Mengejar ‘Mandat (Langit) Baru’, Kisah Joko Widodo

BERBEDA dengan 2014 lalu, tatkala secara historis tampil sebagai sosok nyaris bagaikan kertas putih, menyongsong Pemilihan Presiden 2019 Joko Widodo kini pun sudah terbebani catatan 4 tahun dalam kekuasaan. Sementara itu, pesaing ‘abadi’nya Prabowo Subianto bisa dipastikan tetap jadi sasaran bidik dengan amunisi beban sejarah masa lampaunya, seperti di tahun 2014.

Pada masa-masa awal kemunculannya di tingkat yang lebih tinggi dari posisi Walikota Solo, ketimbang menjadi tokoh dengan catatan historis Joko Widodo lebih menyerupai tokoh dongeng 1001 malam versi Jawa.

Saat memenangkan kursi Gubernur DKI, socio-politica.com 20 September 2012 menulis keberhasilan Joko Widodo sebenarnya adalah karena ia tampil lebih sederhana, tidak muluk-muluk dan tidak complicated. Dengan itu ia bisa lebih dekat rakyat dan karenanya lebih berpeluang mendapat rasa percaya. Seakan “memenuhi rasa hampa yang selama ini dirasakan kalangan akar rumput di Jakarta.” Kurang disapa, kurang diperhatikan dan tak punya jalan mengadu kepada pemimpin.

Pokoknya, per saat itu di 2012, Jokowi adalah manifestasi serba pembalikan dari kelaziman kepemimpinan yang ada, sehingga memenuhi rasa dahaga rakyat. Namun dengan kemenangan itu PDIP diingatkan untuk memberi Jokowi kesempatan berimprovisasi, bukan sebagai sais delman politik apalagi sebagai kuda politik. Kepada wakilnya, Ahok, yang sempat didera isu agama dan etnis minoritas dalam pertarungan politik saat itu, juga disampaikan sebuah nasehat. Agar tak perlu lagi untuk selalu mengungkit kisah ‘ketertindasan’nya sebagai etnis dan penganut agama minoritas. Karena, “kalau diulang-ulang terus, kan bisa jadi bumerang juga?” (https://socio-politica.com/2012/09/20/kisah-baju-kotak-kotak-jakarta-20-september-2012/) Ternyata Ahok selalu masih melanjutkan ‘kebiasaan’ ungkit-mengungkit yang sudah dilakukannya sejak di pulau Belitung dan akhirnya terbentur di Jakarta.

EKONOMI ‘KANDAS” KARENA BEBAN KORUPSI, KARIKATUR SANENTO JULIMAN 1967. Di sisi sebaliknya juga harus siap memungut dampak berbagai ‘kecelakaan’ ekonomi seperti misalnya kemerosotan berkepanjangan nilai tukar rupiah atas USD, dan berbagai indikator negatif dalam mikro ekonomi maupun makro ekonomi. Serta masih tak henti terungkapnya berbagai kasus korupsi yang terkait dengan kalangan kekuasaan. (Gambar head, Prabowo Subianto dan Joko Widodo dalam cover Tempo 2014) #MediaKarya

Dari dongeng menuju pemujaan

Ketika tak lebih dari dua tahun kemudian, nama Joko Widodo kembali tampil –dan kali ini sebagai calon Presiden– diri dan ketokohannya makin menguat tergambarkan bagai kisah 1001 malam. Tokoh yang mencari mandat langit melalui rakyat sesuai adagium ‘suara rakyat adalah suara Tuhan’ –Vox Populi Vox Dei. Berbagai media, termasuk dalam bentuk komik, ditampilkan memperkuat kisah 1001 malam ini. Salah satunya adalah kisah “Tukang Mebel Jadi Presiden”. Betul-betul mewakili sebuah dongeng 1001 malam yang tersaji sebagai hiburan bagi rakyat, terutama di lapisan terbawah dan menengah. Sungguh memukau kalangan akar rumput di masyarakat. Fenomena ini mungkin cerminan betapa rakyat di lapisan tertentu di bawah, telah begitu kecewanya terhadap kepemimpinan negara yang berlangsung di depan mata selama ini. Lalu, mencari sosok pujaan lain, yang terhadapnya mereka merasa dekat karena banyak kemiripan dengan diri dan mencerminkan nasib mereka sendiri. “Biarpun dia kurus dan gak ganteng, dia digadang-gadang rakyat agar kelak menjadi presiden.”

Pada waktu menghadapi Pemilihan Presiden 2014, relatif Joko Widodo berada pada posisi minim beban sejarah, khususnya bila dibanding pesaingnya, Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto. Tapi, bukan berarti Joko Widodo samasekali lepas dari sejumlah ‘beban’ masa lampau. ‘Sejarah’ tentang dirinya sendiri boleh minim –sehingga juga minim beban dari rekam jejak pribadi– tetapi suka atau tidak ia harus ikut memikul ‘beban sejarah’ masa lampau terkait partai pendukungnya, PDIP. (Baca socio-politica.com 6 Mei 2014: https://socio-politica.com/2014/05/06/mengejar-mandat-langit-kisah-joko-widodo/) Tak boleh dilupakan, tak berbeda dengan partai-partai lain yang ada, PDIP bukanlah partai yang bersih-bersih amat.

Tak memperdulikan etika dan adab

Dan kini, kembali Joko Widodo dan Prabowo Subianto harus saling berhadapan dalam Pemilihan Presiden April 2019 mendatang. Pendukung kedua tokoh masih senantiasa mengedepankan pertempuran kata-kata melalui berbagai media, terutama di media sosial. Jadi, pertempuran dan pembelahan di tengah masyarakat pun tetap berlanjut, sejak ia bermula pada Pilpres 2014. Seringkali para pihak tampil tanpa malu, tak memperdulikan lagi etika dan adab. Memuakkan para pembaca. Memuakkan jutaan penonton televisi bila pertempuran mengambil kesempatan tayang di media televisi. Entah terkoordinasi, entah berjalan sendiri tanpa kendali. Atau setengah terkoordinasi, setengah berjalan liar tak terkendali. Pertengkaran politik makin diperparah dengan penempatan para oportunis tipe geladak yang sanggup bertengkar dengan berbagai cara tanpa argumentasi dan tak segan menggunakan data manipulatif dan informasi sesat.

Prabowo pekan lalu tampil dengan sejumlah pandangan strategis yang dituangkan dalam satu buku berjudul ‘Paradoks Indonesia’ dengan sub judul ‘Negara kaya raya, tetapi masih banyak rakyat hidup miskin’. Setebal sekitar 140 halaman, yang untuk sebagian besar berisi konstatasi masalah yang dihadapi Indonesia. Semangatnya masih semangat ‘tempur’, belum cukup membeberkan konsep-konsep memecahkan masalah bangsa. Sebaliknya kubu pendukung Joko Widodo hingga sejauh ini sama sekali belum menampilkan konsep pengelolaan bangsa dan negara untuk 5 tahun ke depan. Nawacita masih lebih merupakan butir-butir keinginan daripada sebuah konsep dengan fungsi grand design pembangunan. Mungkin dianggap belum waktunya berkonsep, karena sejauh ini masih lebih sibuk mendayagunakan  secara pragmatis benefit dari momentum-momentum yang berlimpah dalam posisi incumbent. Meski, di sisi sebaliknya juga harus siap memungut dampak berbagai ‘kecelakaan’ ekonomi seperti misalnya kemerosotan berkepanjangan  nilai tukar rupiah atas USD, dan berbagai indikator negatif dalam mikro ekonomi maupun makro ekonomi. Serta masih tak henti terungkapnya berbagai kasus korupsi yang terkait dengan kalangan kekuasaan. Bagaimana pun sebagai penguasa selama 4 tahun Joko Widodo telah memiliki catatan jejak.

Kompetisi berkualitas

Barangkali kedua sisi dalam pertarungan politik kekuasaan mulai harus berpikir dan berupaya menempuh kompetisi berkualitas. Mulai mengendalikan ‘orang-orang’nya masing-masing untuk meredakan perang debat kontra produktif dan tak bermutu di antara mereka. Karena tampaknya, pertarungan itu sudah memasuki taraf memuakkan publik.

Memang banyak kalangan masyarakat terlihat ikut terbawa pertarungan dan pembelahan politik itu, namun bisa dipastikan masih jauh lebih banyak kelompok masyarakat yang mulai jengkel dan mulai tiba di batas kesabarannya. Sedemikian rupa, sehingga andaikan ada alternatif ketiga tersedia, bukan mustahil kedua tokoh itu justru akan ditinggalkan….. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s