45 Tahun Peristiwa 15 Januari 1974: Peking-Tokyo-Beijing

EMPAT puluh tahun waktu berlalu setelah Peristiwa 15 Januari 1974, dan Indonesia awal 2019 masih tetap menghadapi beberapa titik persoalan ekonomi dan politik yang serupa. Dalam dua momen, amat menonjol kritik tajam tentang dominasi modal dan bantuan asing. Menjelang tahun 1974 Indonesia menjadi bagian dari protes luas atas dominasi (ekonomi) Jepang di regional Asia Tenggara. Sementara saat ini, pada tahun-tahun ini, Indonesia dipenuhi diskursus tajam mengenai dominasi ekonomi Republik Rakyat Tiongkok melalui tali temali hutang.

Bedanya, pada 45 tahun lalu titik kulminasi protes tercapai dan di Indonesia meletus pada akhirnya sebagai Peristiwa 15 Januari 1974. Terjadi demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran yang oleh kalangan kekuasaan kala itu diberi akronim Malari atau ‘Malapetaka Limabelas Januari’ yang berkonotasi buruk dalam bingkai makar. Jenderal Soeharto sebenarnya nyaris tumbang, namun berhasil mendayung keluar di antara gelombang persaingan internal para jenderal maupun teknokrat di bawahnya.

Peking-Tokyo-Beijing

Protes besar-besaran anti Jepang di Asia Tenggara sebenarnya dimulai di Bangkok., berupa gerakan mahasiswa ‘Anti Japanese Goods’. Merambat ke Indonesia. Kala itu, bipolarisme dunia –akibat masih berlangsungnya Perang Dingin– masuk ke dalam lingkup nasional semua negara. Di Indonesia simbol pertarungannya adalah antara Ali Murtopo-Soedjono Hoemardani-CSIS-Jepang-Amerika versus Jenderal Soemitro-Hariman Siregar-Sjahrir –bersama maupun terpisah– sebagai kelompok kritis progressif.

Merujuk pada peristiwa menjelang akhir 1965 yang memunculkan julukan Haji Peking bagi Dr Soebandrio, pada tahun 1973 menjelang 1974 mahasiswa memunculkan metafora “Dulu ada Haji Peking, kini ada Haji Tokyo”. Metafora semacam itu kini tak dipinjam dalam kritik terhadap rezim pemerintahan di bawah Joko Widodo yang diakui atau tidak, memiliki ketergantungan besar pada topangan ekonomi keuangan dari Beijing.

KARIKATUR NGOPI BARENG PARA PRESIDEN, LOCO CAFE STASIUN TUGU. Di bawah 7 Presiden, meminjam ucapan Hariman Siregar, belum terlihat pemerataan ekonomi dan pembangunan yang merata. “Tidak ada keberpihakan penguasa yang benar-benar fokus ditujukan untuk masyarakat bawah.’’ Sementara itu di hari yang sama BPS menyebut angka kemiskinan per September 2018 menurun dari 10,12 persen menjadi 9,66 persen. (Gambar download. Gambar head, Dokumentasi berita Mahasiswa Indonesia Desember 1973 menuju Peristiwa 15 Januari 1974) #MediaKarya

Indonesia belum sepenuhnya menyerupai nasib sejumlah negara Afrika dan Asia yang tak berdaya di bawah dominasi Beijing, namun telah sangat membuat cemas sejumlah ekonom kritis di dalam negeri dalam konteks kedaulatan bangsa dan negara. Dan tentu saja poin itu menjadi amunisi kalangan oposisi. Namun objektivitas masalah dalam diskursus banyak terganggu dan semua menjadi samar-samar akibat perang kata-kata kosong dalam kaitan Pemilihan Presiden 2019. Semua dinafikan melalui tuduh menuduh hoax dan fitnah. Tak ada kebenaran yang bisa disimpulkan.

Kelompok mahasiswa yang secara tradisional selalu menjadi kekuatan pendobrak, pun belum tampil ambil peranan menuju suatu perubahan seperti berkali-kali terjadi dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Tahun 1966, 1974, 1978 dan 1998. Dalam beberapa dekade terakhir sesudah Peristiwa 1998, mahasiswa kampus memang mengalami depolitisasi antara lain melalui tekanan kurikulum yang ketat, sehingga nyaris sepenuhnya tak bisa menjadi faktor lagi. Terbaru ada berbagai tuduhan, di antaranya suatu tuduhan khas intelijen, bahwa kampus terpapar radikalisme. Tapi tak dialas dengan argumentasi yang pas.

Kini, malah yang terjadi dalam suatu praktek terbaru adalah tanda-tanda politisasi ulang –mirip situasi masa Nasakom– melalui ‘pengatasnamaan’ alumni berbagai perguruan tinggi dalam kancah perpihakan menjelang Pemilihan Presiden 17 April 2019. Setidaknya tiga Ikatan Alumni perguruan tinggi terkemuka –Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Katolik Parahyangan– menegaskan bahwa ikatan alumni tidak melibatkan diri dalam dukung mendukung dalam proses Pemilihan Presiden. Ketiganya mengeluarkan peringatan keras terhadap pengatasnamaan itu, berupa somasi atau ancaman tindakan hukum.

Pengatasnamaan itu sendiri lahir dari hasrat akrobatik unjuk jasa bagi kubu perpihakannya. Dan pada saat yang sama para pelaku tidak memahami mengenai fungsi dan posisi perguruan tinggi sebagai lembaga akademis, yang mungkin saja juga disertai kelemahan pemahaman berorganisasi. Lebih mendasar, tak memahami etika dalam konteks kecendekiawanan. Bahwa perguruan tinggi itu milik bersama, bukan milik kelompok. Bahwa seorang atau sekelompok alumni tak memiliki hak eksklusif pengatasnamaan alma mater.

Tak ada perpihakan ke masyarakat bawah

Persoalan yang dihadapi 45 tahun lalu hingga kini, ternyata tak berubah, sosial-ekonomi-politik. Tokoh Peristiwa 15 Januari 1974, Hariman Siregar (15/1), menyebut “persoalan kesenjangan sosial sudah kami resahkan sejak 45 tahun silam.” Ia menganggap pembangunan kini malah membuat kesenjangan sosial semakin lebar, yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin. “Kami belum melihat pemerataan ekonomi dan pembangunan yang merata. Tidak ada keberpihakan penguasa yang benar-benar fokus ditujukan untuk masyarakat bawah.’’ Sementara itu di hari yang sama BPS menyebut angka kemiskinan per September 2018 menurun dari 10,12 persen menjadi 9,66 persen.

Tak dilarang lebih sependapat dengan Hariman sekali ini, apa pun arah perpihakan pada Pemilihan Presiden mendatang. Ada kebenaran objektif dalam penggambaran yang diutarakannya…. (media-karya.com) #mediakaryaanalisa

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s