Dilema Kepartaian Indonesia: Oligarki

DI ATAS kertas, mengikuti definisi umum yang ada, partai-partai politik di Indonesia adalah organisasi rakyat yang berusaha mengadakan kontrol, mempengaruhi dan membawakan cita-cita serta program dalam upaya menjalankan kehidupan bernegara di republik ini. Untuk itu, partai(-partai) politik Indonesia melalui siklus lima tahunan berusaha meraih kekuasaan dengan menempatkan anggota-anggotanya dalam posisi legislatif dan eksekutif, serta mendorong penempatan profesional di bidang judikatif. Dengan pemosisian itu, maka sebuah partai memiliki kekuasaan yang membuatnya mampu melaksanakan cita-cita dan program sesuai aspirasi dan kehendak golongan rakyat yang yang di’bawa’kannya. Partai dengan demikian, tak terkecuali di Indonesia, adalah alat demokrasi. Walaupun, sebaliknya keberadaan partai politik belum dengan sendirinya menjamin adanya demokrasi.

Masih di atas kertas, setidaknya dalam dua dasawarsa terakhir, sesuai klaim bersama sebagai negara dengan sistem demokrasi modern yang menggunakan mekanisme perwakilan, maka kehadiran partai-partai politik di Indonesia menjadi keharusan. Dan saat ini kita melihat betapa partai-partai politik di Indonesia telah menjadi para pemegang mandat utama pelaksanaan kedaulatan rakyat. Mereka, misalnya, dengan limitasi tertentu, menjadi satu-satunya institusi yang berhak mengajukan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan rakyat sendiri, sebanyak apapun jumlahnya sebagai kelompok, tak bisa mengajukan calon pemimpin negara tanpa melalui partai. Secara keseluruhan partai memiliki suatu posisi kekuasaan yang sepanjang hampir 5 tahun kadangkala terkesan telah melebihi ‘kekuasaan’ rakyat itu sendiri –yang secara teoritis adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara demokrasi.

GERAKAN MASSA 212. Karena kanal partai politik sejauh ini ternyata bukan sarana menyalurkan aspirasi rakyat dengan baik –untuk tidak menyebutnya mengalami penyumbatan– maka sebagai gantinya muncul berbagai gerakan masyarakat sebagai penyampai. Gerakan 212 salah satu contohnya. Partai oligarkis hanya akan mengutamakan kepentingan elite partai, nyaris tak mungkin punya sikap altruisme. (foto-foto: download aktual dan validnews)

Kehadiran partai politik telah menjadi keperluan sejak pendapat umum dijadikan pedoman bagi arah politik yang hendak dijalankan. Ada asumsi berdasarkan pengalaman empiris sebelum ini, yang seringkali dianggap masih berlaku, bahwa pendapat dan kehendak rakyat tak selalu bisa dirumuskan secara jelas oleh rakyat sendiri, sehingga diperlukan kehadiran partai sebagai pengarah dan penyalur aspirasi.

Ada sebuah catatan ensiklopedis yang pernah dikemukakan sebuah media generasi muda, dimasa peralihan Soekarno-Soeharto, yang esensinya menyebutkan bahwa pendapat, kehendak dan kepentingan rakyat sering samar-samar dan terombang-ambing. Bila kehendak dan kepentingan itu tidak terpenuhi, akan mudah timbul kekacauan yang bisa berakhir dengan cara-cara kekerasan untuk memperoleh perubahan pemerintahan dan atau situasi sosial-politik.

Bila diproyeksikan pada situasi sekarang, pendapat, kehendak dan kepentingan rakyat tak lagi samar-samar. Pasca Soeharto, banyak gerakan masyarakat yang mampu menyampaikan kehendaknya dengan jelas, meski sebagian rakyat kalangan akar rumput masih hidup dalam keadaan sosial, ekonomis dan politik yang kerap masih terombang-ambing. Justru partai-partai politik lah yang dari hari ke hari makin menunjukkan ketakmampuan mem’baca’ aspirasi rakyat dengan baik. Setiap pemimpin dan tokoh partai senantiasa beretorika menunjukkan betapa mereka mengerti apa yang diinginkan rakyat, namun tindakan-tindakan politik yang dihasilkan jauh berbeda dari isi retorika itu. Baik di dalam lembaga legislatif maupun di dalam lembaga pemerintahan.

Mana mungkin tak ada di antara seisi partai yang bisa membaca dan memahami aspirasi rakyat? Ada. Barangkali saja tak sedikit. Tapi merupakan fakta bahwa di dalam beberapa partai di Indonesia ini, selalu tampil tirani minoritas, yang mampu mengalahkan mayoritas anggota dalam setiap kongres atau musyawarah nasional partai. Faktornya macam-macam, baik karena kepemilikan akumulasi uang yang banyak, situasi feodalistik yang bersatu padu dengan pengkultusan bahkan pemitosan tokoh, termasuk pengaruh tokoh yang diwariskan kepada putera-puterinya. Dan tentu saja juga manipulasi terhadap ‘kebodohan’ massa pendukung. Bukan tak mungkin, ada faktor persekongkolan. Partai-partai semacam itu, tanpa perlu menyebut contoh, kita sebut partai oligarki, yang pastilah menjadi antitesis terhadap partai ideal yang demokratis.

Dengan sendirinya, tak mungkin partai-partai oligarkis yang demokrasinya hanya sebatas retorika, secara formal bisa utuh menempatkan diri pada posisi memahami aspirasi rakyat. Karena kanal partai politik sejauh ini ternyata bukan sarana menyalurkan aspirasi rakyat dengan baik –untuk tidak menyebutnya mengalami penyumbatan– maka sebagai gantinya muncul berbagai gerakan masyarakat sebagai penyampai. Gerakan 212 salah satu contohnya. Partai oligarkis hanya akan mengutamakan kepentingan elite partai, nyaris tak mungkin punya sikap altruisme. Partai Golkar yang mulanya adalah kekuatan sosial, mestinya terhindar dari wujud partai oligarkis.

Inilah salah satu dilema kepartaian Indonesia yang menonjol saat ini, di antara aneka dilema lainnya. Antara lain dalam hubungan sebab akibat dari fenomena wealth driven economy dengan derivatnya yang berupa wealth driven politic, wealth driven government dan juga wealth driven law sebagai ikutan. Persoalan lain, partai-partai incumbent saat ini, secara umum tak lahir dengan pengalaman gerakan sosial melainkan lebih sebagai gerakan politik sejak mula. (Berikutnya di Media Karya – Dilema Kepartaian Indonesia: Politik Uang).

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s