DALAM dua dekade pasca Soeharto hingga kini, pasang surut Partai Golkar sebagai penerus sejarah Golongan Karya yang lahir 20 Oktober 1964, lebih didominasi momen-momen surut. Situasi terakhir ini, jelas berbeda dengan tiga dekade sebelumnya, saat Golkar menempati posisi sebagai kekuatan pengarah jalannya kehidupan politik Indonesia. Menjadi besar bersama Soeharto namun ikut tergerus dan terdegradasi posisi dominannya seiring kejatuhan Soeharto. Antara lain karena tak berlanjutnya upaya kemandirian Golkar yang dirintis pada periode Sudharmono-Sarwono Kusumaatmadja (1983-1988) ke periode-periode berikut. Kebuntuan jalan kemandirian, menguat khususnya di masa Harmoko (1993-1998) yang tepat berada di tengah momen kejatuhan Soeharto. Teristimewa oleh menguatnya politik akrobatik dan relasi-relasi subjektif di tubuh Golkar kala itu.
Pengertian kemandirian Golkar di sini, adalah peletakan kekuatan Golkar pada pengorganisasian yang baik, serta faktor kualitas dan soliditas kader. Dan, bukan dengan rekayasa artifisial topangan institusi negara –seperti tentara, polisi dan birokrasi– yang dipolitikkan. Pengertian kemandirian ini tentu dan semestinya berlaku juga untuk partai-partai manapun, sekarang maupun nanti.
Jika suatu peristiwa buruk menimpa, pilihan sikap terbaik menurut ahli psiko-analisa Boris Cyrulnik kelahiran Perancis, adalah menerimanya sebagai tantangan dan tetap berjalan ke depan menjalani hidup dengan mengabaikan rasa sakit. Itu salah satu ciri kemandirian.

Gamang di luar kekuasaan
Golkar periode ‘triumvirat’ Akbar Tandjung-Marzuki Darusman-Ginandjar Kartasasmita –meminjam sebutan Sudharmono SH untuk DPP 1998-2004 berdasarkan peran 3 tokoh– mencoba memulihkan kembali posisi politik Golkar. Meski sempat ada ‘gap psikologis’ saat Marzuki Darusman dalam posisi Jaksa Agung harus menjalankan penindakan-penindakan dalam masalah KKN, toh sedikit banyak upaya pemulihan bisa berjalan. Ada keberhasilan membawa Golkar kembali ke posisi pertama di Pemilihan Umum 2004 dengan raihan 21,58 persen suara. Namun kemudian ada perbedaan paham dalam menghadapi Pemilihan Presiden 2004, antara Akbar Tandjung cs dengan Marzuki Darusman-Fahmi Idris cs. Lalu, dalam Munas Golkar pada tahun yang sama, tampil Muhammad Jusuf Kalla –yang sudah berposisi Wakil Presiden– menduduki kursi Ketua Umum Golkar periode 2004-2009 melalui Munas di Bali.
Sewaktu Jusuf Kalla naik ke posisi puncak Golkar itu, mantan Ketua Umum Golkar Sudharmono SH bertanya kepada Rum Aly –salah seorang pengelola Media Karya DPP Golkar 1983-1988– “Bukankah pak Jusuf Kalla sebelum ini ada di PPP?”. Dijawab, “Betul pak, sempat di seberang….”. Tapi itulah fenomena ‘baru’ pasca Soeharto kala itu. Golkar bukan hanya terbuka jendelanya agar angin segar bertiup masuk, tapi juga terbuka lebar pintunya bagi tokoh veni-vidi-vici dalam arus pragmatisme politik.
Banyak kader ‘kelas atas’ Golkar yang ‘terbiasa’ berada dalam kekuasaan pemerintahan, merasa gamang bila harus berada di luar kekuasaan. Lantas berusaha membawa Golkar mencari pegangan pada tokoh kekuasaan. Itu sebabnya, Muhammad Jusuf Kalla menang ‘mudah’ menuju kursi Ketua Umum Golkar. Dan dari situ pula bermula tradisi Golkar sekedar sebagai follower, bukan penginisiatif politik. Selain itu, dalam hal tertentu di waktu berikutnya, Golkar sendiri bisa sekedar berfungsi bagai rumah singgah, tempat orang masuk dan keluar dengan mudah. Itu dimungkinkan karena tak ada lagi semacam merit system seperti di masa-masa sebelumnya. Namun ini sudah menjadi semacam trend baru di dunia kepartaian masa kini.
Golkar sebagai partai konsepsional
Terakhir setelah mencanangkan konsep ‘Golkar Baru’ dan mengintrodusir mekanisme konvensi Golkar untuk mencari calon Presiden-Wakil Presiden, Golkar praktis meninggalkan tradisi partai konsepsional. Dari waktu ke waktu Golkar berobah secara internal menjadi partai taktik dan pelaku politik improvisasi. Dan ke arah eksternal dalam konteks improvisasi dan ketrampilan reaktif, Golkar beralih menjadi partai pengikut inisiatif politik partai-partai lain. Dalam Pemilihan Presiden 2014 Golkar ada di kubu pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, sementara mantan Ketua Umum 2004-2009 Jusuf Kalla menjadi pendamping Joko Widodo.
Kekalahan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menjadi awal malapetaka baru di internal Golkar. Sejumlah tokoh Golkar menyatakan ‘ketakpuasan’ atas ‘salah pilih’ Aburizal Bakrie dalam Pilpres 2014, sehingga muncul DPP tandingan. Pembelahan Golkar pasca Pilpres 2014 ini menjadi pintu masuk bagi campur tangan kekuasaan. Menteri Hukum dan HAM berhasil memanage situasi untuk menggiring Golkar bergabung sebagai pendukung bagi pemerintahan koalisi berkuasa demi penciptaan mayoritas kerja di parlemen.
Ini semua, tentu merupakan pengalaman ‘baru’ bagi Golkar per saat itu, yang betul-betul terbalik dari masa Soeharto. Tak ada dalam sejarah Golkar sebelum ini, bisa menjadi objek penderita yang diaduk-aduk eksistensinya oleh pihak lain. Di masa Soeharto kekuatan ABRI dan Birokrasi melalui jalur A dan B memang menjadi faktor di tubuh Golkar, namun jalur G sebagai core Golkar tetap menjadi kebutuhan pokok bagi Soeharto sebagai salah satu tulang punggung kekuasaan. Tak bisa dianggap sekedar embel-embel seperti kerap dinarasikan.
Dalam mengemudikan kekuasaan pemerintahannya Soeharto berpegang pada Trilogi Pembangunan, yaitu (1) stabilitas nasional yang dinamis, (2) pertumbuhan ekonomi tinggi, dan (3) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Dari jalur A atau ABRI Soeharto hanya bisa mengandalkan fungsi stabilitas keamanan, namun unsur dinamis dari stabilitas nasional hanya mungkin dengan keberadaan jalur G dan Golkar. Dari jalur B Soeharto bisa mengharapkan birokrasi pemerintahan yang stabil, akan tetapi untuk pertumbuhan ekonomi tinggi, ia membutuhkan kaum teknokrat, pelaku ekonomi dan cendekiawan perguruan tinggi yang hanya bisa terkonsolidasi melalui core G dalam Golkar. Apalagi untuk tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, tak mungkin tanpa core G. Dan di atas segalanya, secara keseluruhan dalam menjalankan Trilogi Pembangunan dan penyusunan GBHN Soeharto senantiasa memerlukan ketrampilan konsepsional dari kaum sipil Golkar.
Sejarah tak menentukan ‘nasib’ politik
Golkar merupakan kekuatan politik dengan catatan yang panjang dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Namun, agaknya sejarah panjang itu, tak lagi dianggap banyak kegunaan pragmatisnya bagi kebanyakan kalangan Golkar masa kini. Sejarah tak menentukan nasib politik.
Tapi, tetap tak boleh dilupakan, bahwa sesungguhnya kemampuan konsepsional akan tetap bisa menjadi keunggulan Golkar. Bisakah keunggulan ini dikembalikan? Persoalannya kini, kelompok pemikir sudah langka untuk tidak menyebutnya sudah punah kehadirannya sebagai unsur tradisional kualitatif dalam tubuh Golkar. Visi Partai Golkar 2045 masa Aburizal Bakrie tak tersosialisasi baik dan tak tertangani lanjut. Partai Golkar kini praktis minus kemandirian dan konsepsi. Untuk sebagian, mungkin juga minus altruisme. Rekrutmen Golkar telah banyak berubah arah bersama berjalannya waktu. Bakat dan ketrampilan ‘akrobatik khusus’ lebih mendapat tempat dan perhatian karena lebih matching dengan pragmatisme politik. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa