BERAPA sebenarnya korban jiwa yang jatuh dalam malapetaka sosiologis –pembunuhan balas berbalas– pasca Peristiwa 30 September 1965? Menurut buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka, 2006) perkiraan yang moderat menyebutkan angka 500.000 jiwa. Perhitungan lain, berkisar antara 1.000.000 sampai 2.000.000. “Tetapi, Jenderal Sarwo Edhie yang banyak berada di lapangan, pasca Peristiwa 30 September 1965, baik di Jawa Tengah, Jawa Timur maupun di Bali, suatu ketika menyebut angka 3.000.000. Hingga akhir hayatnya, Letnan Jenderal Sarwo Edhie Wibowo bahkan tak pernah meralat angka yang disebutkannya itu.”
Penyebutan angka 3.000.000 korban jiwa oleh sang jenderal sebagaimana dituliskan dalam buku tersebut, sempat berkali-kali dikutip dalam berbagai tulisan. Ada yang mengutip dengan cermat. Namun tak sedikit yang tidak cermat, untuk tak mengatakannya justru banyak sengaja diputarbalikkan. Ada yang malah sampai memanipulasi penyebutan angka 3.000.000 oleh Letnan Jenderal Sarwo Edhie sebagai pengakuan keterlibatan dirinya bersama militer membantai 3.000.000 pengikut PKI. Padahal, yang dimaksud Sarwo Edhie –saat ia menjadi Ketua BP7– dalam percakapannya dengan dua Manggala BP7, adalah korban keseluruhan di semua sisi dalam rangkaian peristiwa. Bukan hanya terhadap mereka yang dianggap pengikut PKI. Pelakunya pun, baur, dari semua sisi, sebagaimana yang juga diungkap dalam bagian lain buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 itu.
Catatan Letnan Jenderal Sarwo Edhie
Letnan Jenderal Sarwo Edhie memiliki catatan-catatan tentang pengalamannya di seputar Peristiwa 30 September 1965 dan masa-masa sesudahnya, termasuk mengenai malapetaka sosiologis tersebut. Mungkin ada angka-angka signifikan dalam catatan tersebut. Namun sayang, catatan Sarwo Edhie itu ‘hilang’ di tangan orang yang dititipi –dalam rangka usaha menerbitkannya– oleh ibu Sarwo Edhie, beberapa waktu setelah sang jenderal meninggal. Mengingat integritas dan reputasi kejujuran Sarwo Edhie, catatan itu pasti berisikan hal-hal amat berharga dan relatif tak mengandung unsur pemalsuan sejarah. Atau, catatan itu justru ‘hilang’ karena bersih dari pemalsuan sejarah?

Selain korban jiwa dalam malapetaka sosial tersebut, yang sebenarnya tak hanya menimpa massa pendukung PKI, sejumlah orang juga menjadi tahanan politik bertahun-tahun lamanya di berbagai tempat penahanan di seluruh Indonesia dan kemudian di Pulau Buru. Professor Herbert Feith –akademisi Australia kelahiran Austria– menyebutkan adanya 80.000 tahanan politik. Suatu angka yang selalu bertambah, karena penangkapan terus berlangsung sampai bertahun-tahun sesudah peristiwa. Tak terkecuali, korban salah tangkap oleh aparat yang tak jelas latar belakang kepentingan politiknya.
Dalam konteks yang disebut terakhir ini, menarik untuk diteliti lanjut adalah peranan satuan-satuan tertentu di tubuh tentara. Satuan-satuan tersebut, sebelum Peristiwa 30 September 1965 ada dalam pengaruh komunis, tetapi pada proses ‘pembasmian’ setelah peristiwa, berperan dalam penangkapan dan eksekusi. Ini semacam tindakan kanibal, terhadap mereka yang diketahui pengikut organisasi-organisasi komunis. Pola ini terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kelompok tentara tersebut juga bergerak menindaki mereka yang sebenarnya bukan komunis, bahkan anti komunis, namun dituduh pengikut komunis. Belum lagi penggunaan kesempatan balas dendam pribadi di luar kaitan politik, yang berupa pembunuhan, perkosaan dan penjarahan harta benda.
Keterlibatan beberapa satuan tentara dalam rangkaian persoalan setelah Peristiwa 30 September 1965 di Jawa Tengah –dan juga di Jawa Timur– perlu dicermati. Sepanjang yang bisa dicatat, pada 1 Oktober 1965, sejumlah perwira komunis di lingkungan Kodam Diponegoro, Kolonel Suherman dan kawan-kawan, sempat menangkap Panglima Divisi Diponegoro Mayjen Surjosumpeno dan mengambilalih komando divisi tersebut. Para perwira ini lalu mengumumkan pembentukan Dewan Revolusi di Jawa Tengah. Mereka pun membunuh Komandan Korem 72 Yogyakarta Kolonel Katamso dan Kepala Stafnya Letnan Kolonel Sugiono karena tak mau mendukung Dewan Revolusi. Ketika Mayjen Surjosumpeno berhasil meloloskan diri, selama beberapa hari sampai 5 Oktober 1965 ia bisa menarik kembali batalion-batalion yang membelot. Namun ia sangsi bisa melakukan pengendalian seterusnya, sehingga minta bantuan Jakarta. Jenderal Soeharto memutuskan mengirim satuan-satuan RPKAD yang dipimpin langsung Kolonel Sarwo Edhie.
Hiperbola ‘Jejak Berdarah Sang Pembasmi’
Kehadiran Sarwo Edhie di Jawa Tengah –dan kemudian di Jawa Timur dan Bali– membuat ia berada dalam sorotan berkali-kali dari waktu ke waktu, karena bertepatan waktu dengan terjadinya kebangkitan perlawanan massa yang kemudian berubah menjadi kekerasan massal terhadap pengikut-pengikut PKI. Sebuah mingguan berita terkemuka, November 2011 bahkan sempat menurunkan laporan utama yang judul dan sub-judulnya sedikit mencengangkan. Bernada sorotan tajam dan terkesan sedikit ‘menghakimi’ peran Jenderal Sarwo Edhie di seputar peristiwa 1965-1966 sampai 1967. Judulnya hiperbolis, “Jejak Berdarah Sang Pembasmi”.
Pemaparan laporan utama itu sendiri, tak mengandung data yang langsung memastikan suatu peran berdarah dari sang jenderal. Misalnya, memang benar atas perintah Sarwo Edhie para pemuda diberikan pelatihan militer ringan agar bisa membantu menghadapi anggota-anggota PKI yang kala itu, setidaknya sepanjang bulan Oktober 1965, masih agresif. Pelatihan dilakukan karena permintaan Sarwo Edhie ke Jakarta agar diberi tambahan pasukan waktu itu tak dipenuhi. Namun apakah, gerakan pengejaran dan pembasmian PKI oleh para pemuda saat itu dilakukan berdasarkan perintah Sarwo Edhie atau perwira-perwira RPKAD lainnya, tidak ditunjukkan dalam laporan tersebut. Salah seorang perwira bawahan Sarwo kala itu, Letnan Sintong Panjaitan –yang dibenarkan seorang wartawan, Daud Sinyal– menyebutkan RPKAD tidak melakukan pembunuhan terhadap anggota-anggota PKI, tetapi dilakukan oleh masyarakat yang tak terkendali lagi. Peristiwa itu sebenarnya lebih menyerupai suatu malapetaka sosial akibat dendam dalam mata rantai sebab-akibat balas berbalas. Ormas yang aktif di garis depan pembasmian di Jawa Tengah adalah Pemuda Marhaenis dan massa PNI, di Jawa Timur terutama Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dan di Bali adalah massa Marhaenis PNI.
Pada 1966-1967 bahkan hingga beberapa tahun berikut, berbagai pihak, termasuk pers Indonesia cenderung menghindari menyentuh dan membicarakan mengenai peristiwa berdarah ini. Hanya ada beberapa pengecualian, seperti misalnya Soe-Hokgie melalui tulisan-tulisannya, termasuk di Mingguan Mahasiswa Indonesia, edisi pusat maupun edisi Jawa Barat. Di tahun 1966, melalui tulisannya di Mingguan Mahasiswa Indonesia, cendekiawan muda dari ITB Mudaham Taufick Zen yang lebih dikenal sebagai MT Zen menyentuh substansi masalah tersebut. MT Zen menggambarkan adanya suasana ketakutan rakyat Indonesia terhadap teror PKI selama beberapa tahun terakhir, sebagaimana kemudian ‘terbukti’ di Lubang Buaya. Lalu, “sebagai akibat selalu ditangguhkannya political solution yang dijanjikan Bung Karno,” setelah peristiwa, “maka terjadilah pembunuhan besar-besaran di Jawa Tengah dan Jawa Timur serta tempat-tempat lain di Indonesia”.
Antara kebenaran dan manipulasi sejarah.
Dalam konflik penafsiran dan kontroversi narasi atas Peristiwa 30 September 1965 dan peranan PKI, klaim kebenaran bagaikan pendulum yang berayun dari kiri ke kanan dan sebaliknya, sehingga membingungkan masyarakat, terutama generasi baru yang masanya jauh sesudah peristiwa terjadi. Apalagi, sejumlah sejarawan –mungkin di sini bisa disebut antara lain Asvi Warman Adam dari LIPI– yang semestinya ‘sangat jujur’ dan penuh integritas dalam konteks kebenaran, ikut memasukkan intrepretasi-intrepretasi atas peristiwa yang bukan hanya subjektif, melainkan sudah menyesatkan. Tetapi perbedaan versi kebenaran itu sendiri terjadi sejak awal segera setelah terjadinya peristiwa, di dalam negeri maupun luar negeri sesuai kepentingan masing-masing pihak per saat itu.
Diperlukan melanjutkan inisiasi menyusun narasi kebenaran, oleh para akademisi serta unsur-unsur yang masih punya integritas di dalam masyarakat…. Itu suatu kebutuhan untuk menghindari dan mengakhiri akrobatik pemalsuan sejarah….. (media-karya.com/socio-politica.com) #mediakaryaanalisa