SETELAH insiden Mako Brimob yang beberapa hari kemudian terangkai dengan teror bom bunuh diri terhadap beberapa gereja di Surabaya, Minggu 13 Mei 2018, kecemasan berskala nasional –karena efek rasa takut akan terorisme– meningkat tajam. Terorisme, kata Al Gore –mantan Wakil Presiden dan sekaligus mantan kandidat Presiden AS– adalah puncak dari pemanfaatan yang salah di atas ketakutan masyarakat –‘the ultimate misuse of fear’–dengan tujuan politik. Tapi ternyata, pengelolaan rasa takut masyarakat bukan hanya dilakukan kelompok-kelompok teroris, melainkan juga dilakukan oleh banyak kalangan kekuasaan di dunia, dan dikenal sebagai the politics of fear.
Rasa takut dan pengelolaan rasa takut itu, selalu hadir dalam politik Amerika. Akhirnya menjelma sebagai the politics of fear yang dalam hal tertentu dapat disebutkan sebagai politik menakut-nakuti rakyat. Seringkali sekaligus untuk membangkitkan kemarahan rakyat terhadap satu wujud ‘musuh’ –yang bisa betul-betul ada atau sebaliknya hanya dibesar-besarkan melalui stigmatisasi bahkan samasekali hoax. Menurut mantan Presiden AS Richard M. Nixon, ‘people react to fear, not love’. Rakyat lebih bereaksi terhadap ketakutan, bukan kasih. “Fear is present constantly ini American politics,” kata sejarawan David Bennet yang menulis buku The Party of Fear: The American Far Right From Nativism to the Militia Movement. Dalam kontestasi politik Amerika sejak Peristiwa 11 September tahun 2001, ancaman terorisme oleh Muslim fundamentalis selalu jadi topik utama. Negara-negara sumber kelompok fundamentalis itu disebut rogue states –negara kaum villain dengan kecenderungan serba merusak. Pemerintahan Presiden Bush misalnya memberi label seperti itu kepada Iran, Irak dan juga Korea Utara. Negara-negara itu dianggap sebagai poros setan yang berniat menghancurkan Amerika.
Ketika kepada publik Amerika sampai berita bahwa sebenarnya Penyerangan Nine Eleven itu sudah diketahui oleh intelijen Amerika namun ada pembiaran –padahal semestinya ditangkal agar tak menjatuhkan korban– kepercayaan terhadap pemerintah langsung merosot. Pemerintah dianggap sengaja melakukan pembiaran itu untuk memperkuat pola the politics of fear. Dalam kenyataan, the politics of fear itu kemudian menjadi-jadi, digunakan bukan hanya dalam kaitan keamanan US homeland tetapi juga menjalar ke aspek kultural serta kehidupan sehari-hari dan seringkali terkesan rasis dan diskriminatif. Akademisi Amerika banyak membahas the politics of fear ini. The New York Times 18 Juli 2017 tak ketinggalan menulis editorial dengan judul itu. Ini menunjukkan fenomena the politics of fear ini memang dianggap sebuah masalah.

Saat menghadapi kampanye Republikan yang sangat sarat kandungan the politics of fear, Barrac Obama sampai merasa perlu menyerukan rejecting the politics of fear dan mengintrodusir the politics of hope. Dalam praktek kala itu, selain Islam radikal, the politics of fear juga menempatkan sumber bahaya-bahaya dalam wujud kaum imigran Mexico, keturunan Spanyol, keturunan Asia serta Afro American. Di bawah pemerintahan Donald Trump sekarang ini, retorika tentang bahaya yang akan menghancurkan ‘kemurnian’ kulitputih Amerika di sana sini tetap digunakan, bahkan dalam hal tertentu lebih ekstrim. Politik anti imigran Mexico maupun anti Afro American menggunakan narasi kebencian bahwa ‘mereka akan merebut lapangan kerjamu’ –take your jobs. Kebijakan affirmative terhadap Afro American, dicitrakan selain merampas lapangan kerja juga akan merebut hegemoni politik.
Sebenarnya, the politics of fear itu secara tradisional adalah senjata utama penguasa-penguasa otoriter dan diktator. Kadangkala para penguasa otoriter memerlukan mendisain peristiwa teror dan semacamnya untuk menimbulkan ketakutan yang luas di kalangan rakyat. Lalu, turun tangan menumpasnya, guna memperlihatkan fungsi dan kemampuan penguasa untuk melindungi, sekaligus menciptakan ketergantungan rakyat terhadap perlindungan rezim. Namun senjata tradisional itu tak jarang kemudian juga dipinjam dan dicontoh para penguasa yang mengatakan diri akan menegakkan demokrasi atau bahkan yang sudah dianggap negara demokratis, seperti di AS maupun di beberapa negara Eropa dan Australia. Ruth Wodak, 2015, menulis buku berjudul The Politics of Fear. Di Australia misalnya, selain adanya tradisi tak menyukai kehadiran kaum imigran, sikap alergi kepada kaum ‘pengungsi’ (refugee) juga meluas. Berkali-kali pemerintah Australia tanpa ampun menghalau para pengungsi yang datang dari laut itu kembali ke laut.
Fenomena penggunaan the politics of fear juga ada di Indonesia, baik di masa Soekarno maupun di masa Soeharto, dan mungkin juga pada era presiden-presiden berikutnya. Ditandai oleh semboyan-semboyan atau stigmatisasi semacam antek Nekolim, kontra revolusi, ekstrim kiri, ekstrim kanan, bahaya laten komunis, Negara Islam, anti pembangunan, sampai kepada penggunaan berlebihan tudingan anti Pancasila, intoleransi, Islam fundamental dan radikalisme. Filsuf Romawi yang juga adalah guru retorika, Lactantius, mengatakan “saat ketakutan hadir, sikap bijak akan hilang.” Ini berlaku bagi rakyat maupun bagi kalangan penguasa. Penguasa Republik kita saat ini telah memiliki sebuah perangkat undang-undang anti terorisme yang memberi kewenangan begitu luas. Sikap bijak dalam menggunakan –tanpa mengurangi ketegasan dan sikap profesional– menjadi penting. Tak perlu menggunakan wewenang undang-undang itu berbarengan dengan stigmatisasi yang tak bisa tidak mengandung nuansa the politics of fear, politik kekuasaan yang berkonotasi menakut-nakuti demi mencapai tujuan. Jangan mengamalkan politics first, facts second –dalam pengertian, kepentingan politik dan kekuasaan lebih utama daripada kebenaran. (media-karya.com)
One thought on “Terorisme dan Fenomena The Politics of Fear”