DALAM sebuah unjuk rasa di Kedutaan Besar Jepang pada awal Januari 1974 seorang mahasiswa melontarkan kecaman dalam debat dengan seorang diplomat Jepang, bahwa orang-orang Jepang itu berperilaku economic animal. Sang diplomat membalas, bahwa orang Indonesia itu sebaliknya adalah politic animal. Dua perilaku ini, meminjam terminologi ahli ekonomi Inggeris, John Maynard Keynes tergolong dalam satu animal spirits. Dua perilaku ini sebenarnya terpisah, tapi dalam fenomena terbaru makin menguat sebagai perilaku-perilaku yang beriringan satu sama lain. Bisa dimiliki sekaligus, baik oleh orang per orang maupun sebagai satu kelompok kepentingan.
Politik dalam definisi klasik dan mulia dinarasikan Aristoteles sebagai upaya para warga negara yang bertujuan mewujudkan kebaikan bersama. Ini paralel dengan pemahaman demokrasi. Tetapi dengan berjalannya waktu, berdasar sejumlah pengalaman empiris, definisi politik mengalami eskalasi sekaligus melenyap kemuliaannya. Berganti dengan penekanan pada aspek kekuasaan yang di sana sini lebih bermakna pertarungan mencapai kekuasaan.
Pengekor dalam pola penghambaan
David Easton dalam ‘The political system: An inquiry into the state of political science’ menyebutkan politik sebagai kegiatan membuat dan melaksanakan keputusan-keputusan yang authoritative –artinya mengikat secara hukum di dalam masyarakat. Vladimir Orlando Key dalam ‘Politics, Parties, and Pressure Group’ –terbit 1968, 5 tahun setelah kematiannya– menguraikan bahwa politik adalah hubungan insani antara yang berposisi di atas dengan yang berposisi di bawah, antara yang menguasai dengan yang dikuasai, antara yang memerintah dan yang diperintah. Sementara itu, Harold Laswell menggambarkan politik sesuai judul bukunya ‘Politics: Who gets What, When and How’ –Siapa mendapat Apa, Kapan dan Bagaimana.

Tentu, masih banyak definisi lain mengenai politik. Tetapi sepanjang yang bisa diamati, pada dasarnya secara umum politik telah lebih dimaknai dengan simplifikasi, sepenuhnya murni sebagai pertarungan untuk kekuasaan. Dan fakta empiris terbaru hingga kini, kekuasaan politik selalu juga bermakna sebagai hegemoni ekonomi dalam gelimang akumulasi uang, secara timbal balik. Bukan lagi berdasarkan idealisme bagi bangsa. Dalam realitas kehidupan politik-ekonomi dan kekuasaan dalam konteks Indonesia kini, perebutan hegemoni adalah power play di antara kaum elite politik dan ekonomi kelas atas. Meminjam serial fantasi dari negeri-negeri antah berantah, Game of Thrones, hegemoni itu adalah singgasana berkonstruksi tumpukan dan jalinan pedang yang disebut Thrones itu. Sementara itu bagi mereka yang berposisi di bawah, peran dalam permainan sebatas sebagai pengekor. Dalam satu pola penghambaan.
Dalam urusan ekor mengekor, ada presedennya. Di tahun 1969, karikaturis dari Seni Rupa ITB Harjadi Suadi memunculkan sebuah karikatur jenaka di sebuah mingguan generasi muda di Bandung. Seorang ayah di depan kandang kera berekor panjang bercerita kepada anaknya, “Dulunya dia itu manusia. Tetapi karena dia suka main Buntut dia jadi Kera.” Kata Buntut mengacu kepada judi buntut yang populer dan mampu memberi efek candu ke sebagian masyarakat sampai awal tahun 1980-an.
Vulpus pilum mutat non mores
Tentu saja mereka, peserta fanatik dalam kancah politik masa kini yang berada di posisi pengekor, tak akan mengalami nasib sang penghuni kandang. Khususnya bila masih mampu kembali menempatkan diri sebagai peserta politik yang berkesadaran dan menggunakan akal sehat. Berpolitik secara bermartabat dalam format lebih mulia
Tapi bila membiarkan diri terlena dalam bius pola penghambaan yang beraroma feodalistik, pengkultusan dan pemitosan: right or wrong my junjungan….. Dan berbuat apa saja –bersama-sama secara timbal balik menghalalkan segala cara sebagai serigala politik– demi memenangkan pertarungan, itu bisa menjadi kisah tragis dalam bentuk lain. Ini ada gejala dan potensinya saat ini. Vulpes pilum mutat non mores. Serigala bisa mengganti bulunya, tapi tidak akan hilang perilaku busuknya…. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa