Fenomena Pengkultusan Modern: ‘If The President Only Knew’

GEJALA terbaru yang ‘menakjubkan’ di beberapa negara demokrasi abad 21 adalah tampilnya semakin banyak tokoh pemimpin pembohong dan manipulatif. “Why people vote for politicians they know are liars” – Kenapa rakyat bisa memilih para politisi yang mereka tahu nyata-nyata adalah pembohong. Itu pertanyaan pokok Stephan Lewandowsky, Kepala Bagian Psikologi Kognitif, Universitas Bristol, tatkala memaparkan fenomena pemimpin pembohong dan manipulatif pada pekan ketiga Desember 2019.

Padahal, menurut Lewandowsky sebenarnya rakyat pemilih dapat memahami dengan baik bahwa seorang politisi berbohong, tetapi sebagian dari mereka mengabaikan kepalsuan itu meski hal itu ditunjukkan kepada mereka. Dan sungguh ironis bahwa fenomena itu antara lain terjadi justru di dua negara demokrasi terkemuka, Amerika Serikat dan Kerajaan Inggeris. Dua tokoh contoh adalah Presiden AS Donald Trump dan Perdana Menteri UK Boris Johnson. (Baca, https://media-karya.com/2020/01/13/fenomena-pemimpin-pembohong-dan-pemimpin-idiot-savant/#more-841).

‘Salah percaya’ seperti ini dalam cara dan bentuk yang berbeda pun terjadi di masa lampau. Apalagi sesungguhnya, sangat meresap dalam hati rakyat, bahwa para Raja adalah wakil Tuhan di muka bumi. Dan, berlaku ‘keyakinan’ The King Can Do No Wrong –raja tak bisa berbuat salah. Pemahamannya adalah apa pun juga setiap tindakan raja adalah benar. Tetapi ternyata, seorang raja adalah juga manusia, yang sama sekali tak luput dari kesalahan, dari yang kecil hingga yang besar.

‘If the King only knew’

Sungguh menarik untuk meminjam tulisan seorang cendekiawan muda semasa perjuangan 1966, MT Zen –pengajar ITB– di Mingguan Mahasiswa Indonesia, berjudul ‘Kubunuh Baginda Raja’. Tergambarkan bahwa bila kezaliman di suatu monarki, seperti di Perancis sampai sekitar Revolusi Perancis 5 Mei 1789 , raja tak pernah dipersalahkan. “Memang, mula-mula rakyat mengira bahwa para pejabat pemerintah beserta kaum bangsawanlah yang menindas rakyat tanpa sepengetahuan raja.” Misalnya, membebani rakyat dengan bermacam-macam pajak sementara di lain pihak kaum bangsawan dan para pejabat pemerintah sendiri sama sekali dibebaskan dari beban pajak itu. Maka dari itu, dari seluruh pelosok pedalaman, dari perbukitan dan dataran tanah Perancis angin membawakan jeritan dan keluhan yang menyayat hati: “…. if the King only knew!… –Andaikan Baginda Raja mengetahui!

EKSEKUSI LOUIS XVI. Maka setiap berkesempatan bertemu dengan sang Presiden, sang rakyat akan berkeluh kesah dan mengadukan berbagai soal kepada sang Presiden. Padahal seperti halnya dengan zaman kekaisaran Perancis dan zaman Czar di Rusia, serta berbagai modus penyalahgunaan kekuasaan di republik-republik modern –termasuk Indonesia– banyak dari kejahatan itu sebenarnya bersumber dari dan atau atas perintah sang Presiden sendiri. (Foto dan gambar original, download) #MediaKarya

“Demikian juga di Rusia lebih dari 100 tahun kemudian.” Dari dataran steppe hingga ke padang salju Siberia, terdengar keluhan dan rintihan yang senada, “…. if the Czar only knew!”. Jadi nyatalah di sini bahwa rakyat pada mulanya mempunyai kepercayaan penuh bahwa sekiranya Baginda Raja mengetahui tentang nasib rakyat, niscaya Raja akan menghukum para menteri yang bersalah serta menolong rakyat yang tertindas. Bukankah Raja itu wakil dari Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang? “Tetapi sayang, ….. sayang sekali! Pertolongan yang dinantikan tak kunjung datang dari sang Raja. Mereka tidak mengetahui dan tidak mengerti bahwa Baginda Raja telah melupakan mereka, telah meninggalkan mereka, telah meremehkan mereka dan telah mengkhianati mereka. Mereka tidak mengerti dan tidak mau mengerti bahwa Baginda Raja sendirilah yang terutama mengkhianati dan berdosa kepada mereka dan bukan menteri-menteri, pejabat-pejabat atau kaum bangsawan, karena Baginda Raja dengan penuh kesadaran telah membiarkan para menteri dan yang lain menindas rakyat untuk kepentingan sang Raja, agar Baginda Raja dapat senantiasa berdendang dan menari-nari di atas jubin batu pualam dan diterangi oleh ribuan chandelir bersama seribu bidadari.”

Sebagai akibat dari perkosaan terhadap rakyat maka terjadilah drama berdarah di Place de la Revolution pada Senin pagi 21 Januari 1793. Darah rakyat ditebus dengan darah Raja. Dengan berteriak-teriak, “Rakyat Perancis, aku tidak berdosa!”, yang sayup menghilang ditelan oleh genderang perang dari barisan kehormatan dan disaksikan oleh lebih dari 80.000 pasang mata, Louis ke-XVI, keturunan 60 raja-raja, dipenggal kepalanya atas nama ‘Perjanjian Masyarakat’ dari Jean Jacques Rousseau (Contrat Social –social contract). Suara tumbukan antara pisau guilotine dengan landasannya disambut oleh para penonton dengan teriakan gemuruh, “Viva la Republique”. Demikian tulis MT Zen. Menurut catatan sejarah, kekuasaan Czar di Rusia juga berakhir tragis dan diwarnai darah yang mengalir di hamparan salju.

“Sejak Revolusi Perancis hingga sekarang, sekiranya Raja tidak didaulat atau dibunuh, secara berangsur-angsur Kerajaan Absolut digantikan dengan Kerajaan Konstitusional atau Republik. Sedangkan Raja dengan kekuasaan absolut digantikan dengan Raja Konstitusional atau Presiden.” Raja dengan kekuasaan mutlak adalah kejahatan sejarah, bertentangan dengan azas-azas kemanusiaan dan harus disingkirkan, sebagaimana dikatakan oleh Saint Just: Monarchy is not a king, it is crime. Not a crime but crime is self. Apalagi Presiden dari suatu republik yang demokratis.

Terkecoh dalam pengkultusan

TIDAK belajar dari sejarah, banyak pemimpin negara yang dianggap demokratis, mengulangi kesalahan para raja di masa lampau. Melakukan kebohongan-kebohongan. Sungguh mencengangkan dalam suasana maraknya kembali pengkultusan seorang pemimpin –akibat kecerdikan pencitraan masa modern– banyak rakyat yang kembali terkecoh, katakanlah tentang citra seorang Presiden. Bila ada ketidakberesan –seperti kenaikan pajak dan tarif-tarif, peraturan-peraturan yang menekan, berbagai tindakan represi alat keamanan negara, dan penggunaan dana besar untuk politik dan kekuasaan yang sebenarnya tak akan bisa dipertanggungjawabkan– rakyat masih percaya bahwa itu sepenuhnya dilakukan oleh lingkaran di sekitar sang Presiden saja.

Pengkultusan memang juga mengadopsi ‘adagium’ the king can do no wrong menjadi the president can do no wrong. Dan sebagian rakyat yang selalu dikondisikan untuk naif senaif-naifnya, masih juga beranggapan andaikan Presiden mengetahui –if the president only knew– itu semua tak akan terjadi. Maka setiap berkesempatan bertemu dengan sang Presiden, sang rakyat akan berkeluh kesah dan mengadukan berbagai soal kepada sang Presiden. Padahal seperti halnya dengan zaman kekaisaran Perancis dan zaman Czar di Rusia, serta berbagai modus penyalahgunaan kekuasaan di republik-republik modern –termasuk Republik Indonesia– banyak dari kejahatan itu sebenarnya bersumber dari dan atau atas perintah sang Presiden sendiri. Bahwa sesungguhnya yang telah mengingkari janji-janji kampanye dan mengkhianati rakyat tak lain adalah sang Presiden. Di sinilah fungsi kritik. Memberitahu rakyat apa yang sesungguhnya terjadi… (media-karya.com/socio-politica.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s