Tag: Jusuf Kalla

Bernafas dalam Demokrasi Kriminal

BERKALI-KALI secara spesifik ekonom Rizal Ramli menyebut demokrasi Indonesia adalah criminal democracy –demokrasi kriminal atau demokrasi para penjahat. Terbaru penyebutan itu disampaikannya dalam talk show tvOne Selasa malam 11 Februari 2020, antara lain bersama Jusuf Kalla. Dan dikritik Mahfud MD selalu menyampaikan soal itu ke itu saja dari waktu ke waktu. Demokrasi kriminal dalam narasi Rizal Ramli –tokoh gerakan kritis mahasiswa 1978– terkait dengan praktek politik uang. Dalam kontestasi demokrasi mencari posisi kekuasaan –pemilihan bupati/walikota, gubernur, presiden-wakil presiden maupun pemilihan anggota legislatif– selalu ada aroma politik uang.

Untuk menjadi bupati, walikota, gubernur, anggota legislatif berbagai tingkat, menurut pengetahuan publik, seseorang harus menyiapkan uang setidaknya 10 miliar rupiah hingga skala puluhan atau ratusan miliar. Untuk jabatan tertinggi di republik, bahkan berskala triliunan. Dan bagaimana memperoleh uang sebanyak itu? Tak bisa tidak melalui jalan pintas persekongkolan dengan para konglomerat hitam dan kaum koruptor. Sejauh ini, sepertinya tak ada jalan lain. Terungkapnya kasus manipulasi belasan triliun rupiah di BUMN Jiwasraya yang disusul pengungkapan serupa di beberapa BUMN lain, segera dikaitkan banyak pihak di masyarakat dengan kampanye pemilihan presiden 2019. Maka muncul tuntutan dilakukannya penelusuran lanjut secara tuntas terhadap kasus Jiwasraya maupun terhadap kasus-kasus serupa yang secara beruntun terjadi sebelum dan sesudahnya. Continue reading “Bernafas dalam Demokrasi Kriminal”

Partai Golkar, Munas Dengan Tradisi ‘Quasi’ Perpecahan

TAMPIL sebagai partai sejak 7 Maret 1999, Partai Golongan Karya kerap dipuji sebagai kekuatan politik yang paling banyak memiliki kader berkualitas di antara partai yang ada. Tentu ini ada kaitannya dengan pengalaman panjang Golkar dalam perjalanan politik dan kekuasaan sejak kelahirannya 20 Oktober 1964. Tetapi di sisi lain, dalam catatan sejarah politiknya pasca Soeharto, Golkar adalah partai yang paling sering berada di ambang perpecahan internal. Setiap menghadapi Musyawarah Nasional untuk menentukan Dewan Pimpinan Pusat yang baru, bisa dipastikan nuansa perpecahan terasa. Katakanlah semacam quasi perpecahan. Seringkali fakta adanya ‘tradisi’ itu coba dijelaskan dan digambarkan dengan bahasa moderat sebagai tanda tingginya dinamika politik dan demokrasi di tubuh Golkar. Menghadapi Munas 3-6 Desember 2019 ini, Partai Golongan Karya seakan kembali mengalami deja vu.

Namun, karena di tubuh Golkar banyak orang pintar –yang oleh para pengamat disebut kader berkualitas– maka terjadi seperti kata sebuah iklan,  “Orang pintar minum Tolak Angin.” Artinya, partai ini selalu bisa memilih jamu ‘tolak angin’ yang tepat untuk menyembuhkan perpecahan. Tapi tak urung, pasca Pemilihan Presiden 2014, Golkar sempat menderita ‘masuk angin’ berkepanjangan lebih dari setahun. ‘Perpecahan’ Partai Golkar –berupa dualisme kepemimpinan– terjadi ketika sejumlah tokoh Golkar menyatakan ‘ketakpuasan’ atas ‘salah pilih’ perpihakan Aburizal Bakrie dalam Pilpres 2014. Aburizal memilih bergabung dan mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sementara yang menang kemudian ternyata Joko Widodo-Jusuf Kalla. Muncul DPP hasil Munas Ancol (Agung Laksono) sebagai tandingan terhadap hasil Munas Bali (Aburizal Bakrie). Continue reading “Partai Golkar, Munas Dengan Tradisi ‘Quasi’ Perpecahan”

74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (3)

Peralihan Dengan Benturan

Merupakan fenomena menarik, peralihan kekuasaan antar presiden di Indonesia selalu bermasalah, tak pernah berlangsung dengan betul-betul mulus. Tiga proses peralihan bahkan melalui konflik berkadar tinggi, yakni antara Soekarno-Soeharto, Soeharto-BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid-Megawati Soekarnoputeri. Sedang dua lainnya, yaitu antara BJ Habibie-Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputeri-Susilo Bambang Yudhoyono, juga bukannya tanpa masalah. Peralihan antara Susilo Bambang Yudhoyono dengan Joko Widodo, sempat diwarnai kecurigaan tentang adanya manipulasi keunggulan angka perolehan suara pasangan Jokowi-Jusuf Kalla atas pasangan Prabowo-Hatta Rajasa.

Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto, terjadi dalam satu kejadian sejarah yang luar biasa. Didahului Peristiwa 30 September 1965. Suatu benturan akhir bersegi banyak yang bersumber dari suatu konflik yang laten berkepanjangan terutama antara tahun 1959 hingga 1965. Menurut buku Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1966 (Rum Aly, Kata Hasta Pustaka), pada hakekatnya apa yang terjadi pada penggalan masa itu tak lain adalah pertarungan politik dan kekuasaan berjangka panjang, yang terkristalisasi di antara tiga unsur utama segitiga kekuasaan negara: Soekarno-PKI-Angkatan Darat. Semua unsur membawa prasangka yang berasal dari masa sebelumnya. Dan ini merupakan suatu kemalangan tersendiri. Semua itu menjadi lebih rumit karena friksi pun terjadi di antara kelompok-kelompok di luar segitiga kekuasaan, yang juga tak terlepas dari hasrat kekuasaan. Continue reading “74 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama 7 Presiden (3)”

Ke(tidak)mandirian Partai Golkar

SEBAGAI satu kekuatan politik, Golkar selama hampir 55 tahun telah melalui tiga babak sejarah politik kontemporer Indonesia. Lahir 1964 di masa Soekarno, membesar bersama Soeharto selama tiga dekade dan nyaris kembali ke titik nol setelah 1998. Melihat usianya, Golkar yang kini menjelma sebagai sebuah partai, adalah sebuah kendaraan politik tertua yang masih operasional bersama PDIP yang adalah jelmaan PDI dari bibit awal PNI.

Dulu, di masa Soeharto, kendaraan bernama Golkar ini adalah pembawa penumpang terbanyak dari seluruh Indonesia ke rute jurusan Senayan dan menjadi kendaraan pilihan eksekutif utama rute Istana. Namun kini, dua puluh tahun terakhir, kendaraan bermesin ‘tua’ ini tak lagi punya rute ke Merdeka Utara dengan destinasi Istana Kepresidenan. Kata orang bengkel, kendaraan ini perlu overhaul besar-besaran agar kembali kuat melayani rute menuju Merdeka Utara. Selain itu, pengemudi dan keneknya harus lebih berketrampilan. Para penumpangnya pun harus diingatkan agar bisa lebih ‘berbudaya’ dan punya rasa memiliki. Kalau bisa, jangan hanya menganggap kendaraan ini sekedar tumpangan atau bahkan sekedar kendaraan sewa dalam sebuah wisata politik. Bisa ditinggalkan sewaktu-waktu. Continue reading “Ke(tidak)mandirian Partai Golkar”

Deja Vu, Kecurangan Virus Laten Dalam Demokrasi Indonesia (1)

DALAM hari-hari penantian keputusan Mahkamah Konstitusi di pertengahan Agustus 2014, tentang sengketa hasil Pilpres kala itu, socio-politica.com menurunkan ulasan Kecurangan, Virus Laten Dalam Demokrasi Indonesia. Dalam alinea penutup bagian kedua, dituliskan bahwa bagaimana pun bagi Mahkamah Konstitusi semestinta hanya berlaku satu hal, andaikan pun langit politik harus runtuh, atau apa pun yang terjadi, kebenaran lah yang harus dipilih sebagai dasar dari keputusan yang diambil. “Bila tidak, virus laten kecurangan dalam demokrasi Indonesia, terutama dalam pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden, tetap bersemayam di tubuh kehidupan politik Indonesia. Dalam keadaan demikian, hanya satu hal yang bisa diucapkan: Sampai bertemu dalam pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden 2019 dalam peristiwa dan kecurangan yang sama untuk kesekian kalinya.”

Bagaikan deja vu ternyata Pemilihan Presiden 2019 harus berakhir lagi di persidangan Mahkamah Konstitusi di antara dua tokoh seteru yang sama, Joko Widodo dan Prabowo Subianto –dengan pasangan berbeda dan nomor urut berbalikan. Pasangan nomor urut 2 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kembali maju ke Mahkamah Konstitusi dengan pokok ‘gugatan’ kecurangan terstruktur, sistematis dan massive (TSM) yang dilakukan pasangan 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Kali ini Joko Widodo adalah petahana, yang di atas kertas memang lebih logis bila dituduh berpeluang melakukan kecurangan TSM dibanding 5 tahun silam. Continue reading “Deja Vu, Kecurangan Virus Laten Dalam Demokrasi Indonesia (1)”

Luka Lama Tentang Jenderal Prabowo dan Para Jenderal ‘Politics in Uniform’

TAK lebih dari 40 hari menjelang Pemilihan Presiden 17 April 2019, medan politik Indonesia diramaikan beredarnya semacam video ‘testimoni’ Jenderal (Purn) Agum Gumelar tentang ‘jejak berdarah’ pelanggaran HAM oleh Letnan Jenderal (Purn) Prabowo Subianto. Dengan segera manuver Agum Gumelar –yang menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Joko Widodo sejak 18 Januari 2018 ini– tidak bisa tidak, langsung dianggap sebagai bagian dari pertarungan dalam rangka Pemilihan Presiden. Bahkan secara khusus oleh beberapa pihak dianalisis sekaligus sebagai kelanjutan ketidaksenangan pribadi Agum terhadap Prabowo sejak masa kekuasaan Soeharto, karena merasa Prabowo telah mengganjal karir pribadinya. Ganjalan perasaan yang sama dimiliki sejumlah jenderal lainnya terhadap Prabowo Subianto sang menantu Presiden Soeharto.

Salah seorang Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, mengingatkan agar Agum tak menjadikan kasus penghilangan aktivis 1998 semata untuk kepentingan Pilpres 2019. Tetapi, Agum hendaknya memberi keterangan kepada Kejaksaan Agung yang sejak lama sudah menerima berkas penyelidikan pelanggaran HAM berat 1998 dari Komnas HAM.

Di mana kuburan para aktivis hilang itu?

Dalam video testimoni –yang diakui Agum direkam dari suatu pertemuan di Bandung– sang Jenderal mengatakan dirinya mengetahui nasib para aktivis 1998 yang menurutnya dihilangkan secara paksa oleh Tim Mawar Kopassus di bawah komando Mayor Jenderal Prabowo Subianto. Agum Gumelar mengungkapkan pernah bertemu dengan anggota Tim Mawar pelaku penculikan dan penghilangan paksa para aktivis. Dalam pertemuan “dari hati ke hati” dengan mereka, “di sinilah saya tahu bagaimana matinya orang-orang itu, di mana dibuangnya,” demikian CNN Indonesia mengutip Agum. “Saya tahu.” Continue reading “Luka Lama Tentang Jenderal Prabowo dan Para Jenderal ‘Politics in Uniform’”

Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019

SEBELUM terjadi aksi massa Islam massive 411 dan 212 di bagian akhir 2016, tak terbayangkan bahwa Joko Widodo akan tiba-tiba tampil dengan manuver politik yang sarat retorika ke-Islam-an. Soalnya, sebelum itu beberapa tokoh partai pendukung utamanya, PDI-P, kerap melontarkan narasi-narasi yang dimaknai sebagai anti Islam.

Secara historis, mengacu kepada pembagian masyarakat (Jawa) menurut Clifford Geerzt, cikal bakal utama PDI-P yakni PNI pada hakekatnya memang berakar pada kaum abangan selain kaum priyayi. Di seberangnya, adalah kaum santri. Secara historis pula, PNI sebagai unsur Nas pada masa Nasakom Soekarno tercatat memiliki kedekatan yang kental dengan unsur Kom. Banyak berkonfrontasi mendampingi unsur Kom terhadap unsur A yang terjepit di tengah.

Namun, dalam realita saat ini, bandul politik Joko Widodo yang tampil memperjuangkan masa kepresidenan kedua, telah mengayun keras dari kiri hingga jauh ke kanan. Dari citra anti Islam ke citra mitra. Puncaknya, menempatkan tokoh ulama Kyai Ma’ruf Amin sebagai pasangan dalam Pemilihan Presiden 17 April 2019. Meski, secara tragis harus ‘mencampakkan’ tokoh berintegritas, Mahfud MD. Continue reading “Joko Widodo dan Faktor Islam di Kancah Politik 2019”

Joko Widodo Dalam Lekatan Stigma PKI

TELAH empat tahun lebih Joko Widodo –kini Presiden RI yang sedang mempersiapkan diri menuju periode kedua– senantiasa berada dalam lekatan stigma PKI. Terhadap tuduhan PKI pada dirinya, Joko Widodo mengatakan di depan deklarasi akbar ulama Madura (19/12) “Saya sudah empat tahun diam saja. Saatnya saya berbicara sekarang ini.” Jokowi lalu menuturkan, berdasarkan survei ada 9 juta orang yang percaya dengan isu PKI dan tuduhan anti ulama dan antek asing. “Kalau sudah 9 juta, saya menjawab. Ini perlu saya menjawab. Saya diam kemarin bukan karena apa-apa. Ini saya jawab supaya tak berkembang jadi 10 juta, 11 juta, 12 juta, 15 juta. Bahaya sekali. Sehingga perlu saya jawab.”

Ini ulangan penjelasan serupa yang sebelumnya telah disampaikan Jokowi di Lampung Tengah (23/11) dalam acara membagi-bagi sertifikat tanah. “Ini yang kadang-kadang, haduh, mau saya tabok, orangnya di mana, saya cari betul”. Sepekan kemudian saat bertemu Yusril Ihza Mahendra, dan mengeluhkan soal itu (30/11) Ketua Umum PBB itu menasehatinya untuk menjawab. Agar berita yang dianggap bohong oleh Jokowi itu “tidak menjadi benar” karena tidak ada penjelasan. Continue reading “Joko Widodo Dalam Lekatan Stigma PKI”

4 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama Presiden Joko Widodo (1)

SABTU 20 Oktober 2018, genap 4 tahun rakyat Indonesia tertawa dan menangis bersama Presiden Joko Widodo –dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Suasana penuh tawa terutama mewarnai kehidupan elite politik serta elite ekonomi dan sosial atas angin dalam kehidupan penuh kelimpahan sosial ekonomi. Sementara itu tangis lazim tampil sebagai ekspresi yang mendominasi kalangan akar rumput di republik berusia 73 tahun lebih ini. Kalangan yang dari waktu ke waktu berada dalam belitan kesulitan hidup dan kesenjangan sosial nan tak kunjung berhasil diurai. Dari satu rezim ke rezim pemerintahan lainnya.

Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla memulai kekuasaan pemerintahannya 20 Oktober empat tahun silam seusai dilantik dengan perjalanan seremonial yang alon-alon –karena menggunakan kereta kencana berkuda– yang memakan waktu berjam-jam lamanya, menuju Istana Merdeka dari Gedung MPR/DPR Senayan. Perjalanan seremonial dengan kecepatan kuda berjalan itu, dielu-elukan sepanjang perjalanan, mungkin saja menjadi kenikmatan psikologis bagi keduanya maupun sejumlah pendukung. Continue reading “4 Tahun Tertawa dan Menangis Bersama Presiden Joko Widodo (1)”

Para Gubernur (Baru) Dalam Politik Akrobatik

BEGITU usai dilantik di Istana dua pekan lalu, masih dalam seragam kebesaran putih-putih, sejumlah gubernur baru sudah melontarkan pernyataan mendukung Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam Pemilihan Presiden 2019. Serta merta tak bisa dihindari kesan bahwa ini adalah semacam akrobatik politik para gubernur itu. Dilakukan 8 dari 9 gubernur, dengan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi sebagai pengecualian. “Saya dukung Sumatera Utara dulu,” ujar Edy Rahmayadi kepada tvOne (8/10). “Saya ingin menjadikan Sumatera Utara yang bermartabat, visi misinya itu. Tidak ada urusan untuk Pilpres.”

Kemeriahan politik akrobatik ini, sepanjang yang diberitakan pers, seluruh pesertanya tak kurang dari 15 gubernur. Baik yang sudah lebih dulu dilantik, baru dilantik 5 September, maupun yang masih menunggu giliran pelantikan. Dan dengan segera, akrobat politik ini menular ke bawah, ke para bupati di berbagai daerah. Serentak dengan itu, tak pelak model pelanggaran etika itu menjadi sorotan hingga kini. #mediakaryaanalisa

Menangkis kecaman bahwa para gubernur itu telah melanggar, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan tak ada aturan yang melarang kepala daerah menyatakan dukungan kepada calon presiden dan calon wakil presiden di Pilpres 2019. Tapi menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, seperti yang dikutip pers, seorang gubernur tak boleh atas nama Gubernur menyatakan mendukung pasangan capres dan cawapres tertentu dalam pemilu. Namun, kata Kalla, bila “dia ikut mendukung secara pribadi, itu boleh-boleh saja.” Continue reading “Para Gubernur (Baru) Dalam Politik Akrobatik”