DUA empu perancang taktik politik kekuasaan dari abad-abad lampau, Niccholo Machiavelli dan Shan Yang, mengatakan kekuatan negara dan ‘kekuatan’ rakyat adalah suatu keseimbangan terbalik. Dalam praktek kekuasaan yang hegemonis: Negara harus pintar, rakyat harus bodoh.
Cukup merisaukan bahwa dengan kadar rendah ataupun kadar tinggi, pola perilaku Machiavellis maupun Shan Yang –seperti tujuan menghalalkan cara, menjadi jahat agar sukses, mengerdilkan rakyat, praktek kotor mematikan pesaing dalam kompetisi, pengerahan massa sebagai kekuatan penekan mencapai tujuan, praktek kekuasaan untuk kekuasaan– juga telah menjadi fenomena sehari-hari di Indonesia. Terjadi dalam berbagai praktek kehidupan kemasyarakatan, bukan hanya dalam praktik politik dan kekuasaan. Perhatikan saja sendiri berbagai peristiwa di Indonesia dari dulu hingga sekarang, dari yang kecil sampai yang besar. Tak terkecuali dalam pertarungan politik –antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto– menuju Pemilihan Presiden 17 April 2019.
Sifat Kancil dan Harimau seorang Pemimpin
TAPI apakah sebenarnya Machiavellisme dan siapakah Machiavelli itu? Niccholo Machiavelli (1469-1527), adalah seorang politikus dan ahli kenegaraan Italia, pengarang buku Il Principe (The Prince, Sang Raja atau Sang Pangeran), sebuah buku tentang bagaimana politik kekuasaan dijalankan. Ia memandang negara sebagai organisasi kekuasaan, dan memerintah sebagai teknik memupuk dan mempertahankan kekuasaan. Walaupun sebelumnya orang sudah mengenal politik kekuasaan yang mempergunakan cara dan tipu muslihat yang kotor, tetapi dianggap barulah Machiavelli yang merumuskannya secara sistimatis, sehingga politik kekuasaan yang kotor sering disebut Machiavelli-isme.
Machiavelli, menurut kepustakaan lama –yang pernah disajikan sebuah media perjuangan mahasiswa tahun 1966– hidup dalam situasi Italia yang terpecah belah dalam negara-negara kecil, dikoyak-koyak perang saudara dan diancam serangan dari luar. Menghadapi keadaan tersebut, Machiavelli mencita-citakan menegakkan kembali kehormatan dan kesejahteraan bangsa Italia. Untuk itu ditulisnya Il Principe, semula dalam bentuk surat kepada Lorenzo, putera dari Piero di Medici yang memerintah Kerajaan Florence pada waktu itu.

Menurut Machiavelli, amat besar perbedaan antara cara orang seharusnya hidup dan cara orang hidup sebenarnya. Di lingkungan orang-orang jahat, pasti orang-orang baik akan binasa, sehingga seorang raja harus belajar supaya tidak menjadi orang baik. Seorang raja harus mempunyai sifat-sifat kancil dan harimau; harus menjadi kancil untuk mencari lubang jaring dan menjadi harimau untuk mengejutkan serigala. Dalam konteks politik kontemporer Indonesia, posisi raja telah tergantikan oleh Presiden. Dalam pengaruh feodalisme masa lampau yang masih terbawa hingga kini, kadangkala banyak yang tak bisa membedakan Presiden dengan Raja, atau sebaliknya. Perilaku feodalistis kerap tercermin dalam berbagai seremoni.
Tujuan menghalalkan cara
Pada pokoknya Machiavelli mencoba memberikan petunjuk bagaimana mempertahankan dan menggunakan kekuasaan dengan sebaik-baiknya, yaitu dengan penipuan dan kekerasan, bila perlu demi keselamatan negara boleh mengenyampingkan keadilan, kebenaran dan kemanusiaan. Bagi Machiavelli berlaku the end justified the means, tujuan menghalalkan cara. Fitnah, kebohongan, kata-kata kasar dan makian tak dipantangkan, malah dipuji dan ditiru para pendukung. Lawan politik sah untuk ‘dieliminasi’ dengan berbagai cara dan alasan. Dan seterusnya…
Buah pikiran Machiavelli mirip sekali dengan buah pikiran Shang Yang dari Tiongkok yang lebih tua usia kulturnya. Shang Yang membeda-bedakan antara negara dan rakyat, kekuatan negara dan kekuatan rakyat. Ia membeda-bedakan kedua hal itu sedemikian rupa, sehingga ia melihat kedua kekuatan sebagai suatu keseimbangan terbalik. Apabila negara kuat dan berkuasa, maka rakyat harus lemah dan miskin; sebaliknya bila rakyat dijadikan kaya dan kuat, maka negara menjadi lemah. Maka tujuan tunggal, demikian Shang Yang, terletak dalam membuat negara berkuasa, yaitu dengan menyusun tentara yang kuat dan teratur (tapi tidak mewah) dan bersedia untuk menghadapi bahaya-bahaya.
Perbedaan antara Machiavelli dan Shang Yang hanyalah bahwa Machiavelli masih menetapkan tujuan bagi penggunaan kekuasaan itu yakni kehormatan dan kebahagiaan orang-orang Italia, sedangkan bagi Shang Yang tujuannya adalah kekuasaan organisasi pemerintahan itu sendiri, kekuasaan untuk kekuasaan. Tetapi bagaimanapun juga, kedua-duanya bertentangan dengan kemanusiaan, keadilan dan demokrasi. Baik filsafat “kekuasaan untuk kekuasaan” maupun filsafat “tujuan menentukan cara” bertentangan dengan peradaban manusia yang demokratis.
KUMPULAN taktik dalam ‘kitab hitam’ Machiaveli yang memperkuat jalan kekuasaan Shan Yang memang adalah tipu daya lama yang sudah berusia ratusan tahun. Tetapi, masih selalu dipraktekkan dalam perjalanan menuju kekuasaan hingga kini, tak terkecuali di Indonesia. Kita melihat bahwa dalam konstruksi pemahamannya sejauh ini, dalam konteks Indonesia, adakalanya rakyat memang dibutuhkan, namun lebih banyak masa lagi rakyat tak dibutuhkan kehadirannya. Kenapa ‘ilmu hitam’ itu bisa demikian bertahan untuk tidak menyebutnya cenderung abadi? Tak lain karena ia mewakili bagian terburuk dan paling gelap yang tetap ‘terpelihara’ dalam sanubari manusia, yakni hawa nafsu kekuasaan untuk penaklukan atau hegemoni. Terutama, di tubuh bangsa yang mengalami kegagalan pembangunan sosiologis serta kegagalan pencerdasan dan penanaman etika.
‘Ilmu hitam’ ditangkal kontrol sosial dan kritik
Kekuasaan yang bersandar pada ajian dan praktik ‘ilmu hitam’ itu hanya bisa diredam dengan kecerdasan etis. Dan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, ditangkal dengan kontrol sosial dan kritik warga negara.
MENJELANG pemilihan umum dan pemilihan presiden mendatang, tak salah bila seluruh warga negara makin cermat menilai pemimpin dan calon pemimpin serta para calon legislatif. Jauhi pengguna ‘ilmu hitam’ ala Macchiavelli atau Shan Yang. (media-karya.com/socio-politica.com)#mediakaryaanalisa