HINGGA menjelang akhir tahun, sepanjang 2018 ini saja, seperti diungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta (9/12), lembaga pemberantasan korupsi itu telah melakukan 27 Operasi Tangkap Tangan terhadap kepala maupun pejabat daerah di seluruh Indonesia. Bahkan mungkin saja masih akan bertambah hingga tutup tahun. Dalam konteks tindak pemberantasan –seperti kerap dinyatakan dalam retorika kalangan kekuasaan pemerintahan– tentu saja serial OTT ini adalah keberhasilan.
Namun mestinya ada juga cara baca yang berbeda, bahwa banyakya OTT pada sisi lain mengindikasikan betapa masih berlangsungnya begitu banyak perbuatan korupsi. Karena, selain OTT kepala daerah –yang sinambung dengan OTT tahun-tahun sebelumnya– ada juga OTT dengan sasaran lainnya. Misalnya, terhadap para hakim. Ditambah aneka korupsi lainnya di tubuh kekuasaan, termasuk di kalangan legislatif berbagai tingkat. Artinya sementara OTT dan pemberantasan jalan, perbuatan korupsi juga jalan terus. Ini mirip pembagian tugas saja, ada yang korupsi –untuk memperkaya diri sendiri atau untuk dana politik– ada pula yang rutin memberantas. Ada yang setiap hari menyapu pekarangan negara, dan setiap hari pula ada jatuhan sampah.
Kapan korupsi bermula?
TATKALA pekan lalu Prabowo Subianto dari Singapura meluncurkan retorika korupsi dalam kampanyenya –yang dirasakan sebagai serangan bagi para pendukung Jokowi– ia segera mendapat serangan balik. “Isu utama di Indonesia sekarang,” kata Prabowo Subianto di sana, “adalah maraknya korupsi, yang menurut saya sudah seperti kanker stadium empat.” Dengan sengit Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah melakukan tabok balik, bahwa korupsi dimulai dari era Soeharto. Pers mengutip lengkap ucapan Ahmad Basarah, bahwa “Guru dari korupsi di Indonesia sesuai TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998, mantan Presiden Soeharto dan itu adalah mantan mertua Pak Prabowo.” Ketetapan MPR Nomor 11 tanggal 13 November 1998, adalah tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme. Terbit hampir enam bulan setelah Soeharto lengser.

Tarik mundur catatan sejarah Ahmad Basarah, hanya setengah jalan. Perilaku korupsi sesungguhnya sudah bermula di era Presiden Soekarno. Ada korupsi, kolusi dan nepotisme, mulai dari yang kecil-kecilan hingga yang berskala besar. Salah satu bintang korupsi masa Soekarno adalah Jusuf Muda Dalam, Menteri Urusan Bank Sentral RI. Ia sekaligus ‘mengelola’ dana-dana taktis rezim dan penyokong dana bagi Partai Komunis Indonesia. Dijatuhi hukuman mati dalam suatu peradilan perkara subversi tanggal 9 September 1966. Di masa Soekarno ada Dana Revolusi yang tak pernah dan memang tak ‘perlu’ dipertanggungjawabkan.
Bila dalam konteks kontestasi Pemilihan Presiden 17 April 2019 ada pihak yang memulai mengungkit catatan korupsi masa lampau, maka itu ibarat membuka kotak Pandora korupsi. Nama para almarhum dari dua rezim awal di republik ini, pada berbagai tingkat ketokohan, akan bermunculan. Begitu pula kisah korupsi dari lima rezim berikut hingga kini. Persoalannya memang, apakah ada rezim yang tanpa noda korupsi, kolusi dan nepotisme pada sepanjang sejarah republik ini?
Interkoneksi dalam infrastruktur korupsi
MENDAHULUI keberadaan interkoneksi teknis komunikasi maupun kelistrikan Indonesia, sesungguhnya lebih dulu ada interkoneksi korupsi dan kekuasaan. Berbagai pelaku atau titik-titik sentra korupsi secara keseluruhan membentuk satu sistem korupsi yang dari hari ke hari makin massive dan berkekuatan sehingga pada akhirnya de fakto mampu mengendali kekuasaan negara. Titik-titik sentra korupsi dan manusia-manusia pelakuya bertebaran di mana-mana, di sektor swasta dan masyarakat, di organisasi masyarakat dan organisasi politik, serta di lembaga-lembaga kekuasaan negara. Perilaku korupsi merambah ke pilar bangunan trias politika –eksekutif, legislatif, judikatif– dan berada di semua eselon kekuasaan negara.
Korupsi –yang pasti berjalan berbarengan dengan kolusi dan nepotisme– memiliki infrastruktur sendiri yang kokoh. Mengalahkan kekokohan suprastruktur dan infrastruktur negara. Orang-orang yang dipercayakan bertugas menegakkan hukum dan atau pemberantasan korupsi bisa berperan ganda sebagai pelaku korupsi. Para pembuat undang-undang tak jarang justru terlibat upaya melemahkan undang-undang anti korupsi. Mereka yang memegang kendali kekuasaan politik dan negara seringkali menjadi konsumen pasokan dana hasil korupsi. Nyaris semua telah terjerat dalam lingkup wealth driven politic, wealth driven government dan wealth driven law, berawal dari wealth driven economy. Melalui satu proses setapak demi setapak, waktu demi waktu. Menegangkan dan menimbulkan kecemasan.
MAKA barangkali perlu juga dikatakan, siapa pun yang berniat menjadi presiden 2019-2024, lebih produktif bila berkonsentrasi mempersiapkan diri mengatasi kehebatan interkoneksi dan infrastruktur korupsi itu. Daripada membuang waktu beretorika dan berdebat ungkit mengungkit, yang bersifat kontra produktif. Itu pun kalau masih punya integritas….. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa