KENDATI demokrasi adalah sistem pemerintahan dan cara bernegara paling ideal sejauh ini, bukannya samasekali tak pernah ada keterplesetan. Selain keberhasilan melahirkan pemerintahan terbaik, demokrasi juga bisa mengalami kegagalan rekrutmen kepemimpinan dalam kekuasaan. Ternyata sistem demokrasi bisa kebobolan, tak bisa menangkal kemunculan pemimpin-pemimpin (negara) yang pembohong. Bahkan, kerap tak bisa mencegah pemimpin idiot savant –yang dalam hal tertentu berbahaya bagi suatu negara– muncul dalam kehidupan politik dan kekuasaan negara, semisal di beberapa negara Afrika, Amerika Latin dan Asia. Dua tipe pemimpin ini sebenarnya riskan, empiris sama-sama (bisa) menghalalkan kebohongan. Dan mungkin juga kekerasan terselubung maupun terbuka. Namun khusus tipe idiot savant atau (sindrom savant) tetap ada peluang untuk menjadi pemimpin cemerlang karena sisi kegeniusannya.
Stephan Lewandowsky, Kepala bagian Psikologi Kognitif, Universitas Bristol, Inggeris, pekan ketiga Desember 2019 lalu menjadi fokus pemberitaan dengan pemaparan tentang tampilnya para pemimpin pembohong, khususnya di dua negara besar. “Why people vote for politicians they know are liars” – Kenapa rakyat bisa memilih para politisi yang mereka tahu nyata-nyata adalah pembohong. Paling menarik dari pemaparan Lewandowsky –berdasarkan hasil tim penelitinya dan beberapa penelitian lain– adalah penyebutan dua tokoh contoh, yakni Boris Johnson dan Donald Trump. Alexander Boris de Pfeffel Johnson adalah tokoh Partai Konservatif yang terpilih sebagai Perdana Menteri Inggeris 24 Juli 2019 menggantikan Theresa May. Pernah ke Jakarta, November 2014, bertemu Presiden baru Joko Widodo dan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, saat masih menjabat Walikota London. Sedang Donald Trump ‘mengalahkan’ Hillary Clinton dalam Pemilihan Presiden AS 2016.
Para demagog pembohong
Rakyat Inggris telah memilih Boris Johnson, Perdana Menteri yang dianggap secara tak sah membekukan parlemen guna menghindari penyelidikan demokratis. Ia juga disebut terang-terangan menyampaikan pernyataan palsu, kapan pun ia merasa perlu berbohong. Menakjubkan bahwa lebih dari separuh rakyat Inggeris tak peduli dengan pembubaran parlemennya Sementara itu rakyat Amerika memilih Donald Trump, yang telah membuat lebih dari 13.000 klaim bohong dan menyesatkan sejak menjabat sebagai Presiden. Kenapa ini semua bisa terjadi? “Bagaimana bisa para demagog pembohong meraup daya tarik dalam masyarakat dengan sejarah demokrasi dan empirisme yang membanggakan? Apakah orang tidak peka terhadap kebohongan? Apakah mereka tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah? Apakah orang tak lagi peduli pada kebenaran?”

Hasil penelitian yang dilakukan tim Lewandowsky menyebutkan dukungan terhadap Trump tetap stabil meski banyak pernyataan Trump tidak akurat. Ini juga berlaku untuk Boris Johnson maupun sejumlah tokoh serupa lainnya di dunia. Para pemilih dapat memahami dengan baik bahwa seorang politisi berbohong, tetapi mereka mengabaikan kepalsuan itu meski hal itu ditunjukkan kepada mereka. Pemilih yang sama tampaknya mentolerir dirinya dibohongi, sehingga tak merasa perlu berbalik menentang tokoh pilihan mereka. Putusnya hubungan antara persepsi ketepatan kebenaran dengan objektivitas dukungan, juga ditemukan peneliti lain. Dan ini berlaku tak hanya bagi Trump melainkan juga pada beberapa tokoh demagog lainnya. “Tidak banyak penelitian kebenaran fakta yang bisa mengurangi daya tarik Trump, Johnson, Duterte, Bolsonaro atau demagog populis lainnya di seluruh dunia.”
Ketimpangan tersebut telah diidentifikasi sebagai salah satu variabel yang telah mengkompromikan legitimasi demokrasi di mata banyak orang. Penelitian yang dipimpin oleh Oliver Hahl dari Universitas Carnegie Mellon telah mengidentifikasi keadaan khusus di mana orang menerima politisi yang berbohong. Bahkan, bagi orang-orang yang terpinggirkan, politisi yang berbohong dan menggunakan retorika keadilan dan kebenaran, bisa dipahlawankan sebagai pejuang sejati bagi rakyat untuk melawan kemapanan.
Idiot savant
Fenomena lain yang merupakan anomali dalam kehidupan berdemokrasi adalah pemimpin berkategori atau berkualitas idiot savant. Terminologi idiot savant ini penggunaannya sebenarnya terutama sekali untuk dunia medis dan psikologi. Dikaitkan dengan disabilitas mental, namun pada sisi lain punya ability khusus dan luar biasa. Merriam Webster memberikan sebuah definisi yang lebih umum agak di luar aroma ilmu psikologi. Bahwa idiot savant adalah seseorang yang sangat berpengetahuan tentang satu subjek tetapi sangat tidak tahu banyak tentang hal lain –a person who is highly knowledgeable about one subject but knows little about anything else.
Keadaan ini juga mengingatkan kepada apa yang seringkali dikatakan dengan sedikit awam sebagai IQ spesifik. Memiliki tingkat kecerdasan luar biasa pada bidang tertentu namun sangat tak tahu pada hal lain. Pernah ada yang menyebut BJ Habibie memiliki IQ spesifik. Pernah pula terpublikasi sebagai salah satu dari lima orang dengan IQ tertinggi di dunia –bersama Albert Einstein. Disebutkan IQ BJ Habibie mencapai 200. Beliau dianggap seorang genius dalam teknologi –khususnya dalam pembuatan pesawat terbang– namun mungkin kurang dalam ilmu-ilmu sosial. Tetapi ketika menjadi Presiden RI selama 17 bulan kurang sehari, menggantikan Jenderal Soeharto, kekurangannya dalam ilmu politik, ilmu ekonomi, ilmu-ilmu sosial lainnya dan ilmu kepemerintahan sepertinya bisa ditambal dan diisi oleh teman-temannya dari ICMI.
Menarik bahwa seorang bernama Imam Prasetyo pernah menulis di Kompasiana mengenai idiot savant. Seraya mengutip salah satu definisi idiot savant –orang dengan keterbatasan intelektual yang menunjukkan kemampuan luar biasa dalam bidang yang sangat terspesialisasi, seperti matematika atau musik– ia menyebut Ir Joko Widodo memenuhi kriteria. Ia menyorot antara lain kurangnya kemampuan Jokowi berbahasa dalam menyampaikan sebuah topik. Seringkali menyatakan tentang managemen kontrol dan langsung ke lapangan di setiap agenda kampanye dan public speaking. Dan di saat yang sama pula terbukti apa yang diucapkannya berbeda 180 derajat dengan kenyataan. Kasus bus TransJ dan pedagang yang kembali memenuhi sisi jalan di Blok G bahkan Blok M menyajikan fakta bahwa Jokowi memang kurang trampil dalam berkomunikasi. Joko Widodo juga dianggapnya lemah dalam membaca statistik. Tapi tentu menarik dianalisa lanjut tentang keberhasilan Joko Widodo kini untuk menjadi presiden kedua kalinya.
Tulisan itu diposting di Kompasiana 12 Agustus 2014 –sekitar dua bulan sebelum Joko Widodo dilantik pertama kali sebagai Presiden– dan sempat diperbarui 18 Juni 2015. Tak pernah tercatat ada reaksi atau tanda kemarahan dari Joko Widodo maupun dari Istana. Mungkin tulisan ini dianggap cukup akademis dan diterima positif sebagai masukan. Tetapi adalah pengelola Kompasiana sendiri yang kemudian menyatakan, bahwa akun Imam Prasetyo diblokir karena melanggar syarat dan ketentuan Kompasiana, tetapi hingga kini posting itu tetap bisa dibuka dan dibaca. Menurut Imam Prasetyo sendiri, tujuan penulisan adalah agar semua pendukung Jokowi memiliki kemampuan ekstra untuk melihat Jokowi apa adanya.
PILIHAN terbaik bagi warga negara –yang secara mayoritas sebenarnya adalah kelompok unpolitical namun memiliki hak politik– memang adalah melihat pemimpin apa adanya. Agar terhindar dari pengkultusan maupun penumpulan pandang terhadap kebenaran dan keadilan. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa
One thought on “Fenomena Pemimpin Pembohong dan Pemimpin Idiot Savant”