TATKALA dua calon Presiden RI tampil dalam kampanye-kampanye mereka menjelang D-Day 17 April 2019, jeratan frase the devil is in the details bekerja. Kerapkali mereka terpeleset saat berbicara terlalu detail tentang suatu masalah, padahal kurang memiliki amunisi data akurat. Pada sisi lain, terdapat kekurangsempurnaan konseptual dalam konstruksi grand design pengelolaan negara yang mereka lontarkan ke publik. Padahal kemampuan konsepsional terkait grand design inilah yang justru lebih dibutuhkan dari seorang Presiden.
Bila mencari frase the devil is in the details melalui google search akan muncul ratusan hasil tentang pengertian frase tersebut. Satu sama lain bisa berbeda formulasi kalimat, namun akan ditemukan simpul-simpul makna serupa. Bahwa dalam suatu masalah besar seringkali terkandung potensi kegagalan karena kesalahan kecil dalam detail sebagai batu sandung. Persoalan pada sesuatu yang besar seringkali terkait dengan kesalahan kecil yang diabaikan. Breslow menyebut butir-butir kecil mengganggu itu sebagai devil in details yang terselip dalam kumpulan data besar. Friedrich Wilhelm Nietzsche, filsuf dan penyair Jerman (1844-1900), dalam kaitan pemecahan masalah dikutip mengucapkan “der teufel stecktim detail” sebagai kendala –yang bisa diterjemahkan “setan ada pada detailnya.”
Tapi sebenarnya, frase yang membawa-bawa nama devil –atau syaitan dalam padanan bahasa Indonesia– itu adalah derivate dari frase yang diametral berbeda, yakni God is in the details. Apa pun yang dilakukan seseorang harus dilakukan secara menyeluruh dengan jujur dalam kebenaran. Maka, bila seseorang memang ingin berbicara lebih detail, katakanlah layaknya seorang ahli atau professional, harus mempersiapkan diri dengan ‘senjata’ data jujur dan benar.

Detail dan angka dalam debat calon presiden
Dalam debat kedua Calon Presiden Ahad 17 Februari kemarin, antara Joko Widodo dengan Prabowo Subianto, banyak data detail dalam angka dilontarkan. Ada angka mengenai produksi dan konsumsi beras, ada angka produksi dan impor jagung yang dikatakan menurun. Ada jumlah kapal asing pencuri ikan yang ditenggelamkan, ada pula angka tentang panjang jalan desa yang telah dibangun, selain data jalan tol dan bendungan yang telah dirampungkan. Serta aneka data pencapaian pembangunan versus data ketakberhasilan pembangunan. Tak ketinggalan data kebangkitan Unicorn Indonesia versus kecemasan akan mengarusnya uang ke luar Indonesia melalui para unicorn dan E-trader. Selain itu diperdebatkan tentang ada atau tidak ada sengketa lahan terkait infrastruktur.
Sangat disayangkan, angka dan data yang tampil justru banyak dianggap tak akurat. Maka sehari penuh kemarin, Senin, berlanjut hingga Selasa hari ini, berbagai media –dari yang mainstream hingga yang periferal– diwarnai bantah membantah kebenaran angka impor jagung, produksi dan konsumsi beras, panjang jalan pedesaan dan sebagainya. Angka-angka pembanding dan sanggahan mengambil sumber-sumber resmi maupun yang sudah jelas jejak digitalnya. Pujian bahwa debat kedua ini lebih baik, karena lebih hidup daripada debat perdana, seakan terdorong ke belakang karena selipan devil in details yang tak perlu lagi dirinci di sini.
Semua sisi bersikeras tentang kebenaran diri dan kubu masing-masing. Padahal, mana mungkin ada dua kebenaran sekaligus untuk satu pokok soal. Lagi-lagi kesekian kali, ini mencerminkan pembelahan masyarakat, bukan hanya dalam sikap lahiriah namun sampai kepada isi kepala dan hati nurani dalam konteks kebenaran. Lalu, di luar dua belahan, ada belahan ketiga yang belum terlibat dalam fanatisme buta saat menjalankan dukungan politik. Situasinya menjadi, “between the devil and the deep sea” . Suatu keadaan sulit karena harus memilih di antara dua hal yang buruk. Katakanlah, ini konsekuensi logis dari situasi keterbatasan pilihan yang mampu diberikan sistem, yang berupa pilihan the bad among the worst.
Not the president do all things
Akan tetapi sesungguhnya, di sinilah pula salah kaprah yang luas tentang model dan kualitas apa yang dibutuhkan dari seorang Presiden yang akan memimpin negara. Untuk jabatan Presiden, sebenarnya dibutuhkan seorang generalis tangguh yang mampu memikirkan strategi pengelolaan negara yang tertuang dalam suatu grand design untuk menjaga keselamatan bangsa dan bagaimana mengembangkan negara ke arah kemajuan. Seorang Presiden didampingi kabinet yang terdiri dari mayoritas kaum ahli dan professional dilengkapi satu-dua menteri tipe administrator. Menteri-menteri menguasai masalah secara detail dan menanganinya hingga detail dalam pengertian yang dimaksud frase God is in the details. Untuk melengkapi diri, seorang Presiden memerlukan juga sejumlah ahli yang memahami pengelolaan politik dan demokrasi, bukan ahli-ahli politicking.
Seorang Presiden sejak mula harus menemukan orang-orang terpercaya untuk dikumpulkan dalam kabinetnya, lengkap dengan mekanisme manajemen modern yang ada dalam ilmu administrasi negara. Pengawasan, misalnya, berjalan dengan suatu mekanisme built in control, sehingga tak perlu setiap saat seorang Presiden harus blusukan mengawasi jalannya pemerintahan. Blusukan adalah baik per satu saat, tapi bagaimana pun tak lebih tak kurang hanyalah mekanisme adhoc karena paksaan keadaan objektif yang lahir dari suatu situasi ‘keterlanjuran’ tradisi distrust terhadap aparatur pemerintahan. Dalam skala besar biayanya pun mahal.
Seorang Presiden tetaplah tokoh yang harus memiliki inisiatif pengendalian atas grand design pembangunan sosial, ekonomi dan politik. All the president’s men do things, not the president do all things (media-karya.com) #mediakaryaanalisa