MANA yang lebih menarik? Berita kemarahan Presiden Indonesia Joko Widodo 18 Juni 2020 terkait kinerja rendah kabinetnya atau wacana akademisi Marxist asal Slovenia Slavoj Žižek tentang kebangkitan komunisme baru pada momen pandemi Corona? Bagi bagian terbesar publik dan terutama para politisi, tentu kemarahan Presiden Joko Widodo lebih menarik, terutama karena disertai ancaman reshuffle kabinet dan pembubaran lembaga.
Untuk sebagian, kecaman keras Presiden kepada kabinetnya sendiri seolah mengkonfirmasi pendapat umum tentang kegagalan kabinet Jokowi yang usianya baru hampir tiga kali umur jagung. Bagi publik itu sekaligus semacam tontonan baru. Tetapi bagi para politisi, itu lebih bermakna sebagai adanya peluang baru masuk ke dalam kekuasaan sebagai menteri kabinet. Soal apa, kenapa dan bagaimana sebenarnya kemarahan Joko Widodo itu, hanya beliau dan Tuhan yang maha mengetahui.
Jalan ‘komunis’ dari Slavoj Žižek
Tak cukup banyak diperhatikan, pada waktu hampir bersamaan, menjelang akhir Maret 2020, Slavoj Žižek, tampil menyampaikan sebuah argumen sentral bahwa dengan kemunculan coronavirus, sistem kapitalis dunia perlu diganti. Žižek mengatakan pilihan yang tersedia, sederhana, membiarkan barbarisme di bawah sistem kapitalis atau jalan komunis. “Langkah-langkah yang tampak bagi kita hari ini, jalan ‘komunis’ harus dipertimbangkan di tingkat global.”

Salah satu barbarisme, adalah sudut pandang vitalis sinis, yang tergoda untuk melihat virus corona sebagai infeksi menguntungkan –kesempatan dalam kesempitan– yang memungkinkan penguasa untuk menyingkirkan mereka yang lapuk karena tua, lemah dan sakit.
Dalam bukunya Pandemic Covid-19 Shakes the World –yang diterjemahkan dengan baik oleh Khoiril Maqin dalam edisi bahasa Indonesia dari Penerbit Independen, Yogyakarta, Mei 2020– Žižek menulis “Lebih dari barbarisme terbuka, saya takut pada barbarisme dengan wajah manusia.” Apa yang dimaksud Žižek tak lain undang-undang survivalis yang kejam dikuatkan dengan basa-basi penyesalan dan bahkan simpati, yang dikemas dengan pendapat para ahli. Singkatnya, pesan yang sebenarnya adalah bahwa manusia harus membatasi landasan etika sosial dalam merawat yang tua dan yang lemah. Italia telah mengumumkan bahwa jika keadaan lebih buruk, mereka yang berusia di atas 80 atau dengan kondisi serius yang sudah ada sebelumnya, hanya akan dibiarkan mati. Orang harus dibuat paham untuk menerima logika survival of the fittest. “Akan tetapi prinsip pertama kita seharusnya bukan untuk menghemat anggaran, tetapi sebaliknya, untuk membantu tanpa syarat, terlepas dari biaya, mereka yang membutuhkan bantuan, untuk memungkinkan kelangsungan hidup mereka.”
“Di sinilah gagasan saya tentang ‘komunisme’ muncul, bukan sebagai mimpi yang tak jelas tetapi hanya sebagai sebutan untuk apa yang sudah berjalan (atau setidaknya dianggap oleh banyak orang sebagai kebutuhan), kebijakan-kebijakan yang sudah dipertimbangkan dan bahkan sebagian ditegakkan. Gagasan ini bukan visi masa depan yang cerah tetapi lebih dari ‘komunisme bencana’ sebagai penangkal kapitalisme bencana. Negara tidak hanya harus mengambil peran yang jauh lebih aktif, mengorganisir produksi hal-hal yang sangat dibutuhkan seperti masker, alat tes dan respirator, mengalihfungsikan hotel dan resor lainnya, menjamin kelangsungan hidup minimum semua pengangguran baru, dan sebagainya. Dan, melakukan ini semua ini dengan meninggalkan mekanisme pasar.” Coba pikirkan jutaan lainnya, seperti yang ada di industri pariwisata, yang pekerjaannya untuk beberapa waktu setidaknya akan hilang dan tak ada artinya. “Nasib mereka tak dapat diserahkan pada mekanisme pasar belaka atau stimulus sekali pakai.”
Ada kebenaran yang tak nyaman
Ketika Žižek menggunakan istilah “komunisme” ia tidak lagi berbicara tentang negara-negara komunis “gaya lama” abad ke-20, tetapi ia memberitahu keperluan baru “organisasi global yang dapat mengendalikan dan mengatur ekonomi serta membatasi kedaulatan negara bangsa saat dibutuhkan”. Dan, pergeseran terkoordinasi menjauh dari pasar (Yohann Koshy, The Guardian, London, 23 April 2020). Katakanlah suatu sistem komunis gaya baru.
Ada yang mengatakan, meski menganjurkan komunisme baru, Žižek memiliki batin liberal yang menghentikannya dari memuji para pemimpin Cina –pelopor lockdown– untuk penanganan mereka terhadap krisis. Tak lain karena Slavoj Žižek mendukung komentar jurnalis Verna Yu yang mengatakan, “jika China menghargai kebebasan berbicara, tidak akan ada krisis coronavirus”, mengacu pada pembungkaman dokter Li Wenliang penemu dan pelapor pertama adanya virus corona. Ini menyamarkan kebenaran yang tidak nyaman: seiring berlalunya waktu, China kemungkinan akan muncul sebagai negara adidaya yang paling efektif dalam menangani pandemi; dibandingkan dengan sistem yang tidak terorganisir dengan baik yang berpusat di Washington dan Brussels. Untuk menemukan jalan keluar dari biner antara barbarisme barat yang tidak kompeten dan totalitarianisme timur di China yang sangat kejam, Žižek menyelipkan introduksi komunisme baru.
Slavoj Žižek, adalah peneliti senior sosiologi di Universitas Ljubljana, Slovenia. Sejak lama ia telah mencanangkan suatu masa depan dengan ideologi baru yang merupakan penjelmaan dari komunisme, namun tanpa bentuk kepartaian atau pelembagaan seperti di masa lampau. Ia menggunakan filsafat Marxis kontemporer dengan pendekatan kultural, dan menjabarkan diri sebagai kiri radikal yang mengkritisi neo liberalisme. Jadi, memang ada upaya untuk merehabilitasi komunisme di lingkungan cukup terpandang di kalangan intelektual dunia sekarang. “Akan tetapi bila kita tak mengikuti prosesnya dengan cermat, kita tak akan mengerti bahwa proses pencarian itu bukan serta merta merupakan tiruan ideologi komunisme masa lalu,” kata Dr Marzuki Darusman SH, Jaksa Agung RI 1999-2001 (https://media-karya.com/2018/09/15/kebangkitan-pki-hanyalah-hoax/).
Pertarikan dua kutub
Adalah menarik bahwa di Indonesia seakan ada pertarikan tidak keruan di antara setidaknya dua kutub kehendak dalam konteks pandemi corona. Di satu sisi, belakangan ini kuat sekali anjuran tentang normal baru, namun karena tak berhasil dinarasikan dengan jelas seringkali terasa terselip adanya kecenderungan melepas kalangan akar rumput ke arena survival of the fittest. Kesan ini diperkuat oleh ketidakberhasilan pemaksimalan penggunaan anggaran berskala ratusan triliun rupiah untuk membantu rakyat, seperti dikeluhkan oleh Presiden Joko Widodo sendiri.
Akan tetapi pada sisi lain ada ciri-ciri yang digambarkan Slavoj Žižek sebagai pengambilalihan makin banyak peran ke tangan pemerintah dan atau badan-badan usaha milik negara, seperti halnya di China. Tentu saja, minus label “komunis” seperti dicanangkan Žižek. Karena, pastilah tak ada yang berharap bahwa momentum “ketenangan yang panik” akibat pandemi virus corona di Indonesia menjadi pintu masuk komunisme bentuk baru yang di”advokasi”kan Žižek. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa
Maaf numpang tanya.
Siapa pemimpin redaksinya media karya ini?
Masihkah bang Benny sahabat saya dulu??
LikeLike
Pemred, Rum Aly. Dulu saat edisi cetak pertama kali terbit menjadi Redpel di bawah Pemred Sarwono Kusumaatmadja 1983-1988. Bung Benny mungkin di masa DPP p Wahono-Rachmat Witoelar…..
LikeLike