Dilema Kompetisi Demokrasi Indonesia: Politik Uang

DALAM gelanggang rumor, tergambarkan betapa politik uang menguasai kehidupan bernegara di Indonesia, dari dulu hingga kini. Semua tokoh politik dan kekuasaan mempunyai rumornya masing-masing dalam kaitan politik uang, baik sebagai pelaku aktif maupun sebagai pelaku pasif. Meminjam sebuah judul buku tentang sebuah skandal keuangan (dan politik) di Amerika Serikat, All The Devils Are Here (Bethany McLean & Joe Nocera, 2011), dalam konteks Indonesia semua setan ada di sini. Semua terlibat dalam peran bagaikan devil itu. Tetapi rumor adalah rumor, bisa terbukti benar pada waktunya, bisa juga tetap sebagai rumor yang mungkin tetap teringat tetapi mungkin juga terlupakan. Karena, jangankan rumor, suatu kebenaran berdasar fakta pun bisa terlupakan, saat tak ada penelusuran.

Di tengah arus pencitraan kuat para pendukung pemerintah bahwa kini Indonesia serba lebih bersih, cukup menyentak juga ketika Dr Said Didu Selasa (17/7) lalu dalam talkshow di sebuah TV memunculkan adanya benalu dalam kasus Freeport. Mantan Sesmen BUMN dan Staf Khusus Menteri ESDM ini, mengungkapkan negosiasi dalam kasus Freeport selalu terhambat karena selalu adanya benalu-benalu. Para benalu itu, bukan tokoh-tokoh dari luar, tetapi adalah tokoh-tokoh yang ada di Jakarta. Said Didu adalah salah seorang perunding awal dengan Freeport di tahun 2015, di masa Jokowi. Menurutnya, adalah mengagetkan ketika pihak Freeport bersedia memenuhi permintaan target pendapatan Indonesia paling tidak 60 persen dari revenue tambang, asal dibantu menghilangkan benalu-benalu itu. Akan tetapi perundingan 2015 itu tak dilanjutkan karena teguran Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Luhut Binsar Pandjaitan bahwa perundingan tak boleh dilakukan sebelum 2019. Tercatat bahwa setelah itu, muncul isu papa minta saham yang mengait-ngaitkan nama Presiden. Sayangnya, penyelidikan lanjut oleh Kejaksaan Agung tentang kasus itu tak terdengar lagi saat ini, sehingga publik pun tak bisa mengetahui duduk soal sesungguhnya. Terperiksa utama kala itu, Setya Novanto, belakangan malah terseret kasus lain, suap E-KTP, dan kini mendekam di LP Sukamiskin Bandung.

Tak kalah menyentak adalah ketika KPK kembali melakukan serangkaian penangkapan dan pemeriksaan sejumlah tokoh di kalangan legislatif, BUMN dan pemerintahan, dalam kaitan dugaan korupsi pada PLTU-1 Riau. Proyek bernilai 900 juta USD itu merupakan bagian dari rencana ambisius pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW yang dicanangkan pada awal masa pemerintahan Jokowi-JK. Rupanya tetap berlaku ‘adagium’ terkenal yang dikembangkan dari ucapan penulis Perancis Honoré de Balzac, behind every great fortune there is a crime. Dilengkapi penilaian skeptis terhadap kekuasaan, “Bureaucracy is a giant mechanism operated by pygmies.” Ini berarti tak ada yang berubah dari pengalaman ‘empiris’ bahwa setiap momen beraroma ‘keberuntungan’ besar, cenderung akan diikuti kemunculan pelaku kriminal. Tak jarang, itu semua terkait dengan kalangan kekuasaan dan birokrasi. KPK harus kerja keras, sementara warganegara harus lebih cermat memberikan suaranya dalam pemilihan umum agar mereka yang berkualitas kerdil tak masuk dalam birokrasi dan kekuasaan negara.

JOKO WIDODO DALAM KOMIK GUNAWAN ‘TUKANG MEBEL JADI PRESIDEN’. Apakah Ir Joko Widodo juga tak terhindar dari biaya politik tinggi itu? Sepertinya ‘hukum besi’ sektor anggaran ini berlaku untuk siapa saja, bagi Prabowo Subianto maupun bagi incumbent. Dan akan selalu ada pertanyaan, bagi siapa pun, sumber biayanya dari mana? (Foto lead, berita Pilpres dalam dua pers terkemuka di 2014)

SAAT sejumlah mahasiswa menjelang Peristiwa 15 Januari 1974 melakukan unjuk rasa di Kedutaan Besar Jepang di Jakarta, ada lontaran tudingan bahwa orang Jepang berperilaku bagai economic animal. Seorang diplomat Jepang menjawab, jika orang Jepang adalah economic animal, maka orang Indonesia itu politic animal. Namun menakjubkan bahwa selama 4 dekade setelahnya, banyak manusia Indonesia telah berkembang dan menjelma sebagai politic animal sekaligus economic animal.

Untuk berkiprah dalam kehidupan politik dan kekuasaan sekarang ini, partai-partai maupun tokoh-tokoh yang mengajukan diri ikut kompetisi politik dan kekuasaan, harus mengandalkan biaya besar dan fantastis. Mau tak mau ini mendorong kebanyakan pelaku politik ‘seakan’ memang harus menjadi politic animal sekaligus economic animal. Mengutip sebuah tulisan di socio-politica.com, 4 Juni 2014, tak mungkin ada biaya besar tanpa korupsi dan manipulasi kekuasaan, atau tanpa kerjasama dengan ‘konglomerasi’ kelas naga atau pun kelas yang lebih kecil. Dan, para naga dan mahluk-mahluk ekonomi itu takkan mungkin mengeluarkan dana besar tanpa keharusan pembayaran balik dalam berbagai bentuk. Ini mencipta kolusi dan korupsi. Dalam pada itu, orang per orang yang tampil maju dalam ajang perebutan kursi-kursi lembaga legislatif juga membutuhkan biaya fantastis yang hampir tak lagi masuk akal. Begitu pula bagi mereka yang akan tampil dalam ajang Pilkada. Dan sekali lagi, saat ini biaya-biaya besar hanya tersedia di jalur konspirasi politik dan bisnis. (https://socio-politica.com/2015/06/04/pemberantasan-korupsi-kini-hanya-sebuah-dongeng-malam).

Guru Besar Universitas Islam Negeri Jakarta, Azyumardi Azra, mengatakan keterlibatan donatur atau investor politik membuat proses politik rawan manipulasi. “Tidak jarang investtor politik menanam kaki di beberapa tempat; memberikan ‘sumbangan’ kepada sejumlah pasangan calon. Hasilnya, pasangan mana pun yang menang, sang investor tetap mempunyai kaki dalam pemerintahan. Inilah politik transaksional yang menjadi salah satu akar pokok politik korup.”

Mengutip perhitungan seorang pengamat ekonomi di situs Forbes, beberapa bulan menjelang Pemilihan Presiden 2014, Tempo (22/11/2013) menyebutkan seorang kandidat presiden harus menyiapkan 600 juta USD. Bila menggunakan kurs Juli 2018 sama dengan kurang lebih 8,6 trilyun rupiah. Hampir dua tahun lalu, pemimpin PKB, Muhaimin Iskandar, dikutip jaringan media online Tribun News, berbicara di depan Halaqah Ulama Rakyat (28/11/2016) mengatakan “Jangan mimpi jadi presiden kalau tidak punya duit 10 triliun rupiah. Jangan mimpi jadi gubernur kalau tak punya duit 100 milyar, minimal.” Tapi tahun ini, Muhaimin memberi angka lebih kecil, minimal 4,5 trilyun rupiah. Dan ia pun menawarkan diri sebagai wakil presiden saja dulu.

Untuk apa saja biaya trilyunan itu? Bisa disebutkan pos-pos yang sudah menjadi pengetahuan umum, seperti biaya operasi mesin partai pendukung, biaya publikasi dan pencitraan sampai dengan biaya kampanye dan penyediaan saksi-saksi berjumlah besar di TPS-TPS. Di balik itu, tentu saja penggalangan dan pengerahan tokoh-tokoh mass organizer, konsultan dan pelaksana konsolidasi pendukung, pengerahan jurubicara-jurubicara pencitraan dan sebagainya. Fee para penggerak yang umumnya bekerja di balik layar ini, sama diketahui tidak murah. Biaya operasi belakang layar, menurut catatan berdasar pengalaman empiris, seringkali menjadi pos pengeluaran yang besar dan berada di luar pengetahuan publik.

APAKAH Ir Joko Widodo juga tak terhindar dari biaya politik tinggi itu? Sepertinya ‘hukum besi’ sektor anggaran ini berlaku untuk siapa saja, bagi Prabowo Subianto maupun bagi incumbent. Dan akan selalu ada pertanyaan, bagi siapa pun, sumber biayanya dari mana? Tapi terlepas dari itu, di atas kertas incumbent selalu lebih diuntungkan. Setiap kata dan pembicaraannya, dipublikasikan seluruh media dengan cuma-cuma.  Setiap gerak kerja dalam menjalankan pemerintahan berpotensi menjadi bahan pencitraan yang menguntungkan. Tokoh-tokoh pendukung berkategori jangkar dan punya nilai opinion leader bisa dikompensasi dengan penempatan-penempatan dalam posisi dibiayai negara, semisal sebagai komisaris-komisaris BUMN bergaji tinggi. Tetapi sebagai imbangannya, risikonya juga besar. Suatu kegagalan –ekonomi, sosial, politik, hukum– akan ditagih dengan bunga lebih mahal.

Kemudian, apakah juga bagi incumbent berlaku adagium behind every great fortunes there is a crime? Tentu bisa dijawab, kenapa tidak? Tapi, ini pertanyaan yang sulit dan riskan untuk diberi jawab oleh kalangan publik. Salah jawab bisa berisiko hukum, hanya dengan sekedar indikasi dan analisa bisa dianggap cuma prasangka, fitnah atau black campaign. Khusus untuk Ir Joko Widodo, sejauh ini sungguh menakjubkan betapa tak sedikit orang yang berani bersaksi bahwa hingga sekarang, di masa kepresidenan beliau, kekuasaan masih dijalankan dengan bersih. Bahwa ada riak-riak prasangka bermunculan, tentu saja tak bisa sepenuhnya dicegah. Setiap orang kan punya cara menilai dan daya analisa sendiri? Tapi bagaimana duduk kebenarannya yang sejati, time will tell…… (media-karya.com)

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s