Presiden Joko Widodo Dalam Fenomena Kelemahan Manusiawi

SEBUAH tulisan pembaca yang sangat menarik muncul di Harian Kompas Selasa 17 Juli 2018, mengenai kelemahan manusiawi Presiden Joko Widodo. Ini hanya berselang satu-dua hari dari pelontaran isu politisi kompor dari beliau dan peristiwa kecil salah sebut nama desa di Bantul. Juga bersamaan waktu dengan hari-hari euphoria tentang ‘keberhasilan merebut 51 persen saham Freeport’ setelah lebih dari setengah abad kehadiran perusahaan Amerika itu di Indonesia. Padahal, ternyata, setelah para akademisi dan ahli bicara, menjadi jelas lekak-liku persoalan objektif tambang di Papua itu sangat rumit dan tak sesederhana penggambaran dalam berita glory dari pemerintah yang menjadi awal dari euphoria.

Menggunakan analogi ‘Tumit Achilles’ pembaca bernama Hadisudjono Sastrosatomo menulis “Meskipun diserang, difitnah dan diolok-olok, Presiden Jokowi tetap tegar dan terus berkarya dengan keyakinannya sebagai nakhoda Republik Indonesia tercinta ini.” Kelemahan yang manusiawi pasti dimiliki setiap orang, tetapi bilamana orang tersebut menyadarinya, ia akan dapat mengurangi dampak buruk dari kelemahan tadi. “Ibarat mitologi Yunani, Presiden Jokowi seperti Achilles yang selalu perkasa di dalam setiap pertarungan. Namun, Achilles memiliki kelemahan pada tumitnya. Achilles tersungkur setelah ada anak panah yang mengenai tumitnya.” Seraya menggambarkan betapa hebat serangan terhadap kebijakan Presiden Jokowi, Hadisudjono mencoba menjelaskan metafora ‘tumit Achilles’. “Semoga Presiden Joko Widodo segera menyadari bahwa tumit Achilles itu berada di seputarnya, yang dekat dengan Presiden.” Tak bisa tidak yang dimaksud adalah orang-orang di lingkaran dalam sang presiden sendiri.

Sebuah kelemahan manusiawi lainnya, yang mungkin sangat kecil dan bisa dianggap remeh temeh oleh orang pada umumnya, diperlihatkan Presiden ketika meresmikan studio alam sumbangan wanita pengusaha, Mooryati Sudibyo, di sebuah desa di Kabupaten Sleman DIY. Beliau salah sebut nama desa Gamplong sebagai desa Gemplong. Warga yang hadir mengoreksi, “Gamplong pak, …..Gamplong..” Tribun Jogya (16/7) memberitakan “Presiden Jokowi pun lantas mengatakan bahwa dirinya tidak salah. Sebab hanya membaca sesuai teks pidato, yang tertulis Desa Gemplong.” Untuk meyakinkan, Presiden memanggil salah satu warga, Muhammad Soleh, ke panggung. “Coba njenengan baca,” ucap Presiden menunjukkan teks pidato. Soleh membaca, lalu menjawab “Gemplong pak.. Sekertarisnya bapak yang salah.” Di tengah tawa dan tepuk tangan warga, sambil ikut tertawa Jokowi berkata, “Iya kan, Gemplong. Sekertaris saya yang keliru, Mensesneg yang keliru.”

KEMATIAN ACHILLES DALAM LUKISAN PETER PAUL RUBENS. Anak panah menembus tendon di tumit Achilles. Dan kata Said Didu yang paham betul soal Freeport, Presiden hendaknya memperhatikan selalu adanya benalu –yang tak lain adalah orang Indonesia sendiri, yang semoga tak berkategori ‘tumit Achilles’– sebagai sumber kesulitan dalam urusan Freeport. (Lead foto download Okezone)

Peristiwa ringan, penuh canda. Tapi sebenarnya lebih nyaman bila Presiden memilih jawaban ringkas ringan, “Maaf, saya salah….” Dan, tak perlu ‘refleks’ menyalahkan Sekertaris atau Mensesneg di depan publik. Orang juga tahu bahwa yang keliru atau kurang teliti pasti adalah penulis teks dan Mensesneg ikut tidak teliti. Tapi kan yang membaca juga ikut salah? Presiden di awal masa kepresidenan pun pernah salah sebut Makassar ibukota provinsi Sulawesi Utara. Dan dulu di Blitar, Presiden keliru sebut Blitar kota kelahiran Bung Karno. Konon, juga kesalahan staf. Tegur menegur memang perlu juga agar para staf meningkatkan diri. Tapi menurut ilmu kepemimpinan, peneguran sebaiknya di belakang layar saja.

Sebelum masuk ke jajaran staf kepresidenan dan menjadi Ketua BPIP –dan kemudian mengundurkan diri– Yudi Latif 9 Februari 2016 menulis di Harian Kompas, “Berbagai keputusan Presiden Jokowi belakangan ini mulai mencemaskan para pendukungnya.” Yudi waktu itu antara lain mencontohkan keputusan Presiden yang cepat mengabulkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, namun sebaliknya tak responsif terhadap arus aspirasi publik. Jokowi “tampil menjadi presiden karena meroketnya harapan akan pemerintahan yang lebih responsif terhadap aspirasi publik.” Tetapi pada sisi sebaliknya terjadi “pemberian ruang yang melebar bagi pemenuhan kepentingan segelintir orang” saja, sehingga “membuat banyak orang merasa tidak bahagia.” Situasi ini kian menguatkan apatisme pesimisme terhadap janji-janji demokrasi. (Baca socio-politica.com: https://socio-politica.com/2016/02/10/keputusan-dan-kemampuan-kualitatif-presiden-joko-widodo-dalam-kekuasaan-1/)

Mengadopsi narasi socio-politica.com lebih lanjut, sebenarnya, bukan hanya pada 2016 keputusan dan tindakan-tindakan Presiden Jokowi mencemaskan, bukan pula sekedar di kalangan pendukung melainkan cukup meluas di masyarakat, sudah sejak awal masa kepresidenannya. Segala kecemasan yang ada, bagaimana pun bentuknya, mencerminkan adanya kesangsian terhadap kemampuan kualitatif sang pemimpin. Bahkan, kecemasan dan kesangsian itu bila ditelusur ke belakang, sudah ada sebelum Pemilihan Presiden 2014, berupa hanya tersedianya pilihan the bad among the worst di antara pilihan sempit dua pasangan yang tampil kala itu.

Tentu, semua kegaduhan, kekalutan, disorder atau apa pun namanya, bagaimana pun untuk sementara ini tidak bisa dilepaskan dari kelemahan kualitatif kepemimpinan Presiden Joko Widodo khususnya, maupun mungkin Wakil Presiden Jusuf Kalla dan jajaran kabinetnya. Sebagaimana keadaan itu juga tak terlepas dari kelemahan kualitatif para pelaku politik di parlemen –sebagai perpanjangan tangan partai-partai– dan di luar parlemen, serta penegakan hukum yang masih memiliki sejumlah celah untuk dipengaruhi kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Per saat ini, kita semua seakan masih berada dalam lingkaran dengan jeratan pengaruh buruk yang nyata: Terlalu pragmatis mengutamakan kepentingan diri atau kelompok di atas kepentingan ideal demi bangsa dan negara.

ADAGIUM masa lampau bahwa raja tak pernah salah –the king can do no wrong– merupakan adagium sesat di masa modern. Presiden juga bisa salah, bagaimana pun ia seorang manusia. Maka ada mekanisme kritik dan koreksi. Tentu, pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang sangat terbatas melakukan kekeliruan. Suatu kesalahan tak dengan sendirinya membuat seorang pemimpin serta merta buruk. Pemimpin menjadi buruk jika berlama-lama dalam kesalahan dan berlarut-larut dalam upaya memperbaiki akibat kesalahannya. Apalagi, bila tak pernah mau mengakui dan memperbaiki diri. Pemimpin buruk menggali liang kuburnya sendiri.

Hubungan rakyat dengan pemimpin negara –entah itu raja masa lampau, entah itu presiden masa modern– seringkali terjalin secara unik. Jika suatu kesalahan atau kezaliman berlangsung di suatu negeri, tak mudah bagi rakyat segera percaya bahwa sumbernya adalah raja atau presiden sendiri. Selalu dibutuhkan ‘tokoh antara’ sebagai sang antagonis yang perlu dipersalahkan demi menyelamatkan ‘muka’ sang pemimpin. Entah itu para menteri, entah lingkaran dalam lainnya atau elite di seputar sang penguasa puncak. Atau, mempersalahkan pemimpin sebelumnya dan masa lampau.

Jalinan hubungan dengan ‘kepercayaan lebih’ terasa terutama dalam konteks pemimpin negara yang merupakan hasil pilihan suatu mekanisme demokrasi bernama Pemilihan Umum. Tokoh yang terpilih sebagai pemimpin pastilah peraih suara, dukungan dan kepercayaan yang lebih besar. Terhadap sang tokoh, mayoritas rakyat akan memulai dengan percaya bahwa sang pemimpin inilah pembawa perubahan lebih baik ke masa depan. Joko Widodo, Presiden Indonesia 2014-2019, menikmati modal awal seperti itu. Dan bila kepercayaan itu mampu dirawat, bisa berlanjut untuk masa lima tahun berikutnya. Namun sayang, dalam hal Presiden Jokowi, tak sedikit kekeliruan terjadi. Antara lain bersumber pada ‘kelemahan Achilles’ –di samping kelemahan kualitatif ketokohan– yang sering mengundang banyak soal. Selain itu ada kelemahan kualitas komunikasi politik. Kenapa misalnya perlu ada pelontaran tudingan emosional tentang politisi kompor –saat di Ponpes An Najah, Gondang, Sragen 14 Juli– dan mengundang reaksi. Padahal yang dilakukan umumnya adalah kritik dalam konteks sosial kontrol….?

Dalam masalah divestasi saham Freeport, kata seorang pembahas di sebuah talkshow TV Selasa malam (17/7) mungkin Presiden kurang mendapat masukan terbaik dari para menteri dan lingkaran dekatnya. Dan kata Said Didu yang paham betul soal Freeport, Presiden hendaknya memperhatikan selalu adanya benalu –yang tak lain adalah orang Indonesia sendiri, yang semoga tak berkategori ‘tumit Achilles’– sebagai sumber kesulitan dalam urusan Freeport. (socio-politica.com)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s