nada canda entah dalam nada agresif. Barangkali,  bisa disebutkan bahwa kata-kata seperti itu tak lebih tak kurang adalah derivate dari sikap dan kebiasaan hujat menghujat dan bohong membohongi satu sama lain.

Memelihara sikap dusta, sekaligus akan membuat para pengidap tak terhalang suatu batas moral lagi. Perhatikan saja, bagaimana pola reaksi mereka –para tokoh kalangan eksekutif, legislatif maupun judikatif serta tokoh-tokoh partai– bilamana sedang menjadi tertuduh dalam berbagai kasus, entah dalam kaitan mafia hukum, mafia pajak, kepemilikan rekening tak wajar, gratifikasi, suap, rekayasa, politik uang, manipulasi angka pemilihan umum dan sebagainya. Bersikeras, beralasan 1001, kadang-kadang mengancam balik, melaporkan balik, mengerahkan massa tandingan dan sebagainya, dan seterusnya.

Dusta dan Iblis

Dusta atau kebohongan adalah salah satu isi utama kalbu Iblis. Menurut budayawan tahun 1966 almarhum Sanento Juliman, yang juga pengajar ITB, Iblis itu mirip dusta. Tepatnya mungkin, dusta itu bagian dari sifat dasar iblis. Dan penggunaan dusta sebagai senjata, adalah salah satu ajaran utama Iblis kepada manusia.

“Agama mengajarkan bahwa Iblis itu mahluk spiritual. Iblis masuk kategori spiritual oleh karena ia anti-spiritual: pekerjaannya ialah memberantakkan spiritualita manusia. Ia mempunyai pekerjaan demikian, karena ia tidak percaya kepada kemuliaan manusia, kepada martabat manusia,” tulis Sanento. “Ia menolak menghormati Adam. Betapa mungkin menghormati Adam, jika Adam dibuat dari lempung saja? Di sinilah letaknya hakekat Iblis yang terpenting: ia adalah Sang Anti-Manusia. Iblis melihat Manusia sebagai yang tidak patut dihormati. Oleh karena ia bersikap demikian, ia telah menentang Tuhan. Sebelum manusia tercipta, Iblis baik-baik saja: ia adalah malaikat yang tidak berbeda dari malaikat-malaikat lainnya.”

Untuk sebagian spiritualita manusia memang sudah berantakan. Dalam kehidupan sosial maupun politik. Dan Indonesia bukan pengecualian. Selain dusta sebagai senjata, dalam politik seringkali dijalankan prinsip kanibalisme. Secara harfiah kanibalisme berarti manusia memakan daging manusia lainnya.  Tapi ada pula pemahaman simbolisnya. “Dengan prinsip ini orang mengalahkan musuh kemudian mengambil alih kekuatannya, semangatnya, bahkan kekejamannya. Orang primitif melaksanakan prinsip itu dengan jalan meminum darah musuh yang dibunuhnya. Tujuannya ialah: mengambil alih kualita atau esensi si musuh.” Manakala prinsip kanibalisme menang, maka musuh dikalahkan secara aktual tetapi musuh menang secara esensial, secara prinsipil. “Saya hancurkan musuh, tetapi secara esensial saya menjelma menjadi musuh itu.”

Semi kanibalisme

Derivatenya adalah prinsip semi kanibalisme, yang juga sudah dipraktekkan dalam kehidupan politik. Dengan cara ‘bedol desa’ maupun perorangan. Lawan politik ‘digrogoti’ personil pendukungnya, dengan menarik dan merekrut beberapa tokoh atau perorangan kubu seberang, terutama yang vokal dan mampu bersuara lantang. Tepatnya, fasih mencaci maki.

Tokoh-tokoh pindahan seperti ini biasanya akan mati-matian unjuk kebolehan, menjalankan tugas agitprop terhadap bekas kubu yang ditinggalkannya. Tapi begitu personil seperti itu direkrut, maka sebenarnya rekrutmen yang terjadi adalah pengambilalihan orang-orang oportunis. Bukankah pada umumnya hanya orang-orang oportunis dan hipokrit yang gampang pindah haluan perpihakan? (media-karya.com#mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s