Tag: Ginandjar Kartasasmita

74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (4)

Lakon Pewayangan di Wilayah Politik Abu-abu

SETELAH ‘pembersihan’ di Jakarta, pasca Peristiwa 30 September 1965, benturan berdarah terjadi secara berkelanjutan di berbagai penjuru tanah air dalam pola ‘lebih dulu membantai, atau dibantai’, terutama di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Di Jawa Tengah, massa PKI memilih untuk ‘mendahului daripada didahului’. Tetapi di tempat lain, ‘didahului’, dan menjadi sasaran pembasmian berdarah-darah, mencapai angka korban jutaan. Sebagai partai, PKI sudah patah dan hancur. Satu babak pertarungan yang berurat berakar dalam sejarah kekuasaan Indonesia sejak awal kemerdekaan –dan bahkan telah bermula jauh sebelumnya– seakan telah selesai.

Babak kedua lalu dimulai. Antara Soekarno dengan kelompok jenderal yang dipimpin Soeharto. Pertarungan berlangsung bagaikan dalam lakon pewayangan, berlangsung di wilayah yang abu-abu dengan sejumlah orang dengan peran dan sikap yang juga abu-abu. Kelompok mahasiswa yang kemudian terlibat di tengah kancah pertarungan kekuasaan babak kedua ini, setelah turut serta dalam gerakan anti komunis di bagian yang tak berdarah pada babak pertama, menampilkan sikap hitam-putih, dan karenanya kerap luput mengenali peran abu-abu yang berlangsung di sekitar mereka, seperti yang misalnya dijalankan oleh sejumlah besar jenderal dan politisi sipil. Ambivalensi dan sikap opportunistik adalah sikap-sikap yang banyak tercermin dalam perilaku politik pada masa perubahan tahun 1965-1966 hingga tahun 1970. Semula ciri itu dikenali pada kelompok politisi sipil yang berasal dari dunia kepartaian Nasakom, tetapi pada akhirnya juga diperlihatkan oleh kalangan tentara dalam kancah politik kekuasaan. Tak kurang dari Soeharto sendiri, karena kepentingan taktisnya, kerapkali dipersepsi bersikap mendua terhadap Soekarno. Ada yang mengaitkannya dengan sikap mikul dhuwur mendhem jero yang dipegangnya. Continue reading “74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (4)”

Golkar, Sejarah Tak Menentukan ‘Nasib’ Politik

DALAM dua dekade pasca Soeharto hingga kini, pasang surut Partai Golkar sebagai penerus sejarah Golongan Karya yang lahir 20 Oktober 1964, lebih didominasi momen-momen surut. Situasi terakhir ini, jelas berbeda dengan tiga dekade sebelumnya, saat Golkar menempati posisi sebagai kekuatan pengarah jalannya kehidupan politik Indonesia. Menjadi besar bersama Soeharto namun ikut tergerus dan terdegradasi posisi dominannya seiring kejatuhan Soeharto. Antara lain karena tak berlanjutnya upaya kemandirian Golkar yang dirintis pada periode Sudharmono-Sarwono Kusumaatmadja (1983-1988) ke periode-periode berikut. Kebuntuan jalan kemandirian, menguat khususnya di masa Harmoko (1993-1998) yang tepat berada di tengah momen kejatuhan Soeharto. Teristimewa oleh menguatnya politik akrobatik dan relasi-relasi subjektif di tubuh Golkar kala itu.

Pengertian kemandirian Golkar di sini, adalah peletakan kekuatan Golkar pada pengorganisasian yang baik, serta faktor kualitas dan soliditas kader. Dan, bukan dengan rekayasa artifisial topangan institusi negara –seperti tentara, polisi dan birokrasi– yang dipolitikkan. Pengertian kemandirian ini tentu dan semestinya berlaku juga untuk partai-partai manapun, sekarang maupun nanti. Continue reading “Golkar, Sejarah Tak Menentukan ‘Nasib’ Politik”

Golkar Masa Awal: Sebuah Pendobrakan Kebekuan Politik

SEBAGAI kekuatan politik, Golongan Karya tak serta merta lahir sebagai partai politik sejak mula. Golkar tampil sebagai Partai Golongan Karya, pertama kali saat akan menjadi peserta Pemilihan Umum 1999, pasca Soeharto. Waktu itu Golkar memiliki barisan kepemimpinan yang terdiri tokoh-tokoh seperti Akbar Tandjung, Marzuki Darusman dan Ginandjar Kartasasmita. Sudharmono SH –mantan Ketua Umum DPP Golkar 1983-1988 yang pernah menjadi Wakil Presiden RI– sempat menyebut ketiganya sebagai satu triumvirat tangguh, sebelum kemudian terjadi beberapa kesalahapahaman di antara mereka bertiga. Continue reading “Golkar Masa Awal: Sebuah Pendobrakan Kebekuan Politik”