Golkar Masa Awal: Sebuah Pendobrakan Kebekuan Politik

SEBAGAI kekuatan politik, Golongan Karya tak serta merta lahir sebagai partai politik sejak mula. Golkar tampil sebagai Partai Golongan Karya, pertama kali saat akan menjadi peserta Pemilihan Umum 1999, pasca Soeharto. Waktu itu Golkar memiliki barisan kepemimpinan yang terdiri tokoh-tokoh seperti Akbar Tandjung, Marzuki Darusman dan Ginandjar Kartasasmita. Sudharmono SH –mantan Ketua Umum DPP Golkar 1983-1988 yang pernah menjadi Wakil Presiden RI– sempat menyebut ketiganya sebagai satu triumvirat tangguh, sebelum kemudian terjadi beberapa kesalahapahaman di antara mereka bertiga.

Namun menelusur kembali ke beberapa dekade lampau, Golkar atau Golongan Karya lahir 20 Oktober 1964, sebagai kekuatan politik yang mulanya menamakan diri Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golongan Karya). Sepanjang catatan yang ada, di awal pembentukannya, Sekber Golkar mempunyai 61 organisasi anggota. Dalam buku 20 Tahun Golkar –Oktober 1984– disebutkan “Benih Golkar sejak semula telah ada dalam kandungan Undang-Undang Dasar 1945 yang berdasarkan Pancasila.” Kendati tak secara eksplisit disebut sebagai Golongan Karya, namun dalam kaitan penataan mekanisme perwakilan dalam MPR menurut UUD 1945, penamaan golongan-golongan adalah berdasarkan pemikiran sebagai perwakilan dari kelompok-kelompok kekaryaan. Penjelasan Pasal 2 UUD 1945 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan golongan-golongan adalah badan-badan seperti koperasi, serikat kerja, dan lain-lain badan kolektif.

GERAKAN MAHASISWA 1966. Arus masuk generasi muda 1966 ke dalam Golkar kala itu bukannya tanpa kritik. Salah satu yang paling disorot adalah kelompok 1966 dari Bandung.

Jumlah 61 organisasi anggota Golkar sempat berkembang terus hingga mencapai 291 organisasi. Tetapi beberapa di antaranya  diketahui sebenarnya ternyata punya tali afilisasi dengan partai-partai tertentu. Belakangan, melalui proses pemurnian, jumlah ini menjadi hanya 201 organisasi, untuk akhirnya disederhanakan menjadi 7 Kelompok Induk Organisasi atau Kino. Tujuh Kino itu adalah SOKSI, KOSGORO, MKGR, Gakari, Ormas Hankam, Gerakan Pembangunan dan Organisasi Profesi. Ketua Umum pertama Sekber Golkar adalah Brigadir Jenderal Djuhartono.

Kelahiran Golkar itu sendiri pada hakekatnya adalah sebuah pendobrakan terhadap kebekuan politik masa Nasakom yang untuk sebagian terjulur juga dari masa-masa sebelumnya. Dalam masa liberal maupun kemudian masa demokrasi terpimpin Soekarno, kekuatan-kekuatan sosial politik yang ada tak mampu berfungsi sebagai alat demokrasi. Beberapa ideologi kiri maupun kanan yang bisa membahayakan Pancasila sebagai dasar negara tak tercegah kehadirannya untuk mencipta kebekuan idealisme di satu sisi dan akrobatik politik pragmatis pada sisi lain. Kehidupan kekuatan sosial politik yang berdasarkan persaingan ideologi, merupakan sumber berbagai keconcangan politik dan bahkan pemberontakan. Termasuk di sini, Peristiwa 30 September 1965 yang melibatkan PKI, yang menjadi awal dari akhir kekuasaan Soekarno. Kenyataan sejarah itulah yang membangkitkan kesadaran tertentu di antara sejumlah kaum inteletual sipil maupun perwira intelektual yang banyak mengalami persentuhan pemikiran satu sama lain. Terutama mengenai perlunya pembaharuan dalam kehidupan politik, yang berupa pembaharuan struktur politik, dengan merobah orientasi kepada ideologi golongan menjadi orientasi kepada program perjuangan kesejahteraan.

Tentara yang faktual menjadi kekuatan paling terorganisir saat itu di luar PKI, mengambil inisiatif maju lebih ke depan dengan melakukan take over beberapa gagasan kaum intelektual, untuk perubahan orientasi ideologi menuju orientasi program tersebut. Menyehatkan kehidupan politik, melalui penyederhanaan jumlah, selain mendorong partai-partai politik meninggalkan ideologi selain ideologi Pancasila. Tumbuh dan berkembangnya Golongan Karya, menjadi pemacu pembaharuan kehidupan politik. Golongan Karya sendiri pun dalam dirinya senantiasa memacu proses konsolidasi sebagi konsekuensi memposisikan diri sebagai pembaharu. Sebagai salah satu tindakan permulaan, adalah berupa pemurnian diri dari perpanjangan tangan partai-partai melalui serikat-serikat atau anak organisasinya yang berselubung kekaryaan. Proses ini berlangsung di masa kelahiran Sekber Golkar hingga 1965 namun harus terhenti karena tercurahnya perhatian kepada tindak lanjut penanganan Peristiwa 30 September 1965. Dan baru bisa berlanjut lagi pasca Soekarno, khususnya sekitar dua tahun menjelang rencana penyelenggaraan Pemilihan Umum 1971, yaitu di penghujung 1969.

Dalam konsolidasi lanjutan itu, Sekber Golkar lebih ketat mensyaratkan organisasi yang bisa menjadi anggota haruslah yang tidak berafiliasi kepada partai. Dan, melakukan koordinasi dengan organisasi-organisasi anti PKI. Meminjam Francois Raillon dalam buku hasil penelitiannya Les e’tudiants Indone’sie’ns et l’Ordre Noveau (edisi Indonesianya diterbitkan LP3ES, 1985) Sekber Golkar menjelma sebagai federasi kelompok-kelompok sosio-professional yang berbeda-beda: petani, buruh, perempuan, intelektual, seniman, agamawan dan lain-lain.

TIGA KETUA UMUM PERTAMA GOLONGAN KARYA. Djuhartono, Suprapto Sukowati, Amir Murtono.

Sekber Golkar tampil menghadapi Pemilihan Umum 1971 –pemilihan umum kedua setelah pemilihan umum 1955– dengan membawakan diri sebagai pembaharu dengan ideologi Pancasila. Menjelang Pemilihan umum 1971, Golkar berhasil mengajak sejumlah generasi muda dari kalangan Angkatan 66 dan kalangan cendekiawan yang independen untuk bergabung ke dalam Golkar. Bukan hanya sekedar pendukung, tetapi membuka pintu bagi tokoh-tokoh kelompok itu ke dalam tubuh organisasi, terutama untuk tampil sebagai calon-calon legislatif. Sebelumnya, lewat mekanisme pengangkatan, sejumlah tokoh kesatuan aksi dari Jakarta maupun Bandung masuk DPR-GR sebagai anggota Fraksi Karya. Kelompok generasi muda dan cendekiawan itu adakah kelompok yang tak tertarik kepada pola ideologistis partai-partai, sehingga enggan bergabung. Pada sisi lain, mereka memang sedang dalam proses pencarian wadah yang mampu menampung dan menyalurkan aspirasi demokratis mereka dan aspirasi pembaharuan.

Arus masuk generasi muda 1966 ke dalam Golkar kala itu bukannya tanpa kritik. Salah satu yang paling disorot adalah kelompok 1966 dari Bandung, dikenal sebagai Kelompok Tamblong Dalam, yang memiliki sebuah media terkemuka Mingguan Mahasiswa Indonesia. Kelompok inilah yang telah dijadikan fokus penelitian Francois Raillon seorang akademisi Perancis. Selain kelompok Jakarta seperti Cosmas Batubara, Sofyan Wanandi, David Napitupulu dan kawan-kawan yang telah lebih dulu berada di jantung Golkar, adalah kelompok Tamblong Dalam ini yang telah mengaruskan banyak calon legislatif untuk Golkar melalui Pemilu 1971. Rahman Tolleng yang dianggap tokoh utama kelompok ini, menurut Raillon, mempunyai tesis: Golkar merupakan satu kekuatan baru yang mendukung usaha-usaha modernisasi dan pembangunan, yang berbeda dengan partai-partai politik yang ada dan tersisa setelah Peristiwa 30 September 1965. Harus masuk ke dalam untuk melakukan struggle from within.

Salah satu pengecam paling keras adalah Arief Budiman tokoh gerakan Golongan Putih. Mingguan Mahasiswa Indonesia yang pernah mendapat pujian para akademisi Cornell University sebagai koran paling militan dan sangat kritis terhadap praktik-praktik buruk dari kekuatan Orde Baru –keras menyerang korupsi dan kesewenang-wenangan di kalangan ABRI– dianggap telah mengkhianati missinya sendiri. Berpindah dari kegiatan sosial kontrol belaka menjadi berpihak. Berobah dari suratkabar menjadi pamflet. Mingguan Mahasiswa Indonesia menjawab dengan mengingatkan bahwa dirinya tetaplah journal of ideas. Tak pernah tak berpihak pada yang dianggap baik dan benar. Dan memang di belakang hari, media generasi muda itu kembali membuktikan sikap kritisnya terhadap penyimpangan kekuasaan.

Terlepas dari kritik itu, masuknya makin banyak kalangan cendekiawan dan generasi muda yang dinamis ke dalam Golkar, merupakan pula faktor tersendiri yang pada gilirannya makin memperkuat aspirasi pembaharuan dan pola orientasi kepada program di tubuh Sekber Golkar. Dan meski ada tudingan kecurangan, melalui Pemilu 1971 Golkar berhasil mendobrak perkiraan banyak orang, memenangkan 34 juta dari 57 juta suara pemilih yang sah. Kemenangan Golkar ini seakan mempercerah perspektif kehidupan politik baru dan memberi harapan bagi proses pembaharuan kehidupan secara lanjut. Tapi harus diakui pembaharuan yang terjadi, tidaklah juga seperti yang semula menjadi harapan kaum muda dan cendekiawan pembaharu.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s