Tag: TGPF

22 Tahun Dalam Tabir Asap Kerusuhan Mei 1998

DUAPULUH DUA tahun lalu, 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri. Sepekan mendahului momen itu terjadi kerusuhan 13-15 Mei 1998 yang berimpit dengan peristiwa penembakan mahasiswa Universitas Trisakti di Grogol Jakarta 12 Mei. Namun, tabir asap yang menyelimuti kedua peristiwa, hingga kini tetap belum terkuak. Ada berbagai versi mengenai dua peristiwa ini, tetapi tak satu pun yang bisa ditentukan sebagai kebenaran, tak lain karena ada situasi tarik menarik di antara pihak yang sebenarnya diduga terlibat. Dengan demikian, karena kebenaran dalam peristiwa itu belum berhasil dibuat ‘terang benderang’ dengan sendirinya tak pernah ada pihak yang bisa dimintai pertanggunganjawab. Khususnya, dari kalangan jenderal para pengendali keamanan yang ada di latar depan kala itu. Apalagi para pemain belakang layarnya.

Kesimpulan terpenting dari Team Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang diketuai Marzuki Darusman SH mengenai kerusuhan 13-15 Mei 1998 adalah bahwa kerusuhan terjadi karena disengaja. Kerusuhan diciptakan sebagai bagian dari pertarungan politik di tingkat elite. Sementara itu kelompok-kelompok mahasiswa ditempatkan di depan sebagai tameng depan gerakan menjatuhkan Soeharto. Menurut TGPF, terdapat sejumlah “mata rantai yang hilang” (missing link), yaitu hilang atau sukarnya diperoleh bukti-bukti atau informasi yang merujuk pada hubungan secara jelas antara pertarungan antar elite dengan arus massa. Namun, terdapat indikasi yang kuat adanya hubungan semacam itu, terutama di Solo dan sebagian wilayah Jakarta. Continue reading “22 Tahun Dalam Tabir Asap Kerusuhan Mei 1998”

Luka Lama Tentang Jenderal Prabowo dan Para Jenderal ‘Politics in Uniform’

TAK lebih dari 40 hari menjelang Pemilihan Presiden 17 April 2019, medan politik Indonesia diramaikan beredarnya semacam video ‘testimoni’ Jenderal (Purn) Agum Gumelar tentang ‘jejak berdarah’ pelanggaran HAM oleh Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto. Dengan segera manuver Agum Gumelar –yang menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo sejak 18 Januari 2018 ini– tidak bisa tidak, langsung dianggap sebagai bagian dari pertarungan dalam rangka Pemilihan Presiden. Bahkan secara khusus oleh beberapa pihak dianalisis sekaligus sebagai kelanjutan ketidaksenangan pribadi Agum terhadap Prabowo sejak masa kekuasaan Soeharto, karena merasa Prabowo telah mengganjal karir pribadinya. Ganjalan perasaan yang sama dimiliki sejumlah jenderal lainnya terhadap Prabowo Subianto sang menantu Presiden Soeharto.

Salah seorang Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengingatkan agar Agum tak menjadikan kasus penghilangan aktivis 1998 semata untuk kepentingan Pilpres 2019. Tetapi, Agum hendaknya memberi keterangan kepada Kejaksaan Agung yang sejak lama sudah menerima berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat 1998 dari Komnas HAM.

Di mana kuburan para aktivis hilang itu?

Dalam video testimoni –yang diakui Agum direkam dari suatu pertemuan di Bandung– sang Jenderal mengatakan dirinya mengetahui nasib para aktivis 1998 yang menurutnya dihilangkan secara paksa oleh Tim Mawar Kopassus di bawah komando Mayor Jenderal Prabowo Subianto. Agum Gumelar mengungkapkan pernah bertemu dengan anggota Tim Mawar pelaku penculikan dan penghilangan paksa para aktivis. Dalam pertemuan “dari hati ke hati” dengan mereka, “di sinilah saya tahu bagaimana matinya orang-orang itu, di mana dibuangnya,” demikian CNN Indonesia mengutip Agum. “Saya tahu.” Continue reading “Luka Lama Tentang Jenderal Prabowo dan Para Jenderal ‘Politics in Uniform’”

Tiga Jenderal di Kancah Peristiwa Mei 1998

ADA tiga jenderal yang nama dan perannya tak kunjung henti dari tahun ke tahun senantiasa dikaitkan dengan Peristiwa Mei 1998. Jenderal pertama, Jenderal Wiranto Menhankam/Pangab dan yang kedua Letnan Jenderal Prabowo Subianto Panglima Kostrad di tahun 1998 itu. Lalu yang ketiga, Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsuddin, penanggung jawab keamanan ibukota dalam kedudukannya di tahun yang sama selaku Panglima Kodam V Jaya. Nama mereka bertiga disangkutpautkan berkepanjangan dengan beberapa bagian tak nyaman dari peristiwa.

TGPF yang diketuai Marzuki Darusman SH, menyimpulkan bahwa dalam Peristiwa Mei 1998, terutama di ibukota, banyak sekali pihak yang bermain di semua tingkat. “Mereka mendapatkan keuntungan bukan saja dari upaya secara sengaja ‘menumpangi’ kerusuhan, melainkan juga dengan cara tidak melakukan tindakan apa-apa.” Dalam konteks inilah menurut TGPF, “ABRI dianggap bersalah karena ‘tidak cukup bertindak’ untuk mencegah terjadinya kerusuhan, padahal memiliki kewenangan dan sarana untuk itu.” Di titik ini, tentu Jenderal Wiranto disorot pada tingkat nasional –karena peristiwa serupa terjadi juga di beberapa daerah di luar ibukota. Dan, sebatas untuk ibukota, fokus terarah pada Mayor Jenderal Sjafrie Sjamsuddin, yang kelak masih sempat mengalami promosi karir. Naik pangkat sebagai Letnan Jenderal, dan menjadi Wakil Menteri Pertahanan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Continue reading “Tiga Jenderal di Kancah Peristiwa Mei 1998”

Jenderal Wiranto Tahun 1998

SEBELUM Presiden Soeharto mengundurkan diri 21 Mei 1998, terlebih dahulu Jakarta diguncang Tragedi Trisakti dan rangkaian kerusuhan 13-15 Mei. Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk Komnas HAM untuk Peristiwa Mei 1998, menyimpulkan sebab pokok peristiwa kerusuhan selama 3 hari itu adalah terjadinya persilangan ganda antara dua proses pokok. Pertama, proses pergumulan elite politik yang bertalian dengan masalah kelangsungan kekuasaan kepemimpinan nasional. Dan kedua, proses pemburukan ekonomi moneter yang cepat.

Dalam proses pergumulan elite politik itu, ada pemeran-pemeran kunci di lapangan pada waktu kerusuhan. Peristiwa kerusuhan itu adalah puncak dari rentetan kekerasan yang terjadi dalam berbagai peristiwa sebelumnya, seperti penculikan yang sesungguhnya sudah berlangsung lama dalam wujud kegiatan intelijen yang tak dapat diawasi secara efektif. Disusul kekerasan terhadap mahasiswa Trisakti. Penembakan mahasiswa di Trisakti, dianggap TGPF yang diketuai Marzuki Darusman SH, sebagai penciptaan faktor martir untuk menjadi triggering factor. Continue reading “Jenderal Wiranto Tahun 1998”