Kaum Intelektual Indonesia Dalam Arus Pendangkalan

DI SAAT Joko Widodo baru saja menempuh 100 hari pertama masa kepresidenannya, cendekiawan ‘muda’ Yudi Latief menulis sesuatu yang cukup menarik perhatian per saat itu. Tulisannya berjudul ‘Negara Sengkarut Pikir”, dimuat kompas.com 2 Februari 2015. Tulisan Yudi itu satu dua kali sempat ditafsirkan atau diposisikan sebagai kritik tajam kepada presiden baru. Namun sesungguhnya, tulisan itu lebih merupakan kritik terhadap fenomena sikap anti-intelektual yang muncul di masyarakat. Kebetulan saja bertepatan waktu dengan momen tampilnya kepemimpinan baru di bawah Joko Widodo.

Cukup menarik juga, sekitar empat tahun sesudahnya, Yudi diangkat sebagai semacam ‘mahaguru Pancasila’ negara. Tetapi kemudian mengundurkan diri. Dan kini ketika tulisan Yudi itu berkali-kali dikutip berbagai media, ada yang menganggapnya sebagai mempertentangkan Yudi dengan Joko Widodo. Karena tulisan itu dilontarkan Yudi sebagai seorang intelektual yang objektif –bukan politisi– maka keduanya tentu saja seharusnya tak perlu merasa dipertentangkan.

Dalam narasi Yudi Latief pada 2015 itu, tergambarkan momen tampilnya kepemimpinan Joko Widodo, ikut ditandai terjadinya arus besar anti-intelektualisme dalam masyarakat. “Banyak orang yang tidak lagi menghargai pikiran, bahkan mengembangkan sinisme terhadap kedalaman pengetahuan. Para cerdik cendekia sendiri terbawa arus keraguan ini dengan tidak memercayai nilai pikirannya…” Banyak yang ikut-ikutan mengagumi sensasi berbagai tindakan sesaat. Benang merah tulisan Yudi Latief, adalah bahwa kaum intelektual Indonesia sedang ada dalam pusaran arus pendangkalan pikir kaum intelektual.

Apakah kaum intelektual itu?

Kaum intelektual, menurut Max Beloff (University of Buckingham, 1984) adalah orang-orang yang perannya berkaitan erat dengan kemajuan dan penyebaran pengetahuan, dengan menggunakan kemampuan artikulasi khusus mereka tentang masyarakat. Terminologi intelektual adalah kelaziman penyebutan yang digunakan di Indonesia untuk intelligentsia. Dalam khazanah akademis Indonesia sering juga diterjemahkan sebagai cendekiawan atau terpelajar, meski tak bisa dikatakan benar seluruhnya. Seorang  intelektual atau intelligentsia pasti terpelajar, tetapi seorang terpelajar belum tentu seorang intelektual atau intelligentsia.

YUDI LATIEF DAN JOKO WIDODO. Cukup menarik juga, sekitar empat tahun sesudahnya, Yudi diangkat sebagai semacam ‘mahaguru Pancasila’ negara. Tetapi kemudian mengundurkan diri. Dan kini ketika tulisan Yudi itu berkali-kali dikutip berbagai media, ada yang menganggapnya sebagai mempertentangkan Yudi dengan Joko Widodo. Karena tulisan itu dilontarkan Yudi sebagai seorang intelektual yang objektif –bukan politisi– maka keduanya tentu saja seharusnya tak perlu merasa dipertentangkan. (Foto original, download) #MediaKarya

Hugh Seton-Watson dalam esainya ‘Intelligentsia and Revolution’ (1959) menyebut kata intelligentsia berasal dari Rusia. Pertama kali diperkenalkan Boborykin 1860. Intelligentsia di Rusia pada waktu itu terdiri atas kaum elite intelektual modern yang telah memperoleh pendidikan di Eropah Barat dan yang tidak duduk dalam badan-badan pemerintahan.

Semula pengkategorian ini hanya meliputi orang-orang intelektual dalam arti sempit, yakni para pengarang prosa dan puisi, esais dan kriktikus, atau wartawan. Tapi kemudian meluas pengertiannya meliputi pula apa yang disebur ‘pekerjaan bebas’ (free professions) seperti advokat, guru, dokter, insinyur dan lain sebagainya. Mereka mungkin saja menerima upah dari pemerintah, demikian Seton Watson, tetapi sebagai ‘hamba pemerintah’ (government employees) mereka dibedakan dari pejabat pemerintah (government officials). Seorang ‘pejabat pemerintah’ atau birokrat, sepanjang pembatasan ini, meski pernah mendapat pendidikan yang baik, tak dapat dianggap sebagai seorang intelligentsia. (Ensiklopedia Sosial Politik MI, 1966)

Mengenai karakteristik intelligentsia Watson menambahkan: “…the world implied an official status, and usually an attitude of political opposition.” Watson menyebutkan ciri lain dari intelligentsia, yakni adanya pikiran-pikiran revolusioner yang menghendaki suatu perobahan dalam masyarakatnya.

Beberapa persyaratan yang melekat pada kaum intelektual, menurut kolumnis terkemuka Wiratmo Soekito, antara lain rasa yang dapat membedakan baik-buruk sesuatu, adil tidaknya sesuatu, sebagai rasa yang dimiliki seseorang yang berpikir tentang masyarakat di sekitarnya. Seorang intelektual adalah seorang yang melihat segala sesuatu itu sebagai masalah yang harus dipikirkan, seorang yang selalu berdialog dengan sekelilingnya. Seorang dokter yang semata memikirkan pembayaran dari pasien-pasiennya, tanpa melihat persoalan medis dalam konteks kemanusiaan secara keseluruhan sebagai suatu masalah, bukanlah intelligentsia. Mengacu pada kriteria itu, seorang insinyur yang membangun infrastruktur tanpa ikut memikirkan kaitan infrastruktur itu dengan masalah sosial di sekitar infrastruktur, pun bukan seorang intelektual. Begitu pula akademisi atau penyandang gelar akademis yang terjun ke survei-survei politik manipulatif, jauh dari kategori intelektual, melainkan pelaku prostitusi intelektual.

Bisa ditarik kesimpulan bahwa  intelektual adalah kelompok sosial yang melahirkan idea atau gagasan-gagasan politik modern yang menuntun masyarakat ke arah perubahan-perubahan. Mempunyai sifat-sifat yang cinta kepada kebenaran dan keadilan, mempunyai kejujuran intelektual, revolusioner dan mempunyai rasa serta peka sosial yang besar. Mempunyai kebutuhan jiwa untuk selalu menyatukan diri dan mengabdi kepada rakyat guna membebaskannya dari kemiskinan, ketidakadilan dan penindasan. Seorang intelligentsia atau intelektual mustahil seorang yang sudah mempunyai vested interest. Bila ia memilikinya, ia berakhir. Bukan intelektual.

Arus balik pengkhianatan intelektual

Gelombang anti-intelektualisme menurut Yudi Latief, sebagian merupakan arus balik dari pengkhianatan intelektual, tetapi utamanya karena desakan kebutuhan sehari-hari yang tidak segera dipenuhi oleh konsepsi-konsepsi pemikiran. Seperti kata Bung Karno, “Orang lapar tidak bisa segera kenyang hanya dengan diberikan kitab konstitusi.” Pelarian dari kesulitan hidup ini dininabobokkan oleh candu hiburan-hiburan dangkal-miskin pikir yang disajikan secara intensif dan masif lewat siaran televisi kita; membudayakan semacam “the cult of philistinism” –pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis.

Peluluhan daya pikir ini memberi prakondisi bagi supremasi pemodal untuk mengarahkan pilihan rakyat lewat kampanye media. Kekuatan pemodal yang cenderung menepikan kekuatan kritis bertemu dengan kecenderungan banalitas arus bawah. Lewat manajemen impresi, substansi pemikiran dikalahkan oleh kesan pencitraan. Maka, para pemimpin terpilih mencerminkan defisit pemikiran. Dengan begitu, negara tidak memiliki topangan pemikiran dan pengetahuan yang kuat. Sengkarut negara mencerminkan sengkarut pemikiran. Kata Yudi, keadaan ini menempatkan negara di tepi jurang.

BILA Joko Widodo terpilih kembali, ia berkesempatan menyembuhkan kedangkalan di sekitar kekuasaannya. Bila Prabowo Subianto yang terpilih, jangan tergelincir ke kedangkalan yang sama. Apapun yang terjadi dengan Pemilihan Presiden 17 April 2019, keduanya semestinya menjadi tokoh dengan lekatan kenegarawanan yang berkualitas…. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s