PASCA Soekarno dan Soeharto, selalu, setiap kali bangsa ini usai menyelesaikan penentuan pimpinan nasional –baik melalui Sidang Umum MPR maupun pemilihan umum langsung– terbit harapan baru di sebagian terbesar masyarakat. Bahwa, esok hari, dengan sentuhan-sentuhan baru, negara akan lebih baik daripada masa sebelumnya. Khusus bagi kalangan akar rumput, harapan utama adalah peningkatan kualitas hidup melalui kesempatan-kesempatan ekonomi. Akan tetapi selalu juga, tak perlu menanti lama-lama, ekspektasi tinggi yang ada di tengah masyarakat segera patah satu demi satu bersama waktu.
Saat kursi-kursi kabinet selesai dibagi, bersamaan terbaginya kue rezeki ekonomi, gelombang kritik mulai tampil satu persatu berurutan. Dan sebagai antitesa, mereka yang berada dan terbawa dalam posisi pun gencar melakukan pembelaan dan atau pembenaran terhadap berbagai langkah presiden baru. Catatan empiris menunjukkan, kritik di satu pihak maupun pemuliaan keberhasilan di sisi yang lain, cenderung dilakukan sama subjektif dan artifisialnya.
Tampaknya di sini perlu meminjam konstatasi sejumlah orang –yang terdiri dari sejumlah tokoh yang pernah jadi pelaku dalam pengelolaan negara maupun pelaku aktivisme gerakan kritis dan akademisi– berikut ini. Bahwa ada kerisauan soal kepemimpinan dan pemimpin bangsa. Selama ini sistem politik –tepatnya ‘permainan politik’– yang ada selalu memfait-accompli kita semua pada pilihan the bad among the worst. Bahwa belakangan ini, kita seringkali seakan kembali ke alam feodalistik, saat begitu banyak orang, termasuk kaum berpindidikan tinggi, terbiasa lagi menokohkan seorang pemimpin dengan pemujaan yang berlebih-lebihan lengkap dengan fanatisme yang tak masuk akal. Apa kita belum menarik pelajaran dari yang pernah terjadi dengan Soekarno dan Soeharto, yang menjadi otoriter karena pemujaaan dan pengkultusan di luar takaran wajar?

Soekarno dan Soeharto adalah dua pemimpin besar dalam sejarah Indonesia. Namun, mereka terlalu lama berkuasa. Ini suatu kekurangan yang pernah terjadi dalam konteks pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Masa kekuasaan mereka berdua telah menghabiskan lebih dari setengah abad 20. Keduanya cemerlang di awal masa kekuasaan, akan tetapi cenderung mengisi bagian-bagian akhir kekuasaan mereka dengan sejumlah kekeliruan fatal. Lalu, sama-sama berakhir melalui kecelakaan sejarah –historical by accident– berupa pergantian kekuasaan yang tak nyaman. ‘Kecelakaan’ yang seakan mendorong kembali bangsa ini nyaris hingga ke titik nol pembangunan politik.
Kita perlu menyampaikan catatan kesimpulan berikut ini: Penguasa baru pasca Soekarno dan Soeharto, pun ternyata tak punya kemampuan keluar dari lingkaran kekeliruan persepsi dan tak mampu menarik pelajaran dari sejarah, betapa pun mereka merasa paham sejarah. Para presiden dengan kadar yang berbeda-beda cenderung mengulangi kekeliruan demi kekeliruan masa lampau. Akibat langsung dari ketiadaan kepemimpinan terbaik, adalah penularan situasi yang sama yang melajur hingga ke bawah. Salah satu akibatnya, seperti terasakan hingga kini, terjadi banyak kegamangan dalam praktik pemerintahan.
Pemimpin nasional terbaru, Presiden Joko Widodo, banyak mengadaptasi gaya dan retorika kepemimpinan Soekarno. Bung Karno adalah orator ulung yang selalu menggelorakan Bhinneka Tunggal Ika dengan fokus utama pada ketunggal-ikaan. Sementara itu, Presiden Joko Widodo terkesan jauh lebih fokus pada azimat kebhinnekaan atau keberagaman. Ada sedikit perbedaan kadar pandangan sosiologis, tentang mana yang di depan dan mana yang yang di urutan kedua, yang lahir dari pengalaman berbeda. Kurun waktu Soekarno memang lebih dekat pada trauma sejarah, saat kaum kolonial sempat mengolah keberaneka-ragaman Nusantara sebagai ladang divide et impera.
Dalam pembangunan ekonomi, Soekarno menawarkan semangat berdikari, berdiri di atas kaki sendiri. Tidak menggantungkan diri pada bantuan (modal) asing. Idealisme Soekarno itu barangkali tidak pas dengan masa ‘kebangkitan’ kembali ekonomi liberalistik kapitalistik pasca Perang Dunia II kala itu. Akan tetapi sebagai semangat dasar, prinsip kemandirian Soekarno itu perlu dipertimbangkan saat berkayuh di tengah sistem dan dinamika ekonomi global saat ini. Tanpa menjadi hipokrit dengan retorika ekonomi kerakyatan dan kemandirian, tetapi kaki berpijak dan tangan berpegangan dalam ekonomi yang di sana sini praktis beraroma liberalistik kapitalistik. Bergelimang dalam fenomena pembiaran wealth driven melajur dominan di seluruh bidang kehidupan bangsa –ekonomi, politik, pemerintahan dan hukum.
Tentu, tak jadi soal bila Presiden Joko Widodo memilih untuk banyak merujuk dan mengadaptasi gaya dan langgam kepemimpinan Soekarno. Tetapi seperti yang terbaca dalam arus kritik selama tiga setengah tahun ini, pasti tak diharapkan memilih bagian-bagian yang tak berhasil dan keliru –ekonomi yang terpuruk, kehidupan sosial-politik yang serba retoris belaka, praktek kekuasaan represif dan cenderung otoriter– yang telah membawa Soekarno ke pengakhiran peran dan kekuasaan. (media-karya.com – diadaptasi dari socio-politica.com)