Tag: Presiden Joko Widodo

Aroma Schizophrenia dan Psikopat di Medan Politik Indonesia

TIGA tahun sebelum Donald Trump dikalahkan Joe Biden dalam Pemilihan Presiden AS November 2020 ini, Presiden Rusia Vladimir Putin sempat menyebutkan “schizophrenia politik telah berkembang di Amerika Serikat”. Itu setelah Washington Post menuduh Presiden Trump telah membahayakan negara, karena berbagi data intelijen kepada Rusia. Menurut media terkemuka AS itu, Trump melakukannya ketika bertemu Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Duta Besar Rusia Sergey Kislyak 10 Mei 2017 di Gedung Putih. Padahal, kata Putin, duduk perkaranya tak persis seperti itu, dan kecemasan yang disuarakan pers Amerika itu mengindikasikan berkembangnya schizophrenia politik. Tetapi pada sisi lain tentu saja wajar terjadi kecemasan publik, bila kepala negara mereka melakukan tindakan out of the box berbagi data intelijen penting kepada negara yang secara tradisional adalah “seteru”.

          Ini tak berbeda banyak dengan kecemasan yang melanda sebagian besar man on the street di Indonesia, tatkala TKA asing dari RRT membanjir luar biasa ke Indonesia di masa Presiden Joko Widodo. Terutama karena bersamaan dengan itu, hegemoni ekonomi negara daratan itu ke sini terasa makin tinggi kadarnya. Dan terasumsikan bahwa negara kita memiliki ketergantungan tak kecil karena terjerat hutang luar negeri dari RRT yang sedang menjelma sebagai super power baru itu. Padahal, ingatan sejarah tentang peranan buruk negara itu dalam Peristiwa 30 September 1965 masih cukup membekas. Sementara peristiwa itu sendiri hingga kini belum tuntas diperdebatkan karena ketidakberhasilan menyusun suatu narasi kebenaran sebagai pegangan objektif tentang babak hitam dalam sejarah Indonesia tersebut. Continue reading “Aroma Schizophrenia dan Psikopat di Medan Politik Indonesia”

Corona dan Kegagalan Rezim: “Pay It Forward”

MUNGKIN tak terlalu perlu lagi diperdebatkan –dan hanya perlu diakui secara jujur– bahwa pemerintahan Joko Widodo sejauh ini tak berhasil membendung pandemi Corona. Bermula dari terlambat sadar datangnya bahaya, dan masih sempat membuang waktu dengan berbagai guyon dan retorika tokoh-tokoh kekuasaan yang mengecil-ngecilkan bahaya dengan optimisme tak berdasar.

Bila dikritik dan diingatkan adanya bahaya pandemi, pada mulanya, tokoh-tokoh pemerintahan dengan ketus menyebut para pengeritik berniat menimbulkan kepanikan. Gubernur DKI Anies Baswedan yang secara dini ingin menerapkan lockdown, dikeroyok ramai-ramai. Bahkan ketika pada bulan Maret sudah terbukti adanya korban penularan COVID-19, sejumlah pejabat pemerintah masih juga belum menghentikan kelakar, termasuk saat mulai ada seorang menteri tertular.

The New York Times akhir Juli menyimpulkan dalam beritanya bahwa Indonesia gagal membendung virus Corona. Koran itu menyebut, Presiden Joko Widodo sendiri pada mulanya memandang remeh wabah ini, dan terlambat menutup sementara pintu masuk negara, kegiatan bisnis dan sekolah. Pemerintah sempat membatasi perjalanan, tetapi dengan sangat cepat mencabut larangan terkait. Bahkan bertindak ambigu, mengerahkan influencer berbiaya puluhan milyar rupiah untuk mengundang turis asing masuk Indonesia pada saat secara umum disadari perlu ada pembatasan. Pemerintah pusat seringkali seakan bingung dan tak beraturan antara satu pejabat dengan pejabat lain. Mungkin benar, seperti dikatakan Said Didu sang pengeritik, bahwa pemerintah sesungguhnya telah frustrasi. Continue reading “Corona dan Kegagalan Rezim: “Pay It Forward””

Kemarahan Presiden dan Jalan Komunis Slavoj Žižek di Masa Pandemi

MANA yang lebih menarik? Berita kemarahan Presiden Indonesia Joko Widodo 18 Juni 2020 terkait kinerja rendah kabinetnya atau wacana akademisi Marxist asal Slovenia Slavoj Žižek tentang kebangkitan komunisme baru pada momen pandemi Corona? Bagi bagian terbesar publik dan terutama para politisi, tentu kemarahan Presiden Joko Widodo lebih menarik, terutama karena disertai ancaman reshuffle kabinet dan pembubaran lembaga.

Untuk sebagian, kecaman keras Presiden kepada kabinetnya sendiri seolah mengkonfirmasi pendapat umum tentang kegagalan kabinet Jokowi yang usianya baru hampir tiga kali umur jagung. Bagi publik itu sekaligus semacam tontonan baru. Tetapi bagi para politisi, itu lebih bermakna sebagai adanya peluang baru masuk ke dalam kekuasaan sebagai menteri kabinet. Soal apa, kenapa dan bagaimana sebenarnya kemarahan Joko Widodo itu, hanya beliau dan Tuhan yang maha mengetahui.

Jalan ‘komunis’ dari Slavoj Žižek

Tak cukup banyak diperhatikan, pada waktu hampir bersamaan, menjelang akhir Maret 2020, Slavoj Žižek, tampil menyampaikan sebuah argumen sentral bahwa dengan kemunculan coronavirus, sistem kapitalis dunia perlu diganti. Žižek mengatakan pilihan yang tersedia, sederhana, membiarkan barbarisme di bawah sistem kapitalis atau jalan komunis. “Langkah-langkah yang tampak bagi kita hari ini, jalan ‘komunis’ harus dipertimbangkan di tingkat global.” Continue reading “Kemarahan Presiden dan Jalan Komunis Slavoj Žižek di Masa Pandemi”

Presiden Joko Widodo Dalam Kelambanan dan Hasrat Prematur

DI TENGAH situasi Indonesia yang masih jauh dari berhasil menjejak ke tahap pemulihan pandemi Corona, elite partai dan kekuasaan justru menciptakan rentetan bias yang memecah konsentrasi publik. Pertama, menyodorkan sejumlah RUU dan terkesan ingin menyelesaikannya dengan pola kesempatan dalam kesempitan, semisal Omnibus Law dan terbaru RUU HIP. Belum lagi pemerintah pusat yang tak hentinya menerbitkan Perpu-perpu kontroversial. Seperti Perppu 1/2020 yang telah menjelma menjadi UU No.2/2020, yang memberi kekebalan hukum dalam sistem keuangan penanganan Covid 19. Terhadapnya telah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Iwan Sumule dan kawan-kawan.

Dan adalah pula, saat belum lagi ada keberhasilan melandaikan kurva menanjak penularan, tiba-tiba pemerintah pusat mulai mengampanyekan new normal dengan pemahaman cenderung keliru dan malah mencipta new abnormal.

Kelemahan Presiden Joko Widodo

          Dalam kaitan pengelolaan menghadapi pandemi Covid-19, kendati tetap di puja puji para pendukung, Presiden Joko Widodo juga menuai tak sedikit kritik, termasuk dari kalangan akademisi non politis. Rahmat Yananda, doktor lulusan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, mengeritik Presiden yang seringkali bertindak tak selaras dengan substansi permasalahan dan banyak melakukan publicity stunt. Kalah dari beberapa kepala daerah yang lebih fokus kepada substansi masalah di wilayahnya. Continue reading “Presiden Joko Widodo Dalam Kelambanan dan Hasrat Prematur”

Perilaku Bandit dan Gimmic Politik di Tengah Pandemi Corona

DI SAAT hampir seluruh perhatian terpusat pada bagaimana cara terbaik menghadapi serangan virus Corona, konsentrasi publik kerap terpecah dengan munculnya sejumlah gimmic dan akrobat politik. Bahkan, gejala perilaku bandit. Penulis buku Teori Bandit –yang diluncurkan April 2008– Dr Didik J. Rachbini, awal pekan ini, 12 tahun kemudian, memberi semacam peringatan. “Saya mengingatkan, melalui ilmu pengetahuan dan teori ekonomi politik, bahwa situasi pandemi Covid-19 yang tidak normal seperti sekarang ini bisa tergelincir keluar rel demokrasi.” Karena itu, “Check and balance dan kritik atas kekuasaan harus tetap dijalankan agar kekuasaan tetap dijalankan dengan cara-cara demokratis, dengan aturan main yang baik dan benar –rule of law.”

Jika sekedar gimmick –seperti canda nasi kucing, Indonesia zero Corona, tak masuk karena belum dapat izin, Corona merek sedan dan sebagainya – mungkin hanyalah sekedar humor. Penghiburan dalam konteks mentertawai diri sendiri sebagai pelepas rasa tertekan –kalau toh memang ada rasa tertekan. Tetapi karena dilakukan oleh para petinggi yang pada dasarnya (semestinya) adalah figur teladan, bisa bermakna dan berakibat lain. Mengendurkan sense of crisis di masyarakat. Bagi yang awam, bisa diterima dan dijadikan kepercayaan diri palsu. Continue reading “Perilaku Bandit dan Gimmic Politik di Tengah Pandemi Corona”

Kisah Presiden Joko Widodo di Medan Perang Corona

DALAM perang melawan virus Corona, Presiden Indonesia Joko Widodo ibaratnya adalah salah satu raja atau pemimpin klan dalam drama fantasi Game of Thrones. Harus mengenyampingkan sisa emosi perebutan hegemoni antar klan saat harus berperang melawan ancaman terhadap semua, zombie White Walkers dari balik tebing es raksasa The Wall di utara. Dan sesungguhnya di dunia nyata yang bukan fantasi, saat ini bahaya virus Corona nyata sudah ada di ruang-ruang hidup kita, setelah pintu masuk negara kita –yang sempat terbuka lebar tak terjaga baik– terlewati. Melakukan transmisi lokal di tempat-tempat yang tak selalu bisa kita duga. Membawa kematian dan kesembuhan yang nyaris berbagi dua peluangnya.

Tentu saja panglima tertinggi dalam perang melawan bahaya ‘merah’ dari utara itu, tak bisa tidak adalah Presiden Joko Widodo. Akan tetapi terhadap sang ‘panglima tertinggi’, terlontar banyak kritik. Dianggap terlambat bertindak dan gagap, meski sang presiden sendiri mengatakan sejak mula sebenarnya sudah berkerja dalam senyap. Pohon paling tinggi, tentu paling banyak diterpa angin. Continue reading “Kisah Presiden Joko Widodo di Medan Perang Corona”

Presiden Joko Widodo dan Ujian Virus Corona

SAAT Indonesia berada dalam badai serangan virus Corona yang berasal dari daratan Tiongkok, Presiden Joko Widodo semestinya menjadi bintang lapangan yang memimpin perlawanan. Akan tetapi, ketika tindakan-tindakan antisipasinya selalu terlambat satu hingga dua langkah di belakang, ia justru menjadi sasaran tembak akibat kekecewaan yang meluas di tengah masyarakat. Presiden membantah terlambat bertindak atau tak berbuat apa-apa selama ini, melainkan melakukan ‘operasi senyap’ melawan Corona. Apapun juga, dalam neraca waktu, Presiden dan jajarannya dianggap menyia-nyiakan waktu tak kurang dari dua setengah bulan. Bukan sekedar menyia-nyiakan waktu, menurut kritik yang muncul, masa dua setengah bulan itu malah dihabiskan guna membangun semacam kepercayaan diri yang semu. Tak jarang masa ‘senggang’ itu pun diisi dengan kelakar-kelakar para pejabat yang mencerminkan sikap meremehkan persoalan.

Akan tetapi setelah seakan sempat kembali senyap usai mengumumkan adanya dua korban pertama terpapar virus Corona, dua hari akhir bulan Maret, Presiden Joko Widodo mendadak tampil menyampaikan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Seraya menyatakan bahwa pembatasan itu perlu diikuti dengan Darurat Sipil. Penetapan Darurat Sipil itu terasa terlalu meloncat dan ‘menjanjikan’ tindakan represif yang optimal. Mungkin ini menjadi satu kekeliruan baru lagi dari sang Presiden dalam rangkaian kekeliruan dalam tekanan kasus penyebaran virus Corona. Hanya dalam sehari, langsung merebak kritik yang gencar terhadap embel-embel darurat sipil itu. Joko Widodo sempat ‘memperlunak’ dengan menjelaskan darurat sipil itu baru sekedar opsi. “Darurat sipil itu kita siapkan apabila terjadi kondisi abnormal.” Continue reading “Presiden Joko Widodo dan Ujian Virus Corona”

Dilema dan Kecanggungan Indonesia Dalam Serbuan Virus Corona

TERDAPAT cukup banyak juga sikap khas dan menarik dalam perilaku bangsa Indonesia. Salah satunya adalah kemampuan mentertawai diri sendiri dalam himpitan kesulitan. Lainnya, mampu santai dalam menghadapi masalah seserius apa pun. Dan dalam upaya menyenangkan hati orang lain ada kebiasaan menyampaikan kata-kata hiburan meski seringkali memerlukan sedikit bumbu kebohongan. Dalam situasi dan dosis tertentu, ini semua tidaklah buruk.

Kemampuan mentertawai diri sendiri meski sedang dihimpit kesulitan, bisa membuat masyarakat tak mengalami tekanan batin atau terhinggap stress. Sikap santai dalam batas tertentu membuat tugas berat bisa terasa ringan dan lebih mudah diselesaikan. Penghiburan kepada sesama, khususnya kepada yang sedang mengalami kedukaan, membuat kehidupan sosial lebih sejuk karena anggota masyarakat merasa tak sendirian memikul beban duka.

Namun dengan berjalannya waktu, terjadi begitu banyak perubahan dalam berperilaku di tengah masyarakat. Khususnya akibat makin derasnya arus dan gelombang persaingan politik kekuasaan yang disertai pertarungan ekonomi untuk memperbesar akumulasi dana pribadi dan kelompok. Dua medan pertarungan ini bertalian satu sama lain karena saling memperkuat dan pada waktu yang sama menciptakan ketidakadilan. Melalui dua medan pertarungan ini perilaku masyarakat terkontaminasi dengan penguatan aspek negatif, bagai virus sedang bermutasi. Continue reading “Dilema dan Kecanggungan Indonesia Dalam Serbuan Virus Corona”

Agama dan Pancasila: Membuka Belahan Luka Lama

SIAPA bisa menduga. Mendadak terjadi sebuah silang pendapat seputar Pancasila yang seakan membuka belahan ‘luka lama’ yang pernah terjadi di sekitar momen Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Padahal belahan luka itu sudah dirapatkan kembali dengan sikap bijak dan jiwa besar para pendiri bangsa dan republik ini. Pertama kali langsung di awal kemerdekaan. Dan yang kedua kali, dalam momen Dekrit 5 Juli 1959 yang disampaikan Presiden Soekarno dengan dukungan persetujuan Jenderal AH Nasution dan beberapa tokoh politik Islam.

Ironis bahwa toreh ulang atas luka justru tercipta karena ucapan tak cermat seorang Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila di tahun 2020 saat tokoh-tokoh kekuasaan gencar mengkampanyekan retorika ‘Saya Indonesia Saya Pancasila’ sejak akhir Mei dan awal Juni 2017. Kendati dengan susah payah coba diluruskan kemudian oleh sang Kepala BPIP dan orang-orang pemerintahan, ucapan yang menurut Franz Magnis Suseno (18/2) adalah sembrono, yang telah terekam di kepala khalayak itu, tak bisa ‘dibersihkan’ kembali. Malah, cara klarifikasi yang dilakukan sejumlah orang yang berpretensi sebagai ‘jurubicara’ pemerintah dengan pembenaran artifisial –yang menempatkan publik sebagai awam yang bodoh-bodoh– justru menambah tingkat kejengkelan. Continue reading “Agama dan Pancasila: Membuka Belahan Luka Lama”

Gerakan Kritis Mahasiswa September 2019

CUKUP lama seakan mengalami hibernasi, lewat pertengahan September 2019 ini gerakan kritis mahasiswa –intra maupun ekstra kampus– mendadak tampil cukup massive dan serentak di berbagai kota di seluruh Indonesia. Core gerakan mahasiswa sekali ini, menolak pelemahan anti korupsi melalui revisi UU KPK dan menolak rencana revisi KUHP. Serta ketidakadilan dan pengekangan hak-hak warganegara pada umumnya. Di sana-sini tercetus pula tuntutan agar Presiden Joko Widodo turun dari kekuasaannya, selain mosi tidak percaya kepada DPR yang tak henti-hentinya memproduksi undang-undang yang dianggap menekan rakyat.

Sebelumnya memang, khususnya di sekitar Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden, mahasiswa cenderung muncul sebagai kelompok tak bersuara. Termasuk terhadap isu kecurangan TSM dalam pelaksanaan Pilpres. Meski sebagai perorangan –yang tak jarang disertai pengatasnamaan almamater– ada saja yang terlibat sebagai partisan di salah satu dari dua sisi pembelahan politik. Sempat terkesan pula bahwa Presiden yang sedang berkuasa berhasil ‘menaklukkan’ mahasiswa melalui diplomasi jamuan makan di Istana dengan pemuka mahasiswa. Continue reading “Gerakan Kritis Mahasiswa September 2019”