DI TENGAH situasi Indonesia yang masih jauh dari berhasil menjejak ke tahap pemulihan pandemi Corona, elite partai dan kekuasaan justru menciptakan rentetan bias yang memecah konsentrasi publik. Pertama, menyodorkan sejumlah RUU dan terkesan ingin menyelesaikannya dengan pola kesempatan dalam kesempitan, semisal Omnibus Law dan terbaru RUU HIP. Belum lagi pemerintah pusat yang tak hentinya menerbitkan Perpu-perpu kontroversial. Seperti Perppu 1/2020 yang telah menjelma menjadi UU No.2/2020, yang memberi kekebalan hukum dalam sistem keuangan penanganan Covid 19. Terhadapnya telah diajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi oleh Iwan Sumule dan kawan-kawan.
Dan adalah pula, saat belum lagi ada keberhasilan melandaikan kurva menanjak penularan, tiba-tiba pemerintah pusat mulai mengampanyekan new normal dengan pemahaman cenderung keliru dan malah mencipta new abnormal.
Kelemahan Presiden Joko Widodo
Dalam kaitan pengelolaan menghadapi pandemi Covid-19, kendati tetap di puja puji para pendukung, Presiden Joko Widodo juga menuai tak sedikit kritik, termasuk dari kalangan akademisi non politis. Rahmat Yananda, doktor lulusan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, mengeritik Presiden yang seringkali bertindak tak selaras dengan substansi permasalahan dan banyak melakukan publicity stunt. Kalah dari beberapa kepala daerah yang lebih fokus kepada substansi masalah di wilayahnya.
Kelemahan Presiden Jokowi Widodo dalam mengelola pandemi Covid-19, menurut Rahmat Yananda, adalah kecenderungannya untuk mengedepankan aksi publisitas mencapai tujuan strategis, yaitu pemulihan ekonomi. Aksi ini seringkali tidak selaras dengan substansi permasalahan pandemi. Bahkan aksi tersebut kurang sejalan dengan Gugus Tugas yang berhati-hati dalam berkomunikasi dan membuat keputusan sebagai wajah pemerintah di publik. Sejak awal pandemi, pemerintah lebih fokus kepada persoalan ekonomi daripada kesehatan. Dalam praktiknya, kebijakan pemerintah sarat dengan narasi ekonomi.

Termutakhir adalah kampanye “kenormalan baru” (new normal) yang diinisiasi langsung Presiden dengan melakukan simulasi protokol kesehatan untuk beraktivitas di pusat perbelanjaan. Sementara itu, kasus positif dan meninggal masih bertambah, tes belum maksimal, dan prasyarat lain menuju kenormalan baru belum terpenuhi. Apalagi potensi gelombang kedua juga terbuka. Indonesia masih dalam tahap merespons pandemi, belum masuk ke tahap pemulihan dan masih jauh dari berhasil (Egger dkk., 2020, Deloitte Insight).
Ketika Presiden Jokowi mendorong kenormalan baru dengan simulasi pembukaan pusat perbelanjaan, ternyata pemda lebih cenderung melanjutkan PSBB. Begitu pula, manajemen adaptasi menghadapi Covid-19 terselenggara lebih baik di tangan pemerintah daerah berkoordinasi dengan Gugus Tugas. Awalnya, daerah-daerah memutuskan mengajukan PSBB, melanjutkan proses tersebut dan membawa skala PSBB ke tingkat komunitas, RW dan desa.
Menurut McKinsey (Daly, 2020), banyak pemerintah di negara berkembang di Asia masih dalam tahap sangat awal, yaitu resolve yang akan diikuti tahap resilience, return, reimagine, dan reform. Dalam tahap resolve, pemerintah masih beroperasi dalam moda krisis yang masih jauh dari pembukaan ekonomi (return) karena terlebih dahulu harus memastikan resilience atau daya lenting mengatasi kasus berjalan dan ancaman kasus baru. Di tahap respons, sektor kesehatan bekerja keras melandaikan kurva, meningkatkan kapasitas layanan kesehatan, mengisi kelangkaan alat-alat kesehatan, menyediakan informasi dan panduan, mengendurkan regulasi untuk meningkatkan kapasitas sistem medis (telehealth, obat-obatan, dan lain-lain).
Sektor ekonomi menyediakan anggaran tanggap darurat untuk individu dan bisnis, memberikan bantuan untuk pengangguran, dan menutup serta mengatur ulang bisnis seperti hotel dan industri penerbangan. Sedangkan sektor pemerintah meningkatkan kapasitas untuk membantu kelompok terdampak, menutup perkantoran dan mengembangkan telework, memastikan keamanan pekerja layanan publik, memaksimalkan penggunaan TI dan keamanan siber, dan memperpanjang tenggat (pajak, sensus, dan lain-lain).
Di tahap respons, simulasi pembukaan pusat perbelanjaan yang dilakukan Presiden seharusnya tidak menjadi prioritas. Simulasi Presiden tersebut merupakan publicity stunt. Aksi spontan atau terencana di tengah-tengah publik untuk mendapatkan dampak publisitas langsung atau memviralkannya setelah aksi dilakukan. Beberapa kali Presiden melakukan aksi sejenis untuk menyampaikan bantuan. Presiden membagikan bantuan di pinggir jalan dan mendatangi perkampungan penduduk.
Dalam tahapan respons/penyelesaian, aksi mengusung tema pembukaan ekonomi tidak mewakili substansi pandemi karena yang harus dilakukan adalah memastikan langkah-langkah yang terukur untuk melakukan tes, mengarantina, melakukan pengobatan, dan mendukung layanan kesehatan. Langkah berbeda Presiden dengan melakukan simulasi ke pusat perbelanjaan adalah peluncuran/sosialisasi awal kebijakan kenormalan baru, seakan-akan Indonesia telah masuk ke dalam tahap pemulihan/kemajuan. Fokusnya adalah ekonomi, yang dalam praktiknya adalah pelonggaran PSBB. Sementara bukti-bukti yang relevan menunjukkan Indonesia masih di tahap respon, bergulat dengan krisis kesehatan.
Kenormalan baru jangan sampai prematur
Ketergesaan masuk ke tahap pembukaan ekonomi dengan mengampanyekan “normal baru” telah menjadi buzzword, yang dapat saja tergelincir menjadikan capaian di tahap respons prematur. Sejatinya, kata Rahmat, konsep kenormalan baru terpadu dengan keseluruhan rangkaian kebijakan pengelolaan pandemi setelah respons terhadap pandemi terkelola. Keputusan masuk ke normal baru harus dilakukan berbasis konteks daerah, semisal Adaptasi Kebiasaan Baru ala Ridwan Kamil atau PSBB Transisi versi Anies Baswedan.
Menurut WHO langkah-langkah respons sebelum masuk normal baru adalah: Jumlah kasus terinfeksi telah mengalami penurunan (< 1) dalam kurun waktu tertentu (14 hari); Penurunan kasus harus diikuti kemampuan layanan kesehatan mengidentifikasi, mengisolasi, melakukan tes, melacak kontak, mengarantina; Kelompok yang memiliki kerentanan tinggi tertular seperti panti jompo, fasilitas kesehatan mental, pemukiman padat mendapatkan perlindungan; Langkah-langkah pencegahan dipastikan telah menjadi kebiasaan warga sehari-hari.
Kenormalan baru yang prematur bisa terjadi jika serangkaian kebijakan terpadu tersebut tak diikuti kedisiplinan. Terlalu cepat melakukan pelonggaran dikhawatiran banyak pihak. PM Kanada Trudeau mengingatkan, negara itu masih dalam tahap pemulihan ketika Provinsi Quebec merencanakan dua kali pembukaan ekonomi secara bertahap. Menurutnya, pembukaan kembali secara dini dapat mengembalikan Kanada ke karantina karena adanya ancaman gelombang kedua selama musim panas (Reuters.com). Pemerintah daerah di Meksiko menolak seruan Presiden Andrés Manuel López Obrador membuka kembali ekonomi di sekitar 300 kota yang tak memiliki kasus aktif. Para pemimpin daerah menunggu sampai Juni sebelum melanjutkan kegiatan normal. Para dokter di garis depan khawatir, pembukaan dini dapat menyebabkan gelombang kedua, seperti di Chili dan Guatemala, sehingga pemerintah membatalkan pembukaan kembali (apnews.com).
APA yang diingatkan Rahmat Yananda, agar new normal jangan sampai prematur, perlu disepakati. Para elite politik dan kekuasaan hendaknya berhenti mencipta bias-bias yang membuyarkan fokus. Lebih baik membantu mencegah normal baru prematur. New normal prematur atas nama penyelamatan ekonomi, bisa berarti melepas rakyat berjuang sendiri mencapai herd immunity dan terbiarkan menjalani begitu saja ajang survival of the fittest. Mereka yang kuat –secara jasmani dan ekonomi– berpeluang untuk selamat, dan yang lemah bernasib buruk ke luar dari gelanggang kehidupan. Seolah mencipta piramida kurban manusia, yang menjadi kelaziman kekuasaan tiran dengan pemimpin psikopatik di abad-abad gelap dalam sejarah. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa