Rahman Tolleng, Kisah Kandas Percobaan Struggle From Within

SEGERA setelah Peristiwa 30 September 1965 tanda-tanda tumbangnya rezim Nasakom Soekarno, mulai membayang. Diakui atau tidak, saat Jenderal Soeharto dan Jenderal Abdul Haris Nasution serta sejumlah perwira militer anti komunis masih ada dalam kesangsian mengakhiri kekuasaan Soekarno, kelompok mahasiswa dan pelajar tampil sebagai faktor pendorong diakhirinya rezim lama. Di Jakarta ada tokoh-tokoh mahasiswa di barisan depan seperti antara lain Cosmas Batubara, Mar’ie Muhammad, Marsillam Simandjuntak dan Fahmi Idris. Sementara di Bandung ada Rahman Tolleng yang muncul dari ‘bawah tanah’ dan menjadi pelopor gerakan anti Soekarno yang kali ini dilakukan di ‘permukaan tanah’.

Bersama Rahman di Bandung ada aktivis mahasiswa senior lainnya seperti Alex Rumondor, Mangaradja Odjak Siagian dan lainnya. Lalu muncul tokoh-tokoh penggerak mahasiswa intra kampus Rachmat Witoelar yang memperkuat otot massa bagi Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Dan aktivis populer Soegeng Sarjadi dari kampus Universitas Padjadjaran yang memicu aksi perobekan gambar Bung Karno Agustus 1966.

Kekuasaan Soekarno berakhir dalam Sidang Istimewa MPRS 7-12 Maret 1967, saat SI MPRS itu memutuskan menarik kembali mandat MPRS dari Presiden Soekarno serta segala keluasaan pemerintahan negara dari tangannya. Lalu Soeharto naik ke puncak kekuasaan. Berakhirnya kekuasaan Soekarno, membawa Indonesia ke dalam satu babak baru.

‘Partnership’ semusim

Setelah Jenderal Soeharto berada pada pusat kekuasaan, terjadi pasang surut yang fenomenal dalam hubungan antara sang jenderal dengan beberapa kelompok mahasiswa maupun tokoh kesatuan aksi lainnya. Tak jarang akhirnya mereka berada dalam posisi diametral. Terlihat betapa ABRI yang telah naik panggung sebagai pemeran utama kekuasaan –terutama karena dukungan mahasiswa 1966 yang dianggap mitra dalam apa yang disebut partnership ABRI-Mahasiswa– mulai berjalan dengan kemauannya sendiri. Satu dan lain sebab, ‘berhasil’ ikut berperannya sejumlah jenderal yang di masa sebelumnya bersikap abu-abu.

RAHMAN TOLLENG. Di kemudian hari, Rahman Tolleng, tokoh pergerakan mahasiswa yang bersama teman-temannya dari Bandung pernah masuk untuk mencoba merubah Golkar dari dalam –struggle from within– mengakui ketakberhasilannya. “Asumsi-asumsi kami ternyata sebagian salah dan karenanya harapan untuk menjadikan Golkar sebagai motor penggerak perubahan hanyalah sebuah ilusi.” (Karikatur oleh T. Sutanto) #MediaKarya

Beberapa sumbangan pemikiran serta pandangan kritis ‘bekas’ partner, cenderung tak diindahkan lagi. Bahkan dalam banyak hal ditafsirkan sebagai tanda-tanda ‘perlawanan’. Sejumlah pendapat kritis konstruktif ditanggapi beberapa petinggi militer dalam kekuasaan, dengan cara-cara berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Peringatan-peringatan ‘mantan’ partner tentang gejala korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan tindakan-tindalan anti demokrasi yang terjadi, dituding sebagai upaya sistematis untuk mendiskreditkan dwifungsi ABRI dan Orde Baru. Tak jarang dilengkapi tudingan ditunggangi sisa-sisa Orde Lama dan PKI. Tak mengherankan bila gerakan-gerakan kritis mahasiswa, akhirnya muncul kembali, terutama sepanjang 1970. Apalagi ketika arus generasi baru mahasiswa berangsur muncul menggantikan generasi terdahulu –generasi pergerakan 1966.

Dalam suasana penuh perbedaan hasrat maupun harapan dan tak jarang diwarnai kekecewaan, sebagian generasi 1966 mulai mencari jalannya sendiri. Mereka yang berasal dari organisasi-organisasi ekstra universiter yang mempunyai kaitan ideologi dengan partai, kembali ke induknya masing-masing. Banyak di antara mereka yang menjadi pengurus partai, di NU, PSII, PNI, IPKI, Partai Katolik atau Parkindo. Bahkan dari HMI –yang sebenarnya adalah organisasi mahasiswa yang independen– pun muncul beberapa tokoh muda yang turut serta membidani lahirnya partai baru Parmusi, sebuah partai berideologi Islam yang banyak disebut penjelmaan baru Masjumi. Dan ketika Parmusi diguncang tangan-tangan penguasa, sejumlah tokoh HMI tampil membela dengan luar biasa keras.

Sementara itu beberapa tokoh mahasiswa aktivis 1966 yang lain, ikut masuk ke dalam jajaran kekuasaan melalui berbagai jalur yang terbina sejak masa pergerakan. Dan beberapa tahun kemudian, menjelang Pemilu 1971 sebagian lainnya bergabung ke Golkar, sebuah kekuatan politik ‘baru’ yang menjanjikan harapan pembaharuan politik dan pembaharuan kehidupan bernegara.

‘Lorong-lorong’ komunikasi Rahman Tolleng

Tatkala eksponen-eksponen pergerakan mahasiswa 1966, pasca Soekarno harus menghadapi pilihan-pilihannya sendiri dalam menghadapi ‘kekuasaan baru’, mahasiswa dari generasi lebih baru juga menetapkan pilihannya sendiri. Mereka memilih menjauh dari kancah politik praktis dan memilih kampus sebagai basis kegiatan kritis dengan model yang cenderung sebagai gerakan moral.

Mereka dan apa yang kemudian mereka lakukan, mungkin dapat digambarkan sebagai ‘politik kaum tak berpolitik dari kampus perguruan tinggi’. Pilihan sikap para mahasiswa generasi baru ini menjadi awal konsolidasi gelombang gerakan-gerakan kritis tahun 1970-an hingga awal 1974 yang patah pada saat terjadi Peristiwa 15 Januari 1974, dan berlanjut lagi dalam suatu estafet gerakan kritis hingga Peristiwa 1978 saat tentara masuk menduduki kampus-kampus Bandung dan melakukan represi serupa di kampus terkemuka lainnya di seluruh Indonesia, di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Makassar, Medan dan kota lainnya.

Pada akhirnya, puluhan tahun kemudian muncul gerakan mahasiswa 1998 yang menjadi salah satu faktor pendorong bagi Soeharto untuk mengundurkan diri. Sebelumnya, 5 Oktober 1970, terjadi luka besar pertama dalam hubungan mahasiswa dan ABRI, yaitu peristiwa terbunuhnya seorang mahasiswa ITB, Rene Louis Coenraad di depan kampus ITB jalan Ganesha, akibat kekerasan sejumlah Taruna Akabri Kepolisian Angkatan 1970, yang tak lama lagi akan menjadi perwira di tahun itu juga. Peristiwa ini mengawali ketidakpercayaan mahasiswa terhadap tentara dalam hubungan sipil-militer, karena dalam peristiwa itu pimpinan ABRI tak memberikan penyelesaian hukum yang benar dan adil sebagaimana harusnya.

Menarik, banyak dari unsur-unsur gerakan dari masa ke masa itu, terbuka atau tertutup, selalu mencari ‘lorong-lorong’ komunikasi dengan Rahman Tolleng.

Struggle from within

Pada tahun 1970, menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum 1971, ada perbedaan pilihan di antara eksponen-eksponen mahasiswa pembaharu eks pergerakan 1966 di Bandung dan juga di Jakarta. Pada satu sisi adalah mereka yang memilih masuk ke dalam Golkar karena dianggap membawakan cita-cita pembaharuan, yang mereka anggap sama dengan cita-cita gerakan 1966. Dan, pada sisi lain, mereka yang tetap ingin di luar dan tak percaya adanya peluang ‘memperbaiki dari dalam’. Karena bagi mereka yang disebut terakhir ini, kendati secara konsepsional Golkar memberi harapan pencerahan, fakta di luar sementara itu menunjukkan adanya perilaku berlebihan sejumlah unsur Golkar, birokrasi dan tentara dalam persiapan pemilihan umum. Tampil dan menangnya Golkar melalui Pemilu 1971 mengandaskan harapan partai-partai Islam untuk turut serta dalam kekuasaan. Kelompok militan Islam pun mulai muncul dan dimunculkan untuk ikut bermain dan ‘dimainkan’. Baik oleh para operator kalangan kekuasaan, maupun yang tumbuh sendiri karena mencoba peluang ataukah karena dorongan diam-diam sebagian tokoh partai-partai Islam sendiri.

Di tubuh ABRI setidaknya muncul dua kelompok kepentingan. Kelompok perwira idealis cenderung kalah dan tersisihkan oleh kelompok haus kekuasaan dan kekayaan. Sementara, kaum pembaharu dari kalangan sipil menunjukkan tanda-tanda awal akan kalah peranan dan gagal pada pergulatan dalam selimut di tubuh Golkar maupun dalam kekuasaan. Terhadap cita-cita semula untuk melakukan perbaikan dari dalam, timbul pertanyaan dan kesangsian: Apakah mereka yang mengubah atau justru mereka yang diubah oleh Golkar dan kekuasaan?

Di kemudian hari, Rahman Tolleng, tokoh pergerakan mahasiswa yang bersama teman-temannya dari Bandung pernah masuk untuk mencoba merubah Golkar dari dalam –struggle from within– mengakui ketakberhasilannya. “Asumsi-asumsi kami ternyata sebagian salah dan karenanya harapan untuk menjadikan Golkar sebagai motor penggerak perubahan hanyalah sebuah ilusi.”

Peta situasi politik dan kekuasaan demikianlah yang terbentang di hadapan para mahasiswa generasi baru pada tahun 1970 dalam menentukan pilihan-pilihan: Melakukan gerakan-gerakan kritis melawan ketidakbenaran, ataukah ikut terhanyut seperti yang dialami sebagian dari generasi pendahulu dari pergerakan 1966. Sebagian besar memilih menarik diri ke kampus dan selanjutnya melakukan gerakan-gerakan kritis melawan korupsi serta sikap-sikap anti demokrasi dan kecenderungan melanggar hak azasi manusia, yang ditunjukkan kalangan kekuasaan baru. Dan, pada akhirnya gerakan-gerakan itu juga memasuki tema-tema kritis terhadap ketidakadilan yang menjadi penyebab kepincangan sosial dan ekonomi.

‘The politics of the unpoliticals’

Gerakan baru kampus yang lebih memilih basis intra bagi pergerakan mereka –sehingga peran organisasi-organisasi ekstra surut– tumbuh sebagai satu kekuatan dinamis dan kritis sebagaimana ditunjukkan sejak pertengahan 1971. Dari kampus, mereka melancarkan gerakan politik dari kaum yang tak punya interest politik, kecuali antusiasme pada pembaharuan kehidupan politik dan penegakan demokrasi. Ini memenuhi kriteria yang digambarkan Herbert Read sebagai ‘the politics of the unpoliticals’. Dalam pemaparan Rahman Tolleng –sebagai seorang tokoh pemikir terkemuka gerakan 1966– itu adalah politik dari mereka yang menginginkan kesucian dalam hati, politik yang tidak mempunyai ambisi perseorangan dan yang tidak menginginkan bagian kekayaan duniawi.

Generasi baru mahasiswa intra ini telah muncul sebagai pengeritik awal Orde Baru. Dalam praktik, Orde Baru di bawah sebagian tentara, dianggap mulai berbeda dengan ide dasar pembaharuan yang dicetuskan generasi muda dan kaum cendekiawan pada awal kebangkitan Orde Baru. Mahasiswa di satu sisi dan tentara serta kekuasaan pada sisi lain, dalam konteks gerakan kritis, dengan demikian ada dalam posisi berseberangan. Tak mengherankan kemudian bila selangkah demi selangkah terjadi proses sistematis pemandulan mahasiswa secara politik.

Namun, celaka dua belas. Setelah Soeharto mengundurkan diri, penguasa-penguasa baru yang ‘nyaman’ dengan kampus yang ‘senyap’ ternyata tetap melanjutkan atau setidaknya membiarkan mahasiswa dan kampus perguruan tinggi untuk mandul secara politik. Setiap upaya berhenti mandul, senantiasa digempur represi kalangan kekuasaan. Hingga kini. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s