LAMBANG Palu Arit dan nama PKI kembali tampil mencuat dalam berbagai cara dan bentuk secara massive di tengah masih berkecamuknya pandemi virus Corona. Perupa kelahiran Tegal (1957) Dadang Christanto, menampilkan gambar dirinya berpose di depan luster banner berwarna dasar merah bertuliskan PKI lengkap dengan lambang Palu Arit berwarna kuning, melalui akun twitter pribadinya seraya mengucapkan selamat Ulang Tahun ke-100 PKI 23 Mei 1920-2020. Merah dan kuning adalah khas paduan warna tradisional kaum komunis.
Apakah Dadang seorang anggota PKI? Usianya yang belum 9 tahun saat PKI dibubarkan 12 Maret 1966 tak memungkinkan ia menjadi anggota PKI. Tetapi sepanjang masa berkesenian selaku perupa ia senantiasa menampilkan karya-karya tribute untuk korban peristiwa kekerasan politik atas kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, korban kekerasan dalam malapetaka sosiologis sesudah Peristiwa 30 September 1965. Para korban dipersepsi sebatas kaum komunis pengikut PKI, padahal jatuh korban di semua sisi. Aksi Dadang disambut akademisi Ariel Heryanto dengan pernyataan perlunya pemerintah meminta maaf terhadap kekerasan yang terjadi 1965-1966 itu.
Terjadi pula peristiwa pengibaran bendera merah putih bergambar palu arit di kampus Universitas Hasanuddin yang masih dikejar siapa pelakunya oleh polisi.
Pada sekitar waktu yang hampir bersamaan terekspose rekam jejak digital Direktur Utama TVRI yang baru, Iman Brotoseno, berisi cuplikan narasi lama yang bernuansa memutihkan sepak terjang Gerwani dalam Peristiwa 30 September 1965 serta pendapat bahwa Hari Kesaktian Pancasila tak perlu lagi diperingati. Iman menjelaskan bahwa rekam jejak digitalnya yang diungkit ahli IT Roy Suryo adalah dari masa lampau dan sebenarnya hanya merupakan kumpulan pendapat beberapa sejarawan dan ahli lainnya. Karena tidak mencantumkan sejak mula siapa sumber kutipannya, maka tentu saja dianggap bahwa itu rekam pendapat pribadinya.
Terhadap cetusan-cetusan terkait PKI, bermunculan sejumlah reaksi. Cetusan-cetusan dan perilaku menampilkan simbol-simbol komunis dengan segera dikaitkan dengan sikap kalangan penguasa di bawah Presiden Joko Widodo yang dianggap banyak memberi angin terhadap suara-suara beraroma PKI. Sementara dirinya sendiri belum tuntas benar dalam menjernihkan tuduhan asal-usulnya yang terkait PKI selama ini. Salah satu reaksi disampaikan tokoh Persatuan Alumni 212 Novel Bamukmin, bahwa dalam kenyataan memang ada yang mengharapkan PKI bangkit (Tagar, 25 Mei 2020). Anak cucu keturunan PKI masih ada dan dibina. Pemerintah yang berkuasa saat ini memiliki hubungan baik dengan orang-orang yang memiliki paham kiri. “Rezim ini sangat bersahabat dengan paham komunisme, dengan bukti, apapun yang berbau komunis dibiarkan. Bahkan mereka sudah bisa masuk ke semua lini termasuk DPR.” Itu sangat berbahaya, karena keturunan PKI yang aktif bisa ikut menentukan kebijakan.

Pada sisi lain, kelompok-kelompok yang dekat kalangan kekuasaan, melancarkan sejumlah tuduhan. Antara lain pengamat politik dari LIPI, Wasisto Rahardjo, yang mengatakan isu kebangkitan PKI dilancarkan keluarga Cendana. Ada juga yang mengatakan bahwa isu kebangkitan PKI hanyalah menciptakan hantu untuk mendelegitimasi pemerintahan Joko Widodo. Lalu muncul pula penilaian bahwa isu PKI merupakan kelanjutan dari isu yang digulirkan kubu Prabowo Subianto pada Pilpres lalu yang ditujukan kepada Joko Widodo.
Tetapi terlepas dari tuduh menuduh yang terjadi, tak bisa tidak, kemunculan diskursus tentang PKI sedikit banyaknya berkaitan dengan pembahasan RUU Haluan Ideologi Pancasila di DPR yang dinilai memiliki kejanggalan. Terdapat cukup banyak peraturan yang menjadi rujukan dan konsiderans untuk RUU HIP ini, namun Tap MPRS XXV/1966 tentang larangan ajaran komunisme dan Marxisme Leninisme tidak disentuh sama sekali sebagai rujukan maupun konsiderans. Tetapi Ketua MPR Bambang Soesatyo menjelaskan meski Tap XXV/1966 itu tak dicantum dalam RUU HIP, UU itu nanti takkan memberi celah bagi komunisme maupun PKI untuk bangkit kembali. RUU HIP justru akan memperkuat Pancasila sebagai ideologi bangsa. RUU itu takkan menafikan keberadaan ketetapan MPRS itu.
Wajar sebenarnya ada kekuatiran, karena sejak lama secara berulang telah bergulir wacana di kalangan beberapa anggota DPR –khususnya dari Fraksi PDIP– untuk menghapuskan Tap MPRS XXV/1966 itu. Sementara itu, PDIP sendiri kerap dipersepsi sebagai partai yang banyak menampung politisi berhaluan kiri.
Bisakah ideologi mati begitu saja?
Apakah benar komunisme sudah menjadi ideologi basi dan telah menjadi ibarat anjing mati? Rontok dalam kekuasaan, mungkin, ditandai bubarnya Uni Soviet, kembali menjadi keping-keping banyak negara seperti semula. Tetapi bisakah ideologi mati begitu saja? Di China daratan, meski sepak terjang dalam kehidupan ekonomi negara itu sudah kapitalistis, tetapi ideologi politik komunis tidak ikut mati. Menurut Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung RI dan kini menjadi pegiat HAM bagi Perserikatan Bangsa Bangsa, ada wacana yang terbuka di dunia internasional tentang perkembangan komunisme, mengenai ideologi, selain mengenai kapitalisme. Terdapat informasi dan pengetahuan baru bahwa komunisme sebagai ideologi saat ini sedang mencari penjelmaan baru melalui tokoh-tokoh cendekiawan dunia seperti Slavoj Žižek, peneliti senior sosiologi di Universitas Ljubljana, Slovenia.
Slavoj Žižek mencanangkan suatu masa depan dengan ideologi baru yang merupakan penjelmaan dari komunisme, namun tanpa bentuk kepartaian atau pelembagaan seperti di masa lampau. Žižek menggunakan filsafat Marxis kontemporer dengan pendekatan kultural, dan menjabarkan diri sebagai kiri radikal yang mengkritisi neo liberalisme. Jadi, memang ada upaya untuk merehabilitasi komunisme di lingkungan cukup terpandang di kalangan intelektual dunia sekarang. “Akan tetapi bila kita tak mengikuti prosesnya dengan cermat, kita tak akan mengerti bahwa proses pencarian itu bukan serta merta merupakan tiruan ideologi komunisme masa lalu.” (Baca juga, Kebangkitan PKI Hanyalah Hoax ? – https://media-karya.com/2018/09/15/kebangkitan-pki-hanyalah-hoax/)
PKI dua kali bangkit kembali
Dan apakah tak ada kemungkinan adanya kebangkitan kembali PKI di Indonesia? Sepanjang sejarah, sebelum Peristiwa 30 September 1965, PKI telah dua kali melakukan pemberontakan yang setelah ditumpas secara teoritis harusnya telah membuatnya mati.
Pemberontakan yang pertama adalah pada tahun 1926-1927 –tatkala PKI baru berusia 6 menuju 7 tahun sejak didirikannya pada 23 Mei 1920– yang sepintas terkesan perlawanan terhadap kaum kolonial. Tetapi, pemberontakan tahun 1926-1927 oleh kalangan perjuangan lainnya kala itu dianggap justru merugikan perlawanan terhadap kolonial secara keseluruhan karena suatu perlawanan seperti itu belum waktunya dilakukan dan hanya akan mengundang penindasan yang lebih besar dari penguasa kolonial Belanda. Setelah kegagalan pemberontakan tahun 1926-1927, tokoh-tokoh PKI yang tidak tertangkap dan atau berhasil melarikan diri ke luar negeri, terpaksa bergerak di bawah tanah, namun tak ada hasil yang signifikan untuk kepentingan partai. Sejak pertengahan 1928 hingga 1930-an dan awal 1940-an praktis PKI menjadi partai bawah tanah dan baru kembali ke permukaan setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Pemberontakan kedua PKI adalah Peristiwa Madiun September 1948 yang bertujuan mendirikan Republik Soviet Indonesia. Berhasil ditumpas oleh tentara Republik Indonesia. Tetapi, meski didesak banyak pihak, Soekarno tak membubarkan PKI. Beberapa tokoh muda PKI, antara lain Aidit, berhasil lolos dan menyembunyikan diri untuk beberapa lama. Ketika suasana ‘anti PKI’ sebagai akibat Peristiwa Madiun 1948 mereda, Aidit berhasil mengisi kekosongan kepemimpinan partai di tahun 1952 dan terbilang berhasil mengibarkan bendera merah komunis nyaris sempurna di Indonesia selama 13 tahun. Terbukti PKI itu liat dan ulet.
LALU terjadi pemberontakan ketiga, Peristiwa 30 September 1965, dan PKI dibubarkan 12 Maret 1966. Setelah berhasil dua kali, apakah PKI bisa bangkit untuk ketiga kali? (media-karya.com/socio-politica.com) #mediakaryaanalisa
Bangsa kita disebut sebagai bangsa pemaaf. Sering kali memaafkan jadi lupa akan kesalahan org. Baru sadar bahwa orang tersebut buat kesalahan yang sama…fimaafkan lagi…lupa…dan bikin salah lagi. Kalau begitu mungkin bukan pemaaf tapi pelupa. Bangsa yang muda tapi pikun? Kalau bukan pikun artinya bangsa yang cemas (anxiety), takut dibilang tidak ramah, tidak memaafkan, tidak sopan, tidak beradab. Kalau gitu sebenarnya kita lebih cenderung masih membekas status inlander yang di cap sebagai kere dan “tempe”.
LikeLike