Ketika Presiden Memerintahkan Pemecatan Dosen

PEMECATAN dosen perguruan tinggi negeri di Indonesia dengan alasan bermuatan kepentingan politik kekuasaan bukan peristiwa sehari-hari, namun tidak langka. Menjelang Ramadhan dan Idul Fitri yang baru lalu, pemecatan dan atau ‘pemberhentian sementara’ terjadi di beberapa perguruan tinggi negeri terkemuka. Berturut-turut di Universitas Diponegoro, Institut Teknologi 10 November Surabaya, selain di Universitas Gajah Mada. Dua di antara perguruan tinggi negeri itu termasuk di antara tujuh PTN yang kata salah satu direktur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah terpapar paham radikalisme. Lainnya adalah Universitas Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Airlangga dan Universitas Brawijaya. Bagi sebagian civitas academica, khususnya di tujuh PTN tersebut, ini merupakan stigmatisasi yang memerlukan klarifikasi lanjut. Sebelumnya, BNPT melakukan penggrebegan di Universitas Riau terhadap beberapa terduga perakit bom.

Paling menarik perhatian adalah pemberhentian Prof Suteki dari Universitas Diponegoro, yang adalah pengajar Pancasila selama tak kurang dari 24 tahun. Ia ditindaki karena menjadi saksi ahli dalam kasus peradilan Hizbut Tahrir Indonesia, sebuah organisasi yang dituduh memperjuangkan khilafah –yang dengan sintaksis sederhana disebut dengan sendirinya anti Pancasila. Untuk saat ini, sikap anti Pancasila cenderung dikategorikan –tepatnya, ditafsirkan– kejahatan ‘politik’ berat. Tapi terlepas dari itu, peristiwa ‘pemecatan’ di Universitas Diponegoro ini mengingatkan peristiwa hampir serupa di Universitas Padjadjaran tahun 1962 yang menimpa Professor Mochtar Kusumaatmadja SH.

PADA lima tahun (terakhir) masa kekuasaannya yang mutlak, 1960-1965, Presiden Soekarno membekali diri dengan sejumlah konsep retoris. Terhimpun dalam Panca Azimat Revolusi, termasuk dalam Tubapin (tujuh bahan pokok indoktrinasi). Azimat pertama adalah Nasakom, yang mengatasi Pancasila sebagai azimat kedua. Azimat ketiga, Manipol USDEK, azimat keempat dan kelima adalah Trisakti dan Berdikari. Manipol adalah singkatan dari Manifesto Politik yang dicetuskan 1959 setelah dekrit 5 Juli 1959. USDEK adalah penyingkatan dari UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Menolak Panca Azimat dan ‘bebal’ terhadap Tubapin, apalagi anti Nasakom dan spesifik anti Komunis, dikategorikan sebagai musuh revolusi.

SOEKARNO PADA SAMPUL ‘TITITIK SILANG JALAN KEKUASAAN TAHUN 1966’. Dalam lima tahun (terakhir) masa kekuasaannya yang mutlak, 1960-1965, Presiden Soekarno membekali diri dengan sejumlah konsep retoris. Terhimpun dalam Panca Azimat Revolusi, termasuk dalam Tubapin (tujuh bahan pokok indoktrinasi). Azimat pertama adalah Nasakom, yang mengatasi Pancasila sebagai azimat kedua. Azimat ketiga, Manipol USDEK, azimat keempat dan kelima adalah Trisakti dan Berdikari. Foto head, Prof Mochtar Kusumaatmadja (download, hukumonline.com)

Pemecatan Professor Mochtar Kusumaatmadja 5 Nopember 1962 dari jabatannya sebagai Lektor Kepala merangkap Dekan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, bermula dari aksi protes dan tuntutan pemecatan Mochtar yang dilancarkan tiga organisasi extra universiter –GMNI, CGMI dan Germindo. Aksi-aksi dan tuntutan tiga organisasi kiri inilah yang kemudian sampai laporannya ke tangan Soekarno. Menurut laporan itu, dalam serangkaian kuliah dan kesempatan lain, sang professor telah menghina Soekarno, mengecam Manipol USDEK dan mengejek Jubir Usman (Juru Bicara Usdek Manipol) Ruslan Abdulgani. Konon, Mochtar memberikan penilaian bahwa pemimpin India, Nehru, lebih berkualitas dan lebih berpengalaman dalam politik luar negeri dibandingkan Soekarno. Menurut Mochtar sendiri, ucapannya tak lebih dari “Bung Karno tak bisa dibandingkan dengan Nehru.” Suatu pernyataan yang tak memuat perbandingan kualitatif antara keduanya dan tak menyimpulkan mana yang lebih baik. Tapi Mochtar tak mengelak dirinya memang bersikap amat kritis terhadap indoktrinasi Manipol-Usdek pada waktu itu. Sedangkan ucapan yang kemudian dianggap ejekan dan penghinaan kepada Ruslan yang juga adalah Menteri Koordinator Hubungan dengan Rakyat, diucapkannya setelah sang menteri berceramah mengenai Manipol USDEK di Universitas Padjadjaran, dan didengar beberapa orang.

Bahwa Mochtar pernah mengeluarkan beberapa komentar mengenai Soekarno maupun Ruslan, beberapa pengajar Universitas Padjadjaran menyatakannya sebagai tak mengandung penghinaan apa pun. Bahkan, beberapa mengatakan tidak benar Mochtar pernah mengucapkan komentar dan penilaian dalam konteks yang patut dipersalahkan. Mochtar tak bisa dianggap menghina Soekarno maupun Ruslan. Kuliah-kuliahnya sebagai ahli hukum internasional, kalaupun menyentuh Manipol Usdek, adalah kuliah-kuliah yang secara akademis bisa dipertanggungjawabkan dan samasekali tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang menyalahi dan bisa disimpulkan anti Manipol-Usdek. Pemecatan Mochtar dilakukan Menteri PTIP (Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan) atas perintah  langsung Presiden Soekarno yang sedang berada di Tokyo.

Ketika terjadi pemecatan, giliran mahasiswa non kiri yang melakukan aksi. Pemecatan itu cukup menghebohkan masyarakat, namun umumnya merasa tak berdaya, dan karenanya kebanyakan tak dapat berbuat apa-apa. Lalu tampil kelompok aktivis ‘bawah tanah’ yang bersama beberapa kelompok mahasiswa, mengisi ruang kosong ketidakberdayaan masyarakat dengan menggerakkan aksi protes corat-coret dan penyebaran pamflet. Pamflet-pamflet yang masuk sampai ruang kuliah sejak pagi hari, menyerang trio GMNI-CGMI-Germindo sebagai tukang fitnah. Bukan saja membela Mochtar, pamflet itu dengan berani bahkan menyerang dan mengecam langsung rezim Soekarno. Lebih dari sekedar reaksi, memang kelompok mahasiswa itu –yang didukung beberapa pengajar perguruan tinggi– sejak lama telah menempatkan agenda perlawanan langsung kepada Soekarno, meskipun di sana-sini masih dilakukan cukup berhati-hati. Setelah itu, gencar muncul selebaran-selebaran yang mengupas sejumlah kekeliruan Soekarno dalam memimpin negara. Tulisan-tulisan dalam selebaran itu cukup berkualitas. “Aksi protes terhadap pemecatan Professor Mochtar adalah percobaan kecil sebagai bagian perlawanan mahasiswa Bandung terhadap Soekarno,” ujar seorang tokoh mahasiswa di kemudian hari dalam sebuah wawancara.

Menurut Mingguan Mahasiswa Indonesia 3 Juli 1966 –tatkala memberitakan keluarnya keputusan Deputi Menteri PTIP merehabilitasi Mochtar– tindakan pemecatan Mochtar di tahun 1962 itu adalah tindakan sewenang-wenang, yang diambil tanpa bukti-bukti yang sah dan tanpa proses pengadilan yang sah. Presiden Soekarno dalam kawat pribadinya dari Tokyo kala itu hanya menyebutkan “menurut laporan dari beberapa pihak, Professor Mochtar Kusumaatmadja dalam sikap dan kuliahnya melakukan sesuatu hal yang seharusnya tidak boleh diperbuat”. Tindakan sewenang-wenang itu telah menimbulkan reaksi dalam masyarakat, khususnya di kalangan mahasiswa dan cendekiawan Bandung. Tentu saja, Soekarno yang per saat itu merasa kuat, tidak mengindahkan protes tersebut. Namun dengan peristiwa itu, ia menambah panjang daftar penentang kekuasaannya. (Disarikan dari bukuTitik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966’/media-karya.com)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s