Saat Masjid Dilanda Stigmatisasi

MELAKUKAN penelitian selama tiga pekan –29 September hingga 21 Oktober 2017– Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan tiba pada kesimpulan bahwa terdapat 41 masjid dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga dan BUMN telah terpapar paham radikalisme. Kesimpulan itu disajikan ke publik dalam satu presentase di depan pers Minggu 8 Juli yang baru lalu.

Kesimpulan diambil berdasarkan data khutbah Jumat yang direkam audio dan video, serta data berupa buletin, kalender, majalah. Penelitian mengukur sikap terhadap khilafah, sikap terhadap agama lain, sikap terhadap minoritas, serta mencatat penyampaian-penyampaian ujaran kebencian. Disebutkan setiap minggu rata-rata terkumpul 90 persen rekaman audio. Perekaman audio dan video dilakukan ala spion, diam-diam agar jangan diketahui jamaah. Maka tak selalu berhasil ada rekaman, antara lain karena alasan keamanan (dicurigai) atau posisi terlalu mencolok sehingga tak mungkin melakukan perekaman.

Hasil penelitian akhirnya lebih menyerupai resume pengamatan intelejen yang disistimatikkan tampilannya untuk presentasi. Sampelnya pun tidak rinci teridentifikasi. P3M dalam kesimpulannya menyatakan “Gejala radikalisasi di masjid-masjid Kementerian, Lembaga dan BUMN cukup kuat. Ini setidaknya terlihat dari 41 masjid terindikasi radikal.” Masjid-masjid BUMN adalah yang paling rentan penyusupan dari apa yang para peneliti P3M sebutkan sebagai kelompok radikal. Separuh dari 37 masjid BUMN terindikasi radikal. Sementara 6 dari 8 masjid lembaga terindikasi radikal tinggi. Ada 33 persen masjid Kementerian tersusupi radikal tinggi, 41 persen tersusupi radikal rendah. Tingginya gejala radikalisasi di masjid-masjid itu “menunjukkan pemerintah sepertinya kurang peduli terhadap masjid-masjid yang struktural berada di bawah mereka.” Tetapi terhadap kesimpulannya sendiri P3M memberi catatan “Temuan ini lebih bersifat indikatif ketimbang konklusif. Karena itu perlu pendalaman terhadap hasil temuan ini.” Melengkapi kesimpulan, P3M memberi rekomendasi antara lain agar pemerintah lebih peduli dan agar ormas-ormas moderat lebih aktif berdakwah di masjid-masjid pemerintah.

AZYUMARDI AZRA DI KOMPLEKS ISTANA KEPRESIDENAN. Azyumardi Azra mengungkapkan, awalnya topik tersebut dicetuskan salah satu tamu, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid.” Menurut Azyumardi, “Mbak Alissa mengatakan, sekitar 40 masjid yang dia survei di Jakarta penceramahnya radikal, mengajarkan intoleransi dan radikalisme.” Segera terjadi gelombang pro kontra. (Foto download Kompas. Foto lead, silhouette Masjid yang Damai, download)

Semula berembus dari Istana. Sebulan sebelum release penelitian P3M, menurut laporan Jessi Carina di Kompas.com isu radikalisme di masjid Jakarta sebenarnya telah berembus dari sebuah pertemuan di Istana. “Ketika itu, Presiden Joko Widodo mengundang 42 tokoh praktisi sosial, budaya, pendidikan, dan agama untuk berdiskusi. Dalam diskusi, Jokowi diberi tahu tentang paham radikalisme di masjid… Azyumardi Azra mengungkapkan, awalnya topik tersebut dicetuskan salah satu tamu, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid.” Menurut Azyumardi, “Mbak Alissa mengatakan, sekitar 40 masjid yang dia survei di Jakarta penceramahnya radikal, mengajarkan intoleransi dan radikalisme.” Segera terjadi gelombang pro kontra. Mana mungkin ada masjid yang radikal, ujar Ketua MPR Zulkifli Hasan. Umumnya para tokoh menyerukan jangan lagi ada kegaduhan karena stigmatisasi. Apakah yang dimaksud Alissa adalah masjid berbeda, atau tak lain juga adalah masjid yang diteliti P3M dan Rumah Kebangsaan?

Jika penelitian P3M itu memang berkategori sekedar pengamatan –yang tak mampu mengukur sejauh mana radikalisasi mempengaruhi jamaah masjid akibat penyusupan dari yang mereka sebut kaum radikal– semestinya tak usah dipresentasikan ke pers dan publik. Langsung saja diberikan ke instansi yang berkompeten di pemerintahan untuk ditangani dalam wujud pembinaan dan atau lebih jauh penindakan hukum bila memang melanggar perundang-undangan. Penyampaian ke publik dengan bentuk tak sempurna sebagai hasil penelitian hanya akan menciptakan polusi informasi dengan dampak yang mungkin tak terukur lagi. Salah satunya adalah ikut memperbesar gelombang stigmatisasi masjid sebagai pusat penyebaran radikalisme dan bahkan memperbesar arus stigmatisasi kelompok Islam sebagai sumber daya manusia utama radikalisme destruktif. Dan ini hanya menimbulkan perasaan disudutkan di kalangan umat. Pada sisi lain mencipta suasana paranoia politik.

Definisi dan konotasi. Selain itu, tak kalah penting, ada soal definisi radikal dan radikalisme –yang  digunakan P3M dan juga Alissa Wahid.  Dalam diskusi publik di Jakarta Selatan 10/7 lalu, pakar masalah terorisme di Asia Tenggara, Sidney Jones dari International Crisis Group, mengingatkan pentingnya pemahaman definisi radikalisme. Tempo mengutip Sidney, pemahaman istilah radikalisme saat ini terlalu luas. Jika seseorang berkata negara khilafah adalah sistem yang baik, maka tak serta merta ia telah terpapar radikalisme. Dan, “selama mereka tidak menolak demokrasi, mengatakan khilafah adalah sistem yang baik oke-oke saja.” Dasarnya, “pemahaman atas khilafah itu sendiri bisa dijadikan panutan seseorang dalam bertindak tanpa harus mengganti sistem demokrasi suatu negara.”

Dalam ensiklopedia Merriam Webster, radikalisme didefinisikan sebagai (1) the quality or state of being radical, dan (2) the doctrines or principles of radicals. Sedang kata radikal mempunyai arti ‘secara mendasar, hingga tahap prinsip’. Juga bermakna ‘amat keras menuntut perubahan’, selain bermakna ‘maju dalam berpikir atau bertindak’ –out of the box. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) definisi ‘radikalisme’ dibuat konotatif, yakni 1 Paham atau aliran yang radikal dalam politik; 2 Paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; 3 Sikap ekstrem dalam aliran politik.

Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar mengatakan “radikal itu bisa dari sisi pikiran mendasar atau dalam. Tetapi radikal itu tidak selalu diikuti tindakan kekerasan.” Pikiran radikal baru akan berbahaya bila pemikiran radikal itu menyimpang kemudian diikuti tindakan kekerasan (23/5/2018).

UU Anti Terorisme yang disahkan DPR-RI 25 Mei 2018 –sebagai hasil revisi UU Nomor 15 tahun 2003– juga belum tuntas dalam pendefinisian radikalisme. Pemahaman mengenai radikalisme dalam UU itu masih terlalu luas. Namun, dalam konteks penegakan hukum per saat ini, dengan segala konsekuensinya, UU itulah yang harus menjadi patokan. Di lapangan, tentu saja penafsiran aparat BNPT yang berlaku. Menurut Irfan Idris –Kepala Humas dan Pusat Informasi BNPT– lembaga itu memiliki 4 kriteria tentang radikalisme dan akan bertindak berdasarkan itu. “Kriteria pertama, yakni radikalisme bisa ditimbulkan dari ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan mengatasnamakan agama. Kedua, mengkafirkan orang lain. Ketiga, mendukung, menyebarkan dan mengajak bergabung dengan ISIS. Terakhir, memaknai jihad secara terbatas.” (Tribun News 24/5). Kriteria ini mengarah kepada kelompok agama, khususnya Islam.

Membatasi generalisasi dan stigmatisasi. Terlepas dari uraian di atas, dan tanpa menunjuk siapa-siapa, rasanya perlu mengingatkan ke semua pihak –eksternal maupun internal penganut Islam, elite politik dan juga kalangan kekuasaan– agar mulai membatasi diri, tak terlalu banyak melakukan generalisasi dan stigmatisasi. Generalisasi bahwa salah satu sumber radikalisme dengan kekerasan –sebutkanlah terorisme– adalah kelompok Islam, akan membuat semua orang yang memiliki identitas sama kendati ‘tak pernah melakukan apa-apa’ merasa ikut jadi tertuduh. Stigmatisasi kampus, pesantren dan masjid telah terpapar radikalisme –meskipun belum jelas kadar dan wujudnya– pun akan berakibat sama.

Bila generalisasi dan stigmatisasi dilakukan terlalu berlebihan dan instensif, akan menyebabkan perlukaan di hati sanubari, kendati bisa saja hanya di bawah sadar –subconcious trauma. Apalagi ditambah perlakuan tak adil-seimbang dari penguasa. Dalam hal tertentu bila terlalu menyudutkan dan massive, akan memacu mekanisme mempertahankan diri, tanpa perduli apakah yang tersudutkan itu sesungguhnya secara mayoritas hanyalah kelompok moderat. Massa yang turut dalam Aksi 411 dan Aksi 212 sebagian terbesar sebenarnya adalah kaum moderat yang tak terlibat bahkan sekedar dalam perang ujaran kebencian. Menghadapi persekusi massive terhadap agamanya –dan perilaku persekusi dan ujaran kebencian selalu terselip di kelompok mana pun– dalam banyak peristiwa, kaum moderat seakan didorong keadaan untuk ‘tersatukan’ dengan kelompok yang mungkin saja tergolong radikalis ekstrim. Mekanisme defensif tak selalu bisa diduga arah dan bentuknya, bisa berbentuk depresi yang menghancurkan ke dalam diri bisa pula berwujud agresi ke arah luar (media-karya.com).

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s