Faktor X dalam Pemilihan Presiden 2019

EMPAT puluh delapan hari sebelum debat pertama Calon Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 17 Januari 2019, Ed Ratcliffe menulis dalam The Diplomat (1/12/2018) bahwa garis pertempuran telah direntang. Dan ia menyebutkan adanya sejumlah Faktor X dalam pertarungan tersebut. Dua faktor teratas adalah masalah ekonomi dan agama. Berikut ini, beberapa bagian tulisan Kepala Riset dan Penasihat di Asia House itu yang cukup objektif.

Dalam beberapa jajak pendapat terbaru, Jokowi dianggap tetap unggul dan masih mempertahankan citranya sebagai tokoh bersahaja. Namun, meskipun ada beberapa keberhasilan dicapainya, ia belum menunaikan semua janjinya pada kampanye 2014. Dalam upaya meningkatkan kepercayaan kelompok Islam dan meraih unsur-unsur yang lebih konservatif, Jokowi telah memilih Ma’ruf Amin –Ketua Majelis Ulama Indonesia dan ‘pemimpin tertinggi’ Nahdlatul Ulama– sebagai mitra dalam pertarungan di 2019 ini.

Prabowo menawarkan citra tokoh yang tangguh dan kuat. Sebagai purnawirawan jenderal, ia memiliki kredibilitas terkait masalah pertahanan keamanan. Ia mempromosikan masyarakat “adil” melalui kemakmuran ekonomi dan politik. Ada tema yang tumpang tindih dengan kampanye Jokowi. Tetapi belum ada proposal kebijakan yang tepat dari salah satu kandidat. Pasangan calon Prabowo adalah Sandiaga Uno, seorang pengusaha yang mengundurkan diri dari posisi wakil gubernur Jakarta saat mencalonkan diri. Sandiaga memiliki kredibilitas ekonomi dan telah menjadi daya tarik bagi pemilih muda, yang jumlahnya 30 persen dari keseluruhan pemilih, sehingga sangat penting bagi dua kubu Pilpres.

JOKO WIDODO DAN PRABOWO SUBIANTO. Sejak kampanye pemilihan pertamanya, Jokowi telah menghadapi kritik berulang kali terkait keber-agama-annya. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah kelompok politik Islam menemukan momentum di Indonesia, ketika mengalihkan perjuangan mereka melalui saluran hukum dan demokrasi. Kelompok-kelompok ini memiliki peran penting dalam menggulingkan sekutu Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dalam Pemilihan Gubernur Jakarta 2017, dan mendukung sekutu Prabowo, Anies Baswedan. (Foto-foto original, download) #MediaKarya

“Ini Ekonomi, …….

Ekonomi diposisikan sebagai aspek utama dari kampanye pemilihan. Secara potensial ini adalah titik lemah Jokowi, dan memang Prabowo telah menyerang titik lemah ini di beberapa lini. Kedua kandidat kemungkinan akan mengajukan alternatif kepada pemilih berupa tawaran kebijakan ekonomi kerakyatan sebagai solusi untuk ketimpangan sosial di dalam negeri dan dalam menghadapi persaingan perdagangan global yang tajam.

Pada Oktober, rupiah jatuh ke nilai terendah sepanjang 20 tahun terakhir, dan memicu ingatan akan krisis keuangan 1998. Penyebab langsung kejatuhan adalah faktor global, namun sebenarnya defisit neraca berjalan yang besar dan utang dalam mata uang AS adalah faktor yang mendasarinya. Pemerintah –didukung oleh IMF– berpendapat bahwa masalah mata uang ini bukan merupakan indikasi prospek ekonomi Indonesia, tetapi penurunan rupiah akan berdampak pada pengeluaran sehari-hari dan pemilih cenderung untuk fokus pada soal isi saku.

Kendati Jokowi telah membuat beberapa terobosan untuk reformasi kesejahteraan dan bantuan sosial, toh ketimpangan tetap tinggi. Untuk itu pemerintah menyisihkan sejumlah dana subsidi energi dan pangan. Prabowo mengimbangi, memanfaatkan kecenderungan xenophobia yang ada dengan janji mengurangi ketergantungan pada impor dan tenaga kerja asing.

Prabowo juga mengklaim bahwa peningkatan utang luar negeri Indonesia akan membuat negara ini bangkrut pada 2030. Memang, utang luar negeri telah tumbuh sebesar 48 persen di bawah Jokowi, sebagian besar terpakai untuk pengeluaran infrastruktur. Pemerintah telah berusaha menggalang investasi infrastruktur sektor swasta dan mendiversifikasi investasi infrastruktur China, yang meroket dari USD 600 juta pada 2015 menjadi USD 3,36 miliar pada 2017. Masalahnya saat ini, sentimen soal China amat menonjol di seluruh kawasan, setelah Malaysia membatalkan proyek infrastruktur yang didanai China.

Di balik retorika nasionalisme ekonomi, prospek ekonomi kedua kandidat cenderung lebih beragam. Rekam jejak Jokowi telah menampilkan strategi investasi ekonomi jangka panjang, reformasi, dan liberalisasi, termasuk meningkatkan infrastruktur dan meningkatkan peringkat kredit Indonesia, di samping proyek-proyek kerakyatan –meremajakan sumber daya alam dan menerapkan kendali harga energi. Kebijakan ekonomi Prabowo dipengaruhi posisi pasangannya, Sandiaga Uno, yang ramah bisnis.

Dalam kedua pokok masalah tersebut mungkin akan terus ada campuran berbeda jenis antara kebijakan ramah investasi dan gerakan proteksionis di sektor energi, pangan, dan bahan bakar.

Agama dalam Politik

Sejak kampanye pemilihan pertamanya, Jokowi telah menghadapi kritik berulang kali terkait keber-agama-annya. Dalam beberapa tahun terakhir sejumlah kelompok politik Islam menemukan momentum di Indonesia, ketika mengalihkan perjuangan mereka melalui saluran hukum dan demokrasi. Kelompok-kelompok ini memiliki peran penting dalam menggulingkan sekutu Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dalam Pemilihan Gubernur Jakarta 2017, dan mendukung sekutu Prabowo, Anies Baswedan.

Pemilihan Jokowi atas Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden sebenarnya merupakan upaya di balik layar untuk memenangkan hati pemilih konservatif. Namun, Ma’ruf baru-baru ini justru mempromosikan pandangan yang lebih moderat –“Islam Wasatiyyah” atau Islam Tengah– yang mempromosikan karakteristik keseimbangan dan toleransi.

Masalah Pemilu Mencerminkan Tren Global

Berita palsu atau hoax merajalela di media sosial Indonesia, terutama di WhatsApp. Informasi yang salah memberi sejumlah akibat di dunia nyata, termasuk sikap main hakim sendiri, main tangkap dan kerusuhan. Sejumlah komunitas sipil dan pemerintah telah berusaha menghilangkan prasangka dari fakta-fakta bandingan dan menutup situs web dan kelompok yang bertanggung jawab. Membuat mereka rentan terhadap tuduhan bahwa mereka membungkam lawan dan menekan kebebasan berbicara.

Politik uang dan korupsi belum mendapat banyak perhatian seperti pada pemilihan sebelumnya. Membeli suara tidak diragukan lagi akan tetap menjadi masalah, karena Indonesia rentan terhadap praktik pembelian suara berdasarkan sejarahnya sebagai masyarakat patronase. Dalam pemilihan bulan Juni 2018 untuk memilih gubernur dan bupati, 18 gubernur dan 75 walikota diselidiki atas dugaan suap dan korupsi.

Tak satu pun pihak yang telah menjabarkan program kebijakan yang jelas di luar pernyataan misi utama mereka: Menciptakan “negara yang berdaulat dan mandiri berdasarkan kerja sama timbal balik” dari Jokowi-Ma’ruf, dan membangun Indonesia yang “berdaulat adil, makmur, berdaya politik dan ekonomis, dan berbeda secara budaya”dari Prabowo-Sandiaga.

Topik ekonomi pasti akan memainkan peran utama, dan agama mungkin terus menjadi penting. Kebijakan luar negeri tidak menonjol dalam kampanye pemilihan ini, atau sebelumnya, di luar masalah-masalah terkait investasi dan pekerja asing China. Namun, Jokowi baru-baru ini menjadi lebih vokal di forum internasional tentang ketegangan perdagangan global, mendorong negara-negara untuk bekerja sama. Ini merupakan indikasi dari pandangan Jokowi bahwa nasib ekonomi Indonesia terkait dengan kinerja ekonomi regional dan global secara lebih umum, meskipun pada waktu yang sama kumandang nasionalisme ekonomi meningkat di dalam negeri. (media-karya.com)#mediakaryaanalisa

Leave a Reply