212: Perlawanan Senyap Terhadap Ketidakadilan

BERKUMPULNYA jutaan manusia menuju satu titik dalam satu momen, 2 Desember 2018, dalam satu sikap yang tertib dan damai, bagaimanapun adalah sebuah sebuah fenomena menakjubkan. Tak pernah sebelumnya terjadi konsentrasi massa secara massive dan padat di bentangan area lebih dari satu juta meter persegi di seputar Monumen Nasional hingga rentang Jalan Merdeka Barat-Thamrin dan beberapa jalan lain di sekitarnya. Tak ada kekerasan, melainkan sikap santun yang adab, dan tak menyisakan sampah maupun kerusakan rumput dan tetumbuhan. Selesai tepat menjelang tengah hari sesuai batas waktu yang diperjanjikan dengan aparat keamanan dan ketertiban.

Sikap para bhayangkara kepolisian dan prajurit TNI tak kalah menakjubkan. Ramah dan tak menampilkan sikap dominan represif. Bahkan sejumlah prajurit TNI membagikan ransum makan mereka kepada sejumlah massa pengunjung, sehingga bahkan memunculkan pertanyaan seorang anggota masyarakat, “Lalu, bapak sendiri nanti makan apa?”. Ini mengingatkan kepada sikap sebagian prajurit pengamanan di tahun 1966 di tengah kegarangan rezim ketika menghadapi mahasiswa peserta demonstrasi.

Tuduhan kampanye terselubung

Namun pada sisi lain, mencengangkan juga sikap yang justru diperlihatkan sejumlah elite yang dekat kalangan kekuasaan saat ini, yang hingga beberapa hari ini bersikap menyangkal (confute) terhadap peristiwa Reuni 212 tanggal 2 Desember 2018. Mulai dari mengecil-ngecilkan angka massa sampai pada pelontaran analisa –tepatnya, prasangka– bahwa Reuni 212 itu adalah kampanye terselubung kalangan penantang calon presiden petahana.

REUNI 212 DI HAMPARAN 1 JUTA METER PERSEGI. Tak mungkin jutaan orang bergerak menuju satu titik dalam satu momen tanpa satu ikatan moral berdasarkan pertemuan logika atau pikiran tentang sebuah kebenaran. Bahwa begitu banyak orang bersama membaca adanya ketidakadilan. Mereka tak mengucapkannya dengan kata-kata, tapi mereka bersikap dengan datang. Walau, mereka tahu penguasa dan lingkarannya tak menyenangi diadakannya acara itu sebagaimana tercermin dari perang insinuasi mencegah terjadinya acara (Foto-foto download) #MediaKarya

Polemik soal jumlah massa secara kuantitatif, sebenarnya tak perlu dilakukan. Kasat mata semua bisa melihat melalui siaran tvOne –satu-satunya media yang meliput lengkap– bagaimana kepadatan massa di area yang luas, yang sebelumnya hingga sejauh ini belum pernah terjadi. Dan, dalam konteks kontestasi pemilihan presiden yang sedang berlangsung, tuduhan kampanye terselubung menyempitkan persoalan sebagai bagian dari politik praktis. Tanpa sengaja malah seakan menjadi semacam pengakuan tentang kehebatan pihak seteru dalam mengorganisasikan pengumpulan massa yang massive. Seorang pendukung petahana merasa perlu memperbandingkan, dalam sebuah talkshow televisi, bahwa Jokowi tak perlu mendatangkan berjuta-juta rakyat ke satu tempat tetapi mendatangi berjuta-juta orang di mana-mana setiap saat.

Kelihatannya sejumlah elite intra kekuasaan dan atau dekat dengan petahana saat ini, telah salah membaca makna kualitatif yang tampil dari terkumpulnya massa rakyat yang massive pada 2 Desember itu. Karena salah membaca –dimulai sejak sebelum Reuni 212 berupa sikap keras mencegah dan menentang penyelenggaraan– maka reaksi yang muncul juga tidak tepat. Kalau dikatakan terkumpulnya massa adalah akibat ‘politik’ identitas berdasarkan agama –dalam hal ini agama Islam– ada kelirunya sedikit. Karena, sejumlah tokoh dan penganut lintas agama ikut hadir. Bila dikatakan identitas berdasar etnis, nyatanya tercatat kehadiran etnis lain. Khususnya etnis China atau Tionghoa yang dalam retorika politik belakangan ini sejak kasus Ahok, selalu diperhadapkan dengan etnis mayoritas.

Terlalu hitam-putih memandang persoalan

Sebagian elite di lingkaran dekat kekuasaan memang memilih cara membaca yang berbeda. Hanya membatasi persoalan sebatas konteks kepentingan pragmatis para pihak dalam pemilihan umum. Terlalu hitam-putih memandang persoalan. Menganggap semua ini semata hasil kerja pengerahan. Padahal, tak mungkin jutaan orang bergerak menuju satu titik dalam satu momen tanpa satu ikatan moral berdasarkan pertemuan logika atau pikiran tentang sebuah kebenaran. Bahwa begitu banyak orang bersama membaca adanya ketidakadilan. Mereka tak mengucapkannya dengan kata-kata, tapi mereka bersikap dengan datang. Walau, mereka tahu penguasa dan lingkarannya tak menyenangi diadakannya acara itu sebagaimana tercermin dari perang insinuasi mencegah terjadinya acara. Makin ditentang dan dicegah –bahkan diancam– makin dilakukan.

Ketidakadilan memang bukan fenomena baru, karena itu telah terjadi dari rezim ke rezim. Tapi kekecewaan makin menggumpal saat ini karena rezim yang ada sekarang ini sebelum sampai ke posisi kendali utama kekuasaan mencitrakan diri sebagai pengecam ketidakadilan masa lalu dan kemudian menjanjikan keadilan baru. Dan itu menimbulkan ekspektasi tinggi akan berakhirnya kesinambungan ketidakadilan. Tapi nyatanya, justru melanjutkan ketidakadilan.

Pembelahan keras akibat persaingan politik yang dimulai sebelum 2014, mempertajam kesenjangan kepercayaan tentang keadilan dan ketidakadilan itu. Antara lain, ketika aparat kekuasaan dan aparat penegakan hukum kerap tak adil dalam melayani pengaduan hukum. Terkesan hanya menindaklanjuti pelaporan hukum dari kalangan yang dekat dan mendukung penguasa yang terasakan sebagai kriminalisasi. Sebaliknya, seakan menutup jalan bagi yang dianggap ada di seberang kekuasaan, sehingga terkesan diskriminatif. Tegasnya, ada perpihakan yang kentara terlihat di mata sebagian masyarakat. Dalam ruang dan waktu yang sama keadilan ekonomi juga tak kunjung wujud.

Tak ada maksud panjang lebar membuka daftar ketakadilan di sini, karena mungkin adalah lebih baik bila para penguasa sendiri yang coba mencermati dan merenungkan kembali persoalan. Jangan melihat segala kritik dan tuntutan keadilan sebagai bagian dari keinginan menjatuhkan pemerintah, atau menjatuhkan presiden untuk kepentingan pihak seteru. Bukankah tak selalu kritik datang hanya dari kubu seteru politik praktis? Kritik juga bisa muncul dari tengah masyarakat bebas –yang menjalankan the politics of the unpolitical atau politik warganegara– untuk memprotes berbagai situasi meresahkan. Ini hak dalam demokrasi.

Jangan tergelincir ke dalam paranoia politik

Perlu memugar sikap bijak berdemokrasi yang sempat terkikis karena tegangan tinggi dalam praktek politik dan kekuasaan. Penguasa hendaknya mulai membatasi diri agar tak gampang mengumbar tuduhan radikal, intoleran, ujaran kebencian, anti NKRI, anti Pancasila, niat menegakkan khilafah dan sebagainya. Intinya, jangan menganggap semua suara yang berbeda adalah suara permusuhan dan bahaya terhadap kekuasaan, sehingga perlu ditumpas.

Sikap penguasa itu telah menular ke sejumlah elite politik akrobatis sehingga menjadi fasih dan gampang melontarkan tuduhan serupa. Diakui atau tidak, seperti dikatakan KH Abdullah Gymnastiar dalam talkshow ILC di tvOne Selasa malam 4 Desember 2018, terlalu banyak tuduhan seperti itu ditujukan kepada umat Islam sehingga melukai perasaan. Mungkin ada saja gelintiran yang bersikap radikal, intoleran dan sebagainya, tetapi seringkali penguasa terlalu menggeneralisir, membesar-besarkan dan seakan tak kenal waktu melontarkannya sehingga membentuk jurang tak sambung rasa dengan mayoritas umat Islam.

Mari jangan tergelincir ke dalam suatu paranoia politik dan kekuasaan. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s