DUAPULUH DUA tahun lalu, 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri. Sepekan mendahului momen itu terjadi kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang berimpit dengan peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol Jakarta 12 Mei. Namun, tabir asap yang menyelimuti kedua peristiwa, hingga kini tetap belum terkuak. Ada berbagai versi mengenai dua peristiwa ini, tetapi tak satu pun yang bisa ditentukan sebagai kebenaran, tak lain karena ada situasi tarik menarik di antara pihak yang sebenarnya diduga terlibat. Dengan demikian, karena kebenaran dalam peristiwa itu belum berhasil dibuat ‘terang benderang’ dengan sendirinya tak pernah ada pihak yang bisa dimintai pertanggunganjawab. Khususnya, dari kalangan jenderal para pengendali keamanan yang ada di latar depan kala itu. Apalagi para pemain belakang layarnya.
Kesimpulan terpenting dari Team Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman SH mengenai kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah bahwa kerusuhan terjadi karena disengaja. Kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Sementara itu kelompok-kelompok mahasiswa ditempatkan di depan sebagai tameng depan gerakan menjatuhkan Soeharto. Menurut TGPF, terdapat sejumlah “mata rantai yang hilang” (missing link), yaitu hilang atau sukarnya diperoleh bukti-bukti atau informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar elite dengan arus massa. Namun, terdapat indikasi yang kuat adanya hubungan semacam itu, terutama di Solo dan sebagian wilayah Jakarta.
Dari temuan lapangan, TGPF juga berkesimpulan, banyak sekali pihak ‘bermain’ untuk mendapatkan keuntungan pribadi maupun kelompok atau golongan, dari terjadinya kerusuhan. Semua pihak yang terlibat bermain pada semua tingkat. Kesimpulan TGPF ini merupakan penegasan, terdapat keterlibatan banyak pihak, mulai dari preman lokal, hingga kelompok-kelompok di dalam ABRI pada kerusuhan tersebut. Mereka mendapat keuntungan bukan saja dari upaya sengaja “menumpangi” kerusuhan, melainkan juga dengan tak melakukan apa-apa. Dalam konteks ini ABRI dianggap bersalah karena “tak cepat bertindak” mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki sarana dan tanggungjawab untuk itu.
Belum juga terkuak dan tuntas
Setelah berjalannya waktu hingga 22 tahun lamanya, tabir asap yang menutupi peristiwa dan peran dalam kerusuhan Mei 1998 belum juga ‘terkuak’ secara formal. Apa sebenarnya yang terjadi dalam rangka pergulatan kekuasaan, masih selalu ditutup-tutupi. Ketua Kontras Munir, yang mencoba mengungkit dan mengungkap peranan busuk sejumlah kalangan kekuasaan, khususnya dalam rangkaian penculikan sejumlah aktivis menjelang peristiwa dan kemudian mengenai peran-peran dalam peristiwa, mati dibunuh. Siapa dalang pembunuhan Munir itu sendiri tetap ‘dibuat’ gelap, sehingga terjadi kegelapan ganda.

Dari berkas testimoni para jenderal dan sejumlah perwira lain yang dimintai keterangan oleh TGPF, terlihat betapa para jenderal itu cenderung memberi keterangan berbelit-belit kepada pewawancara TGPF. Beberapa di antaranya ‘berlagak pilon’, sementara yang lainnya menyampaikan penjelasan-penjelasan normatif yang tak berguna untuk memperjelas persoalan. Bahasa dan kalimat para jenderal itu juga seringkali kurang jelas, tidak fix, entah sengaja entah tidak. Terlihat pula ada situasi saling ‘melemparkan’ tanggungjawab, padahal nyata-nyata secara formal tanggungjawab keamanan itu ada di tangannya. Sayang pula, sebagian pemeriksa TGPF terkesan kurang berhasil ‘mengejar’ para jenderal itu dengan pertanyaan-pertanyaan mereka. Entah karena kekurangan data atau entah apa. Paling sulit, Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sebagai puncak komando kala itu, justru tak bersedia, tegasnya tak mau memberi keterangan kepada TGPF.
Para jenderal dan perwira yang dimintai keterangan oleh TGPF, antara lain adalah Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin yang saat peristiwa terjadi menjabat Panglima Kodam Jaya yang bertanggungjawab atas keamanan ibukota. Sebelum Mei 1998 ia dianggap punya kedekatan dengan Letnan Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto. Setelah itu, khususnya pada saat peristiwa berlangsung disebut-sebut beralih menjadi lebih dekat Pangab Jenderal Wiranto. Sementara itu, Letnan Jenderal Prabowo Subianto diposisikan “berseberangan” kepentingan dengan Jenderal Wiranto. Letnan Jenderal Prabowo, yang saat peristiwa adalah Panglima Kostrad, juga diperiksa TGPF. Jenderal lain yang ikut diperiksa TGPF adalah Mayjen Zacky Makarim, Kepala BIA (Badan Intelijen ABRI), yang juga dikenal punya kedekatan dengan Letjen Prabowo Subianto. Berturut-turut ikut diperiksa TGPF adalah, Gubernur DKI Letjen Sutiyoso, Kastaf Kodam Jaya Brigjen Sudi Silalahi, Kapolda Metro Jaya Mayjen Pol Hamami Nata, Komandan Korps Marinir Mayjen Marinir Suharto, KSAD Jenderal Subagyo HS, Drs Fahmi Idris, serta sejumlah perwira menengah Kodam Jaya maupun Polda Metro Jaya.
TGPF memberikan sejumlah rekomendasi kepada pemerintah. Namun Presiden BJ Habibie tak pernah memperlihatkan ketertarikan menuntaskan kebenaraan peristiwa. Sejumlah nama yang justru disorot, belakangan malah masuk ke dalam kekuasaan pemerintahan maupun politik. Terbunuhnya empat mahasiswa Trisakti sempat disidangkan dengan terdakwa sejumlah perwira bawahan dan bintara, namun tanpa menyentuh para penanggungjawab pada tingkat lebih tinggi.
Mereka yang disorot namun tak pernah tuntas dalam proses pertanggungjawaban, terutama adalah Jenderal Wiranto dan Letnan Jenderal Prabowo Subianto. Bekas Panglima Kostrad ini memang sempat diajukan ke Dewan Kehormatan Perwira, dan setelah itu ia diberi penugasan “samping” untuk akhirnya pensiun dini dan sempat hidup di luar Indonesia beberapa tahun. Ada kesan, dikambinghitamkan. Sekembali ke Indonesia ia terjun ke kancah politik dan mendirikan Partai Gerindra menyongsong Pemilihan Umum 2009. Sempat tampil sebagai calon Wakil Presiden berpasangan dengan Megawati Soekarnoputeri dalam Pemilihan Presiden 2009, namun dikalahkan SBY-Budiono. Lalu dua kali berturut-turut tak berhasil dalam Pilpres 2014 dan 2019 menghadapi Joko Widodo. Letnan Jenderal Sjafrie Sjamsudin ‘terparkir’ sejenak sebelum menjabat Sekjen Departemen Pertahanan kemudian Wakil Menteri Pertahanan Kabinet Presiden SBY.
Early warning yang diabaikan
Mayjen Zacky Makarim terkena ‘pukulan’ lebih telak, keluar gelanggang meninggalkan karir militer setelah Peristiwa Mei 1998. Sebagai Kepala BIA Zacky Makarim mengaku sudah memberi early warning ke berbagai pihak. “Saya sudah bilang khusus kepada Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya agar mewaspadai aksi-aksi yang turun ke jalan akan menuju Istana Presiden, Merdeka Utara, dan Merdeka Selatan serta simbol kenegaraan lainnya”. Zacky Makarim memberi early warning pada 11 Mei ke semua pihak yang berwewenang, agar mencegah jangan sampai ada korban jatuh dan menjadi martir, seraya menyebut tanggal-tanggal yang perlu diwaspadai yakni 14, 16, 18 dan 20 Mei 1998 sebagai waktu terjadinya tindakan-tindakan destruktif. “Hindari adanya martir, karena akan dicerca rakyat”, ujar Zacky yang mengaku mengira martirnya jatuh di Yogya, tapi ternyata di Trisakti dan terjadi lebih cepat, 12 Mei. “Saya tak tahu 14 Mei 1998 akan dijadikan bancaan habis”.
Apakah bahan-bahan informasi BIA memang lemah dan menyebabkan perkiraan-perkiraan pun dengan sendirinya meleset sehingga serba tertinggal sekian langkah? Atau, ada pihak di tubuh kekuasaan sendiri yang sengaja “mewujudkan” apa yang justru dikuatirkan dan diperingatkan BIA dan mempercepat, sehingga segala sesuatunya terjadi bagai bola liar di luar perkiraan? Martir diciptakan lebih cepat, bukan di Yogya tapi di Jakarta, disusul kerusuhan yang amat terorganisir. Perencananya bisa sama, bisa juga berbeda. Pencipta martir, mungkin lain lagi. Dan yang melakukan kerusuhan dengan pengorganisasian provokasi secara sistematis, pun lain lagi, dalam suatu pola pertarungan kekuasaan. Hasil akhirnya, Presiden yang sedang berkuasa tak tahan lagi, lalu mundur. Sebenarnya semua hal ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh. Tetapi kenyataannya para decision maker per momentum maupun pasca momentum senantiasa menghindari suatu penelusuran lanjut. Hingga kini. Apalagi, rezim sekarang, yang mungkin merasa tak berkepentingan, kendati peristiwa 1998 sempat juga digunakan sebagai senjata dalam menghadapi Prabowo Subianto pada 2014 dan 2019. (media-karya.com/diolah dari socio-politica.com) #mediakaryaanalisa