PEMILIHAN Kepala Daerah serentak 27 Juni 2018 kemarin, dalam batas tertentu menampilkan beberapa perspektif politik baru, yang untuk sebagian menguatkan pra kesimpulan dari sejumlah analisis sebelumnya. Salah satu kesimpulan adalah faktor ketokohan –khususnya dalam konteks prestasi dan bukan terkait mitos dan kesetiaan sempit maupun godaan money politic– lebih menjadi daya tarik bagi para pemilih daripada faktor partai pendukung. Beberapa ‘hasil’ Pilkada –meski masih berdasarkan quick count– mematahkan asumsi berlebihan tentang dominasi partai dan kepartaian sebagai faktor dalam meraih suara rakyat. Dan bahwa angka raihan suara yang hampir lima tahun sebelumnya diperoleh dalam pemilu lampau sebenarnya tidak relevan dijadikan sebagai pegangan dalam pemilu berikutnya yang akan datang.
Selain itu, suatu formula koalisi yang bisa bersifat dan berlaku nasional, masih serba acak karena kepentingan pragmatis daerah per daerah begitu berbeda-beda. Tapi mungkin saja, memang lebih baik bila pembentukan koalisi dibiarkan saja cair dan lebih tergantung pada persamaan program (yang masuk akal) daripada persamaan yang berbau ideologis atau ‘fanatisme’ dan ‘mitos’ (hasil mitologisasi) tertentu.
Pemilihan kepala daerah serentak 27 Juni 2018 ini adalah yang ketiga setelah gelombang pertama Desember 2005 dan gelombang kedua Februari 2017. Direncanakan, setelah ini akan ada secara berturut-turut Pilkada gelombang keempat 2020, kelima 2022, keenam 2023 sebelum menuju Pilkada ketujuh serentak secara nasional pada 2027. Setelah Pilkada 27 Juni akan ada Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden yang akan diselenggarakan serentak pada 17 April 2019.

Dengan dua pemilihan umum serentak ini dalam satu hari, ‘mau tak mau’ hak partai-partai untuk mencalonkan Presiden 2019 by design dicarikan alas pada hasil pemilihan umum legislatif 2014. Artinya, Presiden yang akan datang untuk periode 2019-2024 secara formal tak berkaitan tali temali dukungan atau mayoritas kerjanya di DPR dengan Pemilu terbaru, melainkan berdasarkan hasil pemilu lima tahun sebelumnya. Suatu situasi yang menurut sejumlah pengamat dan akademisi adalah janggal, tidak logis dan agak ‘bodoh’, dikaitkan dengan ilmu ketatanegaraan. Bagaimana misalnya, bila partai-partai koalisi yang mendukung pencalonan Ir Joko Widodo untuk posisi Presiden 2019-2024 ternyata kalah dalam raihan suara dengan partai-partai di luar koalisi pendukung? Atau secara ekstrim ada di antaranya yang menjadi almarhum? Tapi sementara itu, misalnya, Joko Widodo berhasil memperoleh raihan terbanyak suara rakyat secara langsung? Apa yang akan terjadi? Terjadi dualisme antara rakyat terbanyak –berdasarkan hasil pemilihan presiden secara langsung– dengan partai-partai pemenang pemilu legislatif yang juga berdasarkan suara rakyat.
Banyak pihak –termasuk Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo– yang menyebut Pilkada serentak 27 Juni 2018 ini adalah Pilkada rasa Pilpres. Betulkah? Mungkin ya, mungkin tidak. Bila toh dikaitkan, maka, baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto –dua tokoh yang sejauh ini disebut sebagai calon presiden untuk 2019– belum memiliki jaminan kemenangan di tahun 2019. Di tiga daerah jangkar yang merupakan lumbung pemilih terbesar, tak mudah mengaitkan kemenangan tiga pasang calon gubernur/wakil gubernur pada Pilkada 27 Juni sebagai jaminan untuk Jokowi maupun Prabowo.
Di Jawa Barat menurut quick count pemenang adalah Ridwan Kamil-Uu dengan kemenangan hanya pada kisaran 30-an persen yang tak beda jauh dengan pasangan Sudradjat-Syaikhu dan Dedi-Dedi yang masing-masing memperoleh suara sekitar 25 persen. Pendukung Sudradjat-Syaikhu diprediksi cenderung ke Prabowo seperti halnya pada Pilpres 2014. Sementara itu, pendukung Tb Hasanuddin-Anton Charliyan yang di kisaran 10 persen jelas ke Joko Widodo. Tapi pendukung dua pasangan lainnya belum bisa diprediksi mayoritas akan ke mana, andaikanpun Ridwan Kamil atau Dedi Mulyadi yang Golkar cenderung ke Jokowi. Catatan empiris memperlihatkan bahwa tokoh peraih suara dukungan tak berada dalam posisi bisa mendikte para pendukungnya yang pada hakekatnya sebagian besar adalah floating mass.
Di Jawa Tengah, pendukung Sudirman Said mungkin berkecenderungan ke Prabowo Subianto. Tetapi Jawa Tengah adalah daerah basis PDIP. Namun, koalisi pendukung Ganjar Pranowo yang pasti cenderung ke Jokowi, tak unggul secara signifikan terhadap pesaingnya. Dan, lagi-lagi tak boleh dilupakan sebagian terbesar pemilih pendukung itu adalah floating mass yang tak mudah didikte. Di Jawa Timur, pasangan Syaefullah dan Puti kalah cukup jauh dari Khofifah-Emil Dardak. Usai Pilkada, Khofifah memang menyampaikan ucapan yang mengarah ke Jokowi, namun apakah massa pemilihnya yang untuk sebagian juga adalah floating mass dengan sendirinya akan bersikap sama? Begitu juga sebaliknya.
Di luar Jawa, di Sumatera Utara Djarot-Sihar yang didukung PDIP kalah jauh dari Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah. Namun tak dengan sendirinya itu menguntungkan Prabowo Subianto. Di Sulawesi Selatan, calon yang didukung PDIP, Nurdin Abdullah unggul 30-40an persen, namun Nurdin juga didukung bersama PAN dan Gerindra. Sedang dukungan Golkar di daerah ini terhadap Jokowi, sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap dan arah Jusuf Kalla. Tapi ada peristiwa menarik, calon tunggal di Pemilihan Walikota Makassar yang punya hubungan kekeluargaan dengan ‘klan’ Kalla, menurut quick count, kalah melawan kotak kosong. Lagi-lagi, dunia politik harus memperhitungkan floating mass maupun para pemilih yang tidak datang ke kotak suara untuk menyampaikan pilihannya.
Untuk kelompok rakyat yang disebut terakhir ini, ada angka-angka. Pada Pilpres 2014, hanya 133.574.277 pemilih dari 190.307.134 yang terdaftar di DPT datang ke TPS memberikan suara. Artinya, hampir sepertiga atau 56.732.857 orang yang tak datang memberi suara. Ada sekitar 9,7 juta orang lainnya yang ikut memberi suara pada Pileg 2014 tidak lagi datang untuk memberi suara pada Pilpres 2014 itu. Apa itu berarti bahwa 9,7 juta orang itu merasa tak punya calon presiden yang cocok untuk dipilih di antara dua kandidat kala itu? Tak mau terfait-accompli dalam pilihan the bad among the worst? Perlu analisis lanjut.
Merupakan pengetahuan bersama bahwa calon-calon presiden dan wakil presiden dalam sistem yang berlaku saat ini adalah calon-calon partai politik. Tak bisa dikatakan calon dari rakyat selaku pemegang keadaulatan tertinggi dalam negara. Proses penetapan calon ditentukan elite partai, yang umumnya oligarkis. Penentuan calon pimpinan nasional relatif tidak melibatkan partisipasi rakyat melalui katakanlah mekanisme konvensi seperti yang pernah dicoba Golkar. Rakyat masih selalu diposisikan sebagai penerima pasif sekali dalam lima tahun, dan malangnya, selalu dengan pilihan kualitatif the bad among the worst. Juga, berkecenderungan terbatas secara kuantitatif seperti pada Pilpres 2014.
Dalam Pilpres 2014 hanya ada dua pilihan, dan ternyata keterbatasan itu telah mengakibatkan pembelahan dua berkepanjangan di masyarakat yang dampak buruknya merasuk hingga kini. Dan sekarang, hingga sejauh ini baru dua tokoh yang mengkristal, tepat mencopy-paste situasi Pilpres 2014. Meski sayup-sayup, terlihat ada upaya menampilkan alternatif tokoh ketiga, katakanlah yang antara lain disuarakan Partai Demokrat dan PAN maupun kelompok masyarakat. Untuk situasi per saat ini, mungkin lebih baik ada tiga calon presiden daripada lagi-lagi dua. Bisa mengurangi sentimen keterbelahan masyarakat, sekaligus menjawab kejenuhan terhadap tokoh yang itu-itu saja. Perlu dipikirkan dalam waktu yang sempit ini kemungkinan kehadiran tokoh ketiga di antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Sebenarnya, selain Partai Demokrat dan PAN, sebagai partai yang historis pernah tergolong sebagai kekuatan pembaharu Partai Golkar berpotensi mempelopori kelahiran alternatif ketiga. Tapi, itu, sudah keterlanjuran dengan Go-Jo…… (media-karya.com).