Jalan Setapak Golongan Karya Kembali ke Dalam Kekuasaan (1)

HARI besar Joko Widodo 20 Oktober 2019 nyaris menenggelamkan perhatian dan memori publik bahwa tanggal tersebut juga adalah hari ulang tahun Golongan Karya. Beruntung, internal Golkar masih mengingat merayakan hari lahirnya, mulai dari renungan di TMP Kalibata menjelang tengah malam 19 Oktober dan syukuran di DPP keesokan malamnya, hingga puncak acara di Hotel Sultan pada 6 November 2019 malam. Kekuatan politik ini, bagaimanapun, terpanjang jam terbangnya dalam sejarah politik kontemporer Indonesia sejauh ini. Telah menempuh perjalanan 55 tahun dalam kancah politik dan kekuasaan Indonesia. Melewati masa kekuasaan tujuh presiden, meski beberapa kali eksistensinya sempat juga kelap-kelip meredup.

Golkar sendiri –yang sejak 1998 merobah diri menjadi partai politik– lebih dari setahun terakhir ini sibuk turut mendukung pemenangan Joko Widodo untuk kedua kali. Sibuk pula dalam keramaian bursa posisi lapis ketiga dalam kekuasaan di lingkaran sang pemenang, setelah tak berhasil menempatkan seorang calon Wakil Presiden. Namun mendapat 3 kursi di kabinet Indonesia Maju –4 bila Luhut Pandjaitan ikut dihitung– plus 1 wakil menteri, setelah 20 Oktober 2019. Hanya 1 kursi lebih banyak dari Gerindra –partai dari rival Joko Widodo dalam Pilpres 2019. Lalu, sang Presiden pada puncak HUT Golkar 6 November malam menyampaikan pujian kepada Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar yang top karena ‘berhasil’ membawa Golkar melejit. Dan itu segera mengundang tafsiran bahwa Joko Widodo mendukung Airlangga kembali menjadi Ketua Umum melalui Munas Golkar Desember mendatang. Artinya, bukan Bambang Soesatyo yang kini sudah menjadi Ketua MPR-RI?

Spesies politik apakah Golkar itu?

Golongan Karya, juga disebut golongan fungsional, yang lazim dijadikan penamaan lain dari apa yang disebut interest group yang di dalam kehidupan politik merupakan pula suatu kekuatan di samping partai politik. Eksistensi golongan-golongan ada dalam UUD 1945 –18 Agustus 1945– Pasal 2 ayat 1 mengenai Majelis Permusyawaratan Rakyat. Namun harus dicatat bahwa pengertian golongan-golongan dalam UUD 1945 adalah “badan-badan seperti koperasi, serikat pekerja dan lain-lain badan kolektif”, tak persis sama dengan interest group dalam teori-teori politik yang umumnya ada dalam literatur Barat. Sementara eksistensi partai-partai politik bersandar pada maklumat pemerintah 3 November 1945 yang ditandatangani Wakil Presiden Mohammad Hatta, tentang pembentukan partai-partai politik. Pemakaian nama Golongan Karya satu dan lain hal dimaksudkan untuk menekankan karya, fungsi atau peranan dari golongan itu di dalam masyarakat, berbeda dengan pengertian baku interest group yang yang kerap dianggap lebih menonjolkan kepentingan.

JOKO WIDODO PADA HUT 55 GOLONGAN KARYA. Lalu, sang Presiden pada puncak HUT Golkar 6 November malam menyampaikan pujian kepada Airlangga Hartarto sebagai Ketua Umum Golkar yang top karena ‘berhasil’ membawa Golkar melejit. Dan itu segera mengundang tafsiran bahwa Joko Widodo mendukung Airlangga kembali menjadi Ketua Umum melalui Munas Golkar Desember mendatang. Artinya, bukan Bambang Soesatyo yang kini sudah menjadi Ketua MPR-RI? (Gambar head , Bambang Soesatyo dan Airlangga Hartarto.Foto original download) #MediaKarya

Sebuah kelompok kepentingan atau interest group dalam makna positif adalah kelompok orang-orang yang mempunyai kepentingan khusus dan sama dan karena itu memerlukan organisasi yang bisa memelihara kepentingannya. Kepentingan mereka yang khusus itu pada umumnya berdasarkan fungsi dan tugas pekerjaannya dalam masyarakat, pada lapangan produksi dan jasa. Sehingga dikenal umpamanya kelompok-kelompok kepentingan seperti serikat buruh, ikatan dokter dan sebagainya.

Dalam usaha memperjuangkan kepentingan masing-masing, maka kelompok-kelompok kepentingan itu berusaha untuk menyebarkan dan mendesakkan pendapat serta kehendaknya kepada orang banyak dan badan-badan pemerintahan. Dengan jalan ini kelompok-kelompok kepentingan turut mengambil bagian dalam kehidupan politik, bahkan merupakan suatu lembaga dan alat politik dalam suatu sistem demokrasi. An interest group is a formal organization of people who share one or common aims and concern and who are trying to influence the course of events –in particularly, the formation and administration of public policy by government– so as to protect and promote their interest. Kelompok kepentingan adalah organisasi formal yang terdiri dari orang-orang yang memiliki satu tujuan dan kepedulian sama dan berusaha mempengaruhi jalannya peristiwa –khususnya, pembentukan dan administrasi kebijakan publik oleh pemerintah– untuk melindungi dan mempromosikan kepentingan mereka.  Demikian Carr, Bernstein dan kawan-kawan dalam buku The American Democracy in Theory and Practice.

Kelompok kepentingan dibedakan dari partai politik. Terdapat banyak definisi mengenai partai politik. Tetapi adalah lebih objektif melihat partai-partai politik sebagai organisasi kelompok rakyat yang berusaha melakukan kontrol, mempengaruhi dan membawakan cita-cita serta programnya kepada pemerintah. Dan, untuk itu berusaha memperoleh kekuasaan dengan mendudukkan anggota-anggotanya sebagai pejabat-pejabat dalam negara di bidang legislatif, eksekutif dan juga judikatif. Dengan memperoleh kedudukan-kedudukan itu, sebuah partai memiliki kekuasaan yang memudahkan pelaksanaan cita-cita dan program dari partai yang bersangkutan –yang merupakan cita-cita dan program dari golongan rakyat yang menjadi anggotanya (Rahman Tolleng, 1967).

Menurut Carr dan Bernstein, untuk memperoleh dukungan dari jumlah pemilih yang besar sebuah partai politik membutuhkan appeal yang seluas-luasnya dan program yang merangkum banyak pokok persoalan. Sementara itu, sebuah kelompok kepentingan hanya membutuhkan appeal lebih terbatas dengan program yang juga terbatas. Sebuah partai politik terutama berkepentingan untuk memenangkan pengawasan dan menjalankan pemerintahan, sedangkan sebuah kelompok kepentingan terutama berkepentingan dalam pembentukan kebijaksanaan umum (public policy). Mengenai perbedaan yang terakhir ini, dengan sendirinya sebuah partai yang memegang pengawasan atas pemerintahan hampir tidak dapat mengabaikan tanggungjawabnya terhadap pembentukan kebijaksanaan umum. Sebaliknya untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum, maka kelompok kepentingan perlu mendudukkan penyokong-penyokongnya dalam badan-badan pemerintahan.

Di negara-negara Barat, khususnya di Amerika Serikat, kelompok-kelompok kepentingan tersebut tidak turut secara langsung di dalam pemerintahan dengan turut mengambil bagian dalam pemilihan keanggotaan dalam badan perwakilan, tetapi memperjuangkan kepentingannya melalui partai-partai politik yang ada. Lain halnya dengan di Indonesia, pengakuan terhadap peranan kelompok kepentingan di dalam masyarakat juga diberikan peranan yang resmi dan langsung dalam kehidupan politik dengan memberikan kedudukan kepada kelompok-kelompok kepentingan ini dalam badan-badan perwakilan dan pemerintahan.

Penampilan kelompok kepentingan yang diberi nama Golongan Karya (disingkat Golkar) dalam badan-badan perwakilan dan atau pemerintahan, untuk pertama kali diintrodusir Soekarno dalam rangka sistem demokrasi terpimpin. Dari sudut tujuannya yang dikatakan untuk menyehatkan demokrasi, dalam batas tertentu dapat dipahami, mengingat ketidakmampuan partai-partai politik yang ada dalam membina demokrasi dan kesejahteraan rakyat kala itu. Tetapi dalam hal lain harus diakui pula terdapat segi-segi negatif, karena dalam praktek waktu itu terjadi perwakilan rangkap bagi organisasi-organisasi karya yang berafiliasi pada partai-partai politik –yang ternyata amat menguntungkan PKI. Pada sisi lainnya lagi, apa yang digariskan Soekarno sempat menjadikan organisasi-organisasi karya yang tidak berafiliasi sebagai medan pertarungan perebutan pengaruh partai-partai politik dan kekuatan faktual dalam kekuasaan.

Gejala yang dianggap tidak sehat ini agaknya tak serta merta hilang setelah masa demokrasi terpimpin Soekarno berlalu. Sempat menjadi tanda tanya apakah sistem penggolongan politik yang berasal dari zaman Soekarno itu akan dipertahankan di masa Soeharto. Nyatanya, saat menuju pemilihan umum pertama pasca Soekarno tahun 1971, di antara pilihan alternatif, Partai IPKI atau Golkar –yang sudah terbentuk sebagai Sekber pada 20 Oktober 1964– kalangan kekuasaan baru pasca Soekarno memilih Golongan Karya sebagai kendaraan politiknya. Tetapi terlebih dahulu melakukan proses ‘pemurnian’…. –Berlanjut ke Bagian 2. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s